Mohon tunggu...
Sendi Suwantoro
Sendi Suwantoro Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ketua SEMA FTIK IAIN Ponorogo 2023/2024

Jangan pernah meremehkan orang walaupun bersalah jangan memandang diri sendiri ketika punya kelebihan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Benang Kasih Ibu Jari Tangan Ajaib dan Mimpi di Kota Metropolitan

8 Januari 2024   11:45 Diperbarui: 8 Januari 2024   11:48 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pixabay.com/id/photos/taman-ibu-gadis-mama-anak-balita-3089907/

Hawa dingin menusuk relung kamar, menerobos kain kebaya tipis yang dikenakan Ibu. Lampu minyak temaram menerangi ruangan mungil ini, menari-nari mengikuti hembusan angin yang sesekali menerpa gorden usang. Di sampingku, Ibu duduk dengan tenang, jemarinya yang kurus cekatan menari-nari di atas kain putih, menyulapnya perlahan menjadi sebuah renda yang rumit dan indah.

Setiap malam, ritual kecil ini menjadi penawar kesedihan yang menggerogoti kami berdua. Ayah pergi dua tahun lalu, terseret ombak ganas yang tak mau mengembalikannya. Sejak saat itu, Ibu tak henti merajut benang dan mimpi, berharap sulaman tangannya kelak dapat membawa kami keluar dari belenggu kemiskinan desa ini.

"Mira, kota metropolitan itu bagai bintang," suara Ibu lembut, memecah keheningan malam. "Terlihat berkilau dari jauh, tapi penuh mimpi dan kesempatan."

Aku mengangguk, meski mimpi kota terasa asing dan menakutkan bagiku. Kotaku hanyalah hamparan sawah hijau dan atap-atap seng yang berdesakan, hiruk-pikuknya hanyalah gemuruh ombak dan nyanyian burung.

Hari-hari berlalu, dan dengan setiap renda yang selesai dirajut, harapan di mata Ibu semakin berkilau. Uang hasil menjualnya ditabung dengan tekun, setiap rupiah disayang bak permata. Hingga akhirnya, setelah dua tahun yang panjang, cukuplah tabungan kami untuk membeli tiket kereta ke kota metropolitan.

Kota itu menamparku dengan keras. Gedung-gedung menjulang, hiruk-pikuk bergemuruh, dan ribuan wajah asing berlalu lalang tanpa henti. Takut mencekat di dadaku, tapi genggaman tangan Ibu menjadi jangkar, menarikku menapaki kerasnya aspal kota.

Kami tinggal di sebuah kontrakan sempit, berteman dengan suara kecoa dan pipa bocor. Ibu tak tinggal diam. Tangan ajaibnya kembali menari, bukan lagi pada renda, tapi pada kain perca sisa. Berbekal ketekunan dan kreativitas, Ibu mengubahnya menjadi pernak-pernik cantik yang ia jajakan di pasar malam.

Awalnya, tak mudah. Kekecewaan kerap menusuk hati Ibu saat dagangan tak laku. Tapi Ibu tak pernah menyerah. Setiap malam, di bawah temaram lampu kontrakan, ia terus merajut dan bermimpi. Benang kasihnya tak pernah putus, ia jalin menjadi kain kesabaran dan ketekunan.

Perlahan, pernak-pernik Ibu mulai dilirik. Warna-warni cerah dan desain unik karyanya menarik perhatian. Pesanan berdatangan, satu, dua, hingga akhirnya deretan kios menjajakan hasil sulaman Ibu. Dari renda desa, hingga aksesori kota, jari-jari ajaib Ibu telah membawa kami terbang tinggi melampaui bintang.

Kini, setelah lima tahun di kota metropolitan, kami punya kontrakan yang lebih layak, bahkan ada ruang khusus untuk Ibu berkarya. Mimpi kota bukan lagi angan-angan. Ia nyata, bukan dari gedung-gedungnya, tapi dari benang kasih Ibu yang tak pernah putus, yang telah mengangkat kami dan menggapai bintang-bintang yang dulu terasa begitu jauh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun