Dan tahun lalu, tepat lima tahun setelah mimpi pertama itu, aku berdiri di depan gedung tinggi hasil keringatku sendiri. Bukan rumah awan, tapi rumah nyata, rumah yang dibangun oleh sayap cinta Ibu dan ketekunanku sendiri.
Di ruang tamu, kulihat Ibu duduk tersenyum, tangannya menggenggam mangkuk berisi kari ayam. Wangi yang sama, senyum yang sama, cinta yang sama.
Aku berlutut di depannya, air mata berlinang. "Terima kasih, Ma. Mimpi rumah awan kita mungkin belum terwujud, tapi rumah ini, rumah nyata ini, dia lebih tinggi dari awan manapun, Ma. Karena dia dibangun oleh sayap cinta Ibu."
Ibu mengusap air mataku, lalu menarikku ke dalam pelukannya. "Kita memang belum di awan, Mira. Tapi kita terbang, Nak. Terus terbang bersama sayap cinta kita."
Dan saat itu, di pelukan Ibu, aku tahu. Rumah awan tak perlu lagi dikejar. Karena bersama Ibu, cinta kami, dan sayap tak terlihat ini, kami sudah jauh melampaui langit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H