Langit sore dicat jingga keemasan, berpadu lembut dengan awan biru pucat yang berarak-arakan. Angin senja berbisik lembut, membawa wangi tanah basah dan dedaunan. Di teras depan rumah, Ibu duduk di ayunan kayu, menyesap teh hangat sambil matanya menerawang ke cakrawala.
Aku baru saja pulang dari kampus, lelah dan sedikit tertekan dengan tumpukan tugas yang menunggu. Melihat Ibu di teras, hatiku langsung teduh. Senyum merekah di bibirku, langkah kakiku menuju ayunannya semakin cepat.
"Sudah pulang, Nak?" sapa Ibu lembut, memalingkan wajahnya ke arahku.
"Iya, Bu," jawabku seraya duduk di ayunan di sampingnya. Aromanya teh melintas menyapa indera, hangat dan menenangkan.
Tanpa diminta, Ibu mengulurkan tangan, mengelus lembut rambutku yang mulai panjang. Sentuhan itu, sederhana namun penuh makna. Dalam diam, seakan ada semua cinta dan kasih sayang yang dituangkan Ibu lewat elusan jemarinya.
"Bagaimana kuliahmu hari ini?" tanyanya penuh perhatian.
Aku menghela napas panjang, menceritakan kesulitan yang kuhadapi dengan salah satu mata kuliahku. Ibu hanya mendengarkan dengan saksama, sesekali mengangguk mengiyakan ceritaku. Tidak ada kata-kata menggurui, tidak ada kritikan pedas. Ada kedamaian dalam diamnya, kekuatan dalam dukungan senyapnya.
Ketika aku selesai bercerita, Ibu tersenyum kecil. "Jangan khawatir, Nak," katanya lembut. "Semua pasti ada jalan keluarnya. Ingat, kamu pasti bisa."
Kata-kata sederhana itu, seakan mantra ajaib yang mengangkat beban dari pundakku. Rasa lelah dan tekan terkikis oleh hangatnya senja dan pelukan kasih Ibu. Di teras kecil itu, di bawah langit senja yang menawan, aku menemukan kembali semangat dan keyakinan.
Senja semakin dalam, langit berganti rona menjadi ungu kehitaman. Kami masih duduk di ayunan, bercerita tentang hal-hal kecil, terkadang diselingi tawa renyah. Suasana damai menyelimuti kami, bagai selimut terhangat di dunia.