Sinar matahari menggelitik jendela kamar, membangunkan Nina sebelum alarmnya sempat berbunyi. Ia menguap, mengulurkan tubuh, dan disambut aroma roti panggang yang samar-samar. Aroma itu selalu menjadi penanda pagi di rumahnya, penanda tangan ajaib ibunya.
Nina turun ke dapur dan mendapati ibunya, Maya, sedang membalik roti di atas kompor. Rambutnya yang disanggul rapi sedikit awut-awutan, wajahnya dihiasi tepung terigu seperti bintang di langit malam. Maya tersenyum, matanya berbinar seperti panci berisi air yang tertangkap sinar matahari.
"Pagi, Nona Langitku," sapanya, nada suaranya semanis madu.
Nina terkikik. "Mama lagi, Nona Langit apaan sih?"
Maya mengangkat sebelah alisnya. "Kan kamu suka ngelamun sambil ngeliatin langit. Apalagi pas senja, kalau warnanya kayak vanili gitu, kamu suka banget."
Nina tersipu. Memang benar, ia tergila-gila dengan senja vanili. Senja yang langitnya berwarna lembut, dengan awan-awan yang berarakkan seperti perahu kapas. Senja yang selalu ia nikmati bersama Maya di teras belakang, sambil ibunya bercerita tentang dongeng dan bintang-bintang.
Pagi itu, roti panggang terasa lebih nikmat dari biasanya. Mungkin karena dibaluri cinta, mungkin karena ditemani senyum tulus Maya. Mereka mengobrol tentang rencana weekend, tentang novel yang sedang Nina baca, tentang hal-hal kecil yang terasa besar di hati.
Maya bukan ibu biasa. Ia seperti seberkas cahaya, menerangi dan menghangatkan hidup Nina. Ia tak pernah marah-marah, tak pernah mengeluh, selalu punya cara untuk mengubah hari buruk menjadi hari penuh keajaiban. Bahkan saat badai datang, pelukannya menjadi perisai yang kokoh, melindungi Nina dari segala kesedihan.
Suatu hari, Nina pulang larut karena ada latihan basket ekstra. Langit sudah gelap, gerimis membasahi jalanan. Nina cemas, takut ibunya khawatir. Begitu sampai rumah, ia disambut aroma sup hangat yang menguar dari dapur. Di ruang tamu, Maya duduk di kursi, wajahnya teduh dengan cahaya lampu baca.
"Ma, maaf Nina telat," gumamnya, merasa bersalah.