Wacana Menkumham yang berkaitan dengan napi koruptor, mendapat penolakan yang sangat keras dari orang-orang yang menamakan dirinya penggiat antikorupsi. Namun disayangkan, argumentasi penolakan tersebut menggunakan argumentasi yang sesat (logical fallacy). Disebutkan bahwa jika Koruptor dibebaskan, maka mereka bisa melakukan korupsi lagi (?)
Apakah mereka lupa bahwa tindak pidana korupsi hanya bisa dilakukan jika mempunyai kewenangan. Sedangkan koruptor sudah tidak mempunyai kewenangan atau kekuasaan, lalu mungkinkah  dia akan melakukan korupsi lagi? Disebutkan pula, bahwa pembebasan napi korupsi tidak akan menimbulkan efek jera kepada orang-orang yang berniat untuk korupsi. Namun, argumentasi ini pun terbantahkan dengan fakta bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) kita masih tinggi yaitu 40 di tahun 2019.
Tentangan yang paling keras terhadap wacana Menkumham tersebut datang dari Presenter sekaligus News Anchor Najwa Shihab. Namun yang sangat disayangkan pula bahwa argumentasi yang dikemukakannya juga menggunakan logika yang sesat.
Pertama, Najwa melakukan hesty generalization yang menganggap semua koruptur mendapat perlakukan istiwewa hanya berdasarkan pada satu atau dua kasus koruptor yang high profile, Â yang mendekam di Sukamiskin. Padahal, kita tahu jumlah napi koruptor ada sekitar 4.500 orang, yang tersebar di seluruh Indonesia dengan kondisi yang memprihatinkan.Â
Kedua, presenter kondang ini menampilkan  argumentasi buatan (strawman) atau mengada-ada. Seolah-olah Menkumham akan membebaskan semua napi koruptor. Padahal  Menkumham hanya mengusulkan memberi asimilasi terhadap napi koruptur yang usianya 60 tahun ke atas dan telah menjalani  2/3 masa pidananya, yang  jumlahnya hanya 300 orang dari 4500 napi koruptor seluruhnya atau hanya sekitar 6,5 %.
Pembebasan bersyarat itu juga selayaknya diberikan kepada Napi  yang memiliki riwayat penyakit Kronis (penyakit menahun yang tergantung kepada obat-obatan untuk mempertahankan hidupnya).  Sebab mereka tergolong berisiko tingg, yang mengancam jiwa  jika terkena Covid 19. Siapa yang akan bertanggungjawab jika hal terburuk itu terjadi? Maka, tidak patut kiranya rasa kebencian menutupi nurani kemanusiaan.
Diskriminasi PP 99/2012
Sebenarnya dengan adanya PP 99 tahun 2012, napi koruptor mendapatkan perlakuan yang  diskriminatif dan tidak adil karena pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat tidak diberlakukan pada narapidana pidana umum (pidum) berat seperti tindak pidana pembunuhan berencana, pemerkosaan, pencabulan anak, dan prampokan dengan kekerasan dan sebagainya.  Padahal bentuk kejahatan tersebut sangat berbahaya bagi masyarakat.  Â
Sebagai bukti bahwa pemberlakukan terhadap napi koruptor sangat diskrimatif dan tidak adil dapat dilihat dari perbadingan masa pidana yang harus dijalani oleh napi koruptor dan napi umum (Pidum) tersebut.
Karena mendapat remisi, napi Pidum tersebut yang divonis 5 tahun hanya menjalani masa pidana  sekitar 2 tahun dan 9 bulan; vonis 10 tahun hanya menjalani masa pidana hanya sekitar 5 tahun dan 7 bulan; vonis 15 tahun hanya menjalani 8 tahun dan 8 bulan; dan vonis 20 tahun hanya menjalani masa pidana hanya sekitar 12 tahun.
Bandingkan dengan napi koruptor yang harus menjalani masa pidananya sesuai dengan vonis yang dijatuhkan. Artinya, jika napi koruptor dijatuhi 15 tahun maka dia harus mendekam di penjara selama 15 tahun juga. Oleh karena itu, benar kata Menkumham bahwa mereka yang menolak atau menentang usulannya memiliki rasa kemanusiaan yang tumpul dan penuh dengan rasa kebencian. Â