Dua mahasiswa yang terpaut usia berbeda, berkesempatan mengenyam pendidikan di tempat terbaik di Indonesia. Kemudian melanjutkan pendidikan ke universitas bergengsi di luar negeri. Dengan penuh idealisme, setamat kuliah, mereka pun pulang ke tanah air untuk berkarya bagi bangsanya.Â
Dalam rentang waktu yang berbeda, keduanya pun pulang. Ir. Eddie Widiono Suwondo, MSc. MM, jebolan Teknik Elektro ITB (1976) dan University of London (1989) itu, kemudian berkarier di perusahaan listrik negara. Dari semula pegawai biasa, kariernya melesat dengan meraih berbagai posisi penting di PLN, hingga akhirnya menjabat Direktur Utama PT. PLN (2001-2008).
Sementara, DR. Gani Abdul Gani, MSc.,  lulusan Politeknik Elektro ITB (1986), Telekomunikasi Huddersfield University, England (1989) dan Loughborough University of Technology, England, bidang Telekomunikasi Digital (1990) serta Manajemen Bisnis bidang Keuangan, Fakultas Ekonomi, Unpad Bandung (2009) itu, mengabdi sebagai dosen di Politeknik lalu mengelola trainning  teknologi informasi yang pada saat itu belum berkembang seperti saat ini.
Klien peserta training kebanyakan berasal dari kalangan karyawan BUMN. Seperti Pertamina, Perbankan, PDAM, termasuk PLN. Selanjutnya bersama rekan satu almamaternya mendirikan PT. Netway Utama, yang bergerak di bidang Teknologi Informasi.
[caption caption="Jaringan PLN (foto: antaranews.com)"][/caption]Seorang peserta training dari PLN bercerita tentang kondisi runyam perusahaannya dan mencari solusi dari sisi teknologi dan manajemen IT. Untuk itu ia pun mengusulkan pimpinan trainning itu untuk presentasi di hadapan Direksi PLN.
Eddie Widiono dan Gani Abdul Gani, keduanya tidak pernah berjumpa. Juga tidak saling mengenal. Tetapi di tahun 2000-an mereka berada di ruangan yang sama untuk membahas masalah yang lumayan rumit: bagaimana mengurus manajemen layanan tenaga listrik bagi puluhan juta pelanggan PLN Distribusi DKI Jaya dan Tangerang, secara efektif dan efisien.Â
Bayangkan era di masa itu, pengelolaan puluhan juta pelanggan masih ditangani secara manual, disebut tata usaha langganan manual. Setiap tanggal 20, terjadi kerumunan manusia dengan antrian panjang di loket-loket pembayaran listrik. Jumlah uang terkumpul sangat banyak. Tetapi, jumlah tagihan diluar  yang tidak terkumpul, tunggu dulu, butuh waktu menyajikannya. Berapa nilai tagihan, tidak jelas.Â
Apalagi mempertanyakan dimana dan bagaimana posisi keuangan suatu periode, termasuk berapa yang disetor dan berapa yang tertahan, juga tidak jelas! Sementara, tingkat kebocoran dan pencurian listrik, sangat tinggi, bisa jadi di atas 30 persen! Dan jika Anda ingin tahu, bagaiman posisi keuangan saat itu? Diperlukan waktu berbulan-bulan menunggu hitungan kolektif dari seluruh cabang.Â
Singkatnya, jika dihitung-hitung antara nilai investasi, laba, rugi, dan lain-lain, ini perusahaan sedang menunggu kebangkrutan! Hingga, Hans Tuanakota, sebuah perusahaan jasa keuangan akuntan publik, yang diminta untuk memberikan evaluasi berkesimpulan, perusahaan ini dalam keadaan terpuruk, dan merekomendasikan adanya pembenahan manajemen.
Situasi Dilematis Bagi Direksi PLN
Presiden Megawati, yang dilapori, kontan mengeluarkan Keppres untuk menaikan tarif listrik secara berkala per 1 April, karena menilai perusahaan butuh suntikan dana segar dari publik, sementara kocek APBN masih carut-marut, tarik ulur dengan prioritas lain. Seperti kesehatan dan pendidikan yang juga memerlukan kucuran dana yang mendesak. Pemerintah dituntut bekerja ekstra untuk menambah cadangan APBN.Â