Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

5 Persoalan Mendasar RUU HIP

27 Juni 2020   20:07 Diperbarui: 28 Juni 2020   19:46 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam tulisan sebelumnya, saya telah menyebutkan ada 5 persoalan mendasar dalam RUU HIP.  Dan, tidak dicantumkannya TAP MPRS XXV tahun 1966 tidak termasuk diantara masalah-masalah itu.  Saya sudah tunjukkan bahwa  berdasarkan pasal-pasal dalam RUU tersebut, tidak ada sedikit pun indikasi bagi bangkitnya PKI, sebaliknya roh Pancasila sangat kuat.

Saya juga berpendapat bahwa substansi RUU HIP cukup progresif menjawab kebutuhan bangsa saat ini, karena benar-benar memberi panduan, arah, dan standar normatif bagi pelaksanaan pembangunan nasional serta penyelenggaraan kehidupan berbangsa bernegara. Bahwa dianggap belum urgen ditengah tuntutan konsetrasi tinggi dan energi banyak untuk menangani Pandemi Covid-19, itu soal lain. Tetapi, menurut saya RUU HIP ini sangat penting.  Ya, tidak urgen, tetapi penting!

Tulisan ini mengulas pandangan saya tentang kelima persoalan mendasar yang perlu dikritisi agar RUU ini bisa disempurnakan.

Pertama; disorientasi karena dalam RUU HIP tidak tercantum tujuan. Dalam pendekatan pemikiran kritis (critical thinking) purpose merupakan elemen mendasar. Pada Bab II yang membahas Haluan Ideologi Pancasila, terutama Bagian Kedua membahas hanya Pokok Pikiran dan Fungsi. Khusus Pasal 4 memuat fungsi HIP, yaitu sebagai pedoman bagi penyelenggara negara dan bagi masyarakat. Dilanjutkan Pasal 5 yang justru menjelaskan tujuan Pancasila, bukan tujuan HIP. Kita hanya bisa menebak-nebak mungkin fungsi dimaksudkan juga sebagai tujuan? Antara tujuan dan fungsi jelas dua hal yang berbeda, meski sangat erat kaitannya. Tidaklah mengherankan muncul banyak tafsiran dan ragam sikap, bisa jadi disebabkan ketidakjelasan tujuan.

Kedua; mengandung asumsi (keyakian mendasar) bahwa hanya pemerintah yang memiliki otoritas menginterpretasi Pancasila. Bagaimanapun perlu hati-hati karena hal ini berpotensi dijadikan alat politik oleh penguasa, sebagaimana terjadi di rezim Orba dengan P4-nya (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Ini memberi alasan logis mengapa banyak kalangan, terutama yang hidup di era Orba mengkhawatirkannya. Ingatan kolektif masyarakat Indonesia segera terbang ke masa-masa mencekam, dimana monopoli interpretasi Pancasila oleh penguasa dengan mudah diinstrumentasi untuk menyingkirkan musuh-musuh penguasa dan para pengktiriknya. 

Ketiga; persoalan epistemologis, karena menjadikan rakyat di basis-basis budaya sebagai target, padahal justru sumber nutrisi bagi kultivasi Pancasila. Hakikatnya, tradisi-tradisi lokal merupakan hulu, bukan muara. Bukankah Pancasila adalah saripati dan puncak dari nilai-nilai dan kearifan lokal yang hidup mekar sebagai “taman keragaman” dari etnis dan suku-suku bangsa di Indonesia?  Dengan kata lain, bukankah kekayaan nilai-nilai kultural merupakan ‘bunda kandung” Pancasila, yang seharusnya terus “menyusui” agar tetap sehat dan bertumbuh? Membalikkan muara ke hulu justru membahayakan Pancasila karena kemungkinan mencemari sumber-sumber mata air dengan polusi nilai yang datang dari luar.  

Keempat; potensi reduksi dikarenakan di Pasal 6 menyebutkan sendi pokok Pancasila adalah keadilan sosial. Bisa salah ditafsirkan, seolah-olah, misalnya, Ketuhanan atau Musyawarah bukan sendi pokok? Makna konsep “sendi pokok” itu perlu dijelaskan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.  Sebagian kalangan menunjuk “pemerasan”  Pancasila menjadi Trisila, lalu diperas lagi menjadi Ekasila sebagai reduksi, menurut saya dengan merujuk pada pidato Sukarno 1 Juni 1945 tidaklah dapat dipahami demikian. Sukarno menggunakan frasa “diperas” atau “perasan” itu menunjuk pada inti dari Pancasila pada akhirnya adalah gotong royong.  Lagi pula, yang diungkapkan Sukarno adalah, bila  ada yang tidak suka angka lima (yaitu Pancasila) ditawarkan tiga (menjadi Trisila), dan kalau tidak ada yang suka angka tiga menjadi satu (Ekasila).  Jadi, konteksnya sudah jelas. Pancasila sebagaimana kita terima sebagai Dasar Negara adalah hasil pengesahannya di 18 Agustus 1945. 

Kelima; pasal 48 menyebut unsur-unsur dewan pengarah, antara lain anggota TNI, POLRI, dan ASN aktif. Ini membangkitkan ingatan kolektif lagi pada model Orba, dimana unsur-unsur di atas dijadikan alat politik belaka. Dalam diskusi-diskusi muncul pertanyaan, mengapa bukan para cendikiawan, filsuf,  dan budayawan yang dimasukkan dalam kelembagaan sebagai Dewan Pengarah? Bukankah mereka lebih terjamin independen, dan lagi pula, khususnya para budayawan banyak menginternalisasi nilai-nilai khas Nusantara, yang justru akan ikut memperkaya dan menumbuhkembangkan Pancasila? Para budayawanlah yang nampaknya paling intensif dan setia merawat nilai-nilai agung moralitas kebudayaan lokal, yang tidak lain menjadi rahim bagi lahirnya Pancasila. Atau, misalnya, mengapa tidak ditetapkan saja kriteria-kriterianya berdasarkan “kapasitas, kapabilitas, dan integritas” terkait pengamalan pada nilai-nilai Pancasila, sehingga tidak terkesan sekadar mengakomodir berbagai unsur keragaman dengan mengabaikan substansi dan kapasitas? 

Demikan lima hal mendasar dari RUU HIP yang perlu didiskusikan lebih kritis dan intens.  Semoga melalui RUU HIP ini Indonesia kembali teguh menemukan jati diri, berdiri kokoh di atas dasar Pancasila sebagai filsafat dan pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama mengarahkan dan menstandarkan  pelayanan publik dan orientasi pembangunan nasional sehingga benar-benar berjalan sebagai pengamalan dan perwujudan dari nilai-nilai Pancasila.  Merdeka! Merdeka!  Merdeka!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun