Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

RUU HIP, Jangan Baca Kaver Saja!

25 Juni 2020   21:39 Diperbarui: 25 Juni 2020   21:37 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah massa aksi dari Aliansi Patriot Peduli NKRI melakukan deklarasi tolak Rancangan Undang-Undang Haluan Idelogi Pancasila (RUU HIP) di Bekasi, Jawa Barat, Jumat (19/6/2020). ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/wsj. Baca selengkapnya di artikel

Ramainya penolakan RUU HIP sejak diwacanakan di ruang publik menuntut pemahaman kritis, bukan sekadar membaca kovernya saja. Bahayanya lagi, meski hanya bermodalkan kaver bisa menggalang massa besar berdemonstrasi dengan mengambil risiko melanggar protokol kesehatan, yang berarti juga membahayakan diri sendiri dan orang lain?  Berapa energi dana, waktu, dan tenaga yang terkuras untuk itu? Pesan edukasi apa yang tersampaikan kepada masyarakat?    

Pemahaman kritis atau membaca dengan kacamata pemikiran kritis membantu kita memahami sesuatu secara utuh. Utuh dimaksudkan harus bisa mengungkap fondasi filsofosisnya, asumsi-asumsi tersembunyi dibalik premis-premis yang terbangun di pasal-pasalnya, tujuan bahkan hingga implikasi terapannya.  

Saya menduga para penolak RUU HIP belum membaca secara utuh sehingga tidak menangkap rohnya.  Bahwa beberapa pasal patut dipersoalkan itu benar, namun spirit keseluruhannya tidaklah "berbahaya"  sebagaimana digambarkan oleh suara-suara bising di jalanan itu.

Meski para penolak lebih memberi perhatian pada TAP No.XXV/MPRS/1966, menurut saya  pasal-pasal potensil bermasalah, atau setidaknya perlu dipersoalkan tidak hanya itu. 

Saya mencatat setidaknya terdapat lima hal substansial yang layak dipertanyakan dan membutuhkan diskusi lebih serius. Secara lengkap, saya akan bahas dalam tulisan lainnya.

Tetapi, tentu saja tidak hanya berisi masalah. Kenyataannya juga  terdapat banyak hal positif-progresif  diatur dalam RUU HIP, yang menurut saya patut dihargai dan didukung lantaran terkait upaya penerapan Pancasila di berbagai aspek kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.  Bila dibaca keseluruhan isinya dan dipahami dengan baik pasti akan sangat mudah menemukan fakta adanya pasal-pasal progresif dimaksud.

Tulisan ini hanya ingin fokus pada "tuduhan"  yang mengaitkan tidak dicantumkannya TAP No.XXV/MPRS/1966  dengan terbukanya ruang bagi kebangkitan kembali PKI. Dimana kaitannya?  Dari sisi kebahasaan, tidaklah serta merta demgan tidak dicantumkan lalu berarti membuka peluang bagi kembalinya partai terlarang itu.

Sepanjang membaca keseluruhan isi RUU HIP saya tidak menemukan indikasi yang mengarah ke tuduhan berat itu. Itulah sebabnya, menurut saya tuduhan tersebut tidak memiliki dasar argumen apapun. Justru sebaliknya,  apabila dibaca secara menyeluruh dengan hati tenteram dan pikiran bening akan terihat  RUU HIP itu sangat dijiwai oleh semangat Pancasila, terutama sila Ketuhanan Yang Maha Esa. 

Berikut, sejumlah pasal atau ayat dari RUU HIP yang secara ekplisit menyebutkan Ketuhanan, Agama, Kerohanian dan hal sejenis yang secara esensial tentunya bertentangan dengan idealisme komunisme (PKI).

Pertama; Pasal 1 (butir 10) tentang pengertian Masyarakat Pancasila, disebutkan: "................untuk mewujudkan cita-cita setiap rakyat Indonesia yang menggambarkan suatu tata Masyarakat Pancasila yang BERKETUHANAN."  RUU ini menjadikan "konsep Masyarakat Pancasila" sebagai bentuk masyarakat ideal yang ingin dicapai, dengan salah satu ciri utama, yaitu berketuhanan.  

Bahkan, tentang Masyarakat Pancasila dibahas khusus dalam Bagian Keempat mencakup 5 Pasal, yaitu Pasal 8-12.  Dan, kita tahu ciri masayarakat ber-Tuhan sudah pasti jauh dari ideal komunisme, bahkan menjadi musuh bebuyutan.

Kedua; pada Pasal 8 (butir f) disebutkan: "....terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan  berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa......."  Esensi pasal ini memang masih terkait dengan Masyarakat Pancasila.

Ketiga;  Pasal 9 (butir c): "Terjamin kehidupan KEAGAMAAN dan kebudayaan. "

Keempat; Pasal 12 terkait ciri-ciri Manusia Pancasila, disebutkan setidaknya di dua butir, yaitu (3a): "beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,"  dan butir (3d): ".......yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral terhadap sesama manusia dan kepada Tuhan Yang Maha Esa."  Mana mungkin, komunisme mau bertakwa kepada TYME, dan bahkan bertanggungjawab kepada-Nya?

Kelima; Pasal 22 terkait Bab tentang "HIP sebagai Pedoman Pembangunan Nasional," dimana disebutkan salah satu bidang pembangunan nasional di butir (a), yaitu: "AGAMA, rohani dan kebudayaan."  Terdapat 20 bidang pembangunan nasional, dan AGAMA disebutkan paling pertama, yaitu di butir  (a) itu.

Keenam; Pasal 23  menyebutkan wujud Pembagunan Nasional bidang agama, yaitu di butir (a): "Pembinaan AGAMA, KEROHANIAN..............." dilanjutkan dengan butir (b) yang menjamin kebebasan warga memeluk dan beribadat menurut AGAMA dan KEPERCAYAANNYA." Selanjutnya, di butir (d) menetapkan pendidikan AGAMA sebagai mata ajar di kurikulum pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, sementara butir (e) terkait rumah ibadah dan lembaga-lembaga keagamaan. Sekali lagi pertanyaannya, bagaimana mungkin PKI membolehkan Agama dijadikan mata ajar wajib di lembaga-lembaga pendidikan?  Membolehkan pembinaan agama dan kerohanian?

Berdasarkan keenam point di atas, yang secara ekplisit menghadirkan prinsip-prinsip Ketuhanan dan Keberagamaan, pertanyaannya, dimana letak indikasi adanya keterkaitan RUU HIP dengan PKI?  

Bahkan, kalau dipelajari RUU HIP dengan lengkap, justru akan makin banyak ditemukan pasal-pasal lainnya yang secara implisit mengandung semangat keberagamaan dan keber-Tuhan-an. 

Bukankah hal itu memang merupakan ciri khas masyarakat Indonesia, bahkan menjadi praktek keseharian sejak nenek moyang kita, jauh sebelum masuknya penjajahan? 

Itulah alasan yang memperkuat dugaan saya, bahwa dasar penolakan terhadap RUU HIP hanya karena membaca kavernya saja. Begitu tidak ditemukan TAP MPRS No.XXV langsung melompat ke kesimpulan, bahwa RUU HIP membuka ruang bagi bangkit kembalinya PKI.

Bukankah itu kesimpulan yang tidak sahih? Anjuran saya, bacalah lagi secara lengkap, setelah itu silahkan diskusikan di ruang-ruang publik. Temukan bukti-bukti dari pasal-pasal RUU HIP yang memiliki indikasi menopang tuduhannya. Itu jauh lebih intelek dan mendidik, daripada mengandalkan kekuatan massa dengan mengambil banyak risiko, padahal hanya lantaran sebuah kaver RU

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun