"We are propably one of the last generations of homo sapiens,"demikian Yuval Noah Harari, sejarawan dan filsuf dari Hebrew University of Jerusalem mengawali kuliahnya di University of California Television(UCTV), 27 Februari2017 bertema Homo Deus: A Brief History of Tomorrow.Â
Lebih tegas lagi, Harari mengingatkan pertanda dimana manusia (homo sapiens) yang selama berabad-abad memegang otoritas mengatur dunia akan segera diambilalih oleh entitas lain, yaitu teknologi (algoritma). "Dunia akan segera didominasi oleh entitas lain, dan revolusi ini telah dimulai," tandas Harari.
Senada dengan Harari, Anthony Levandowski, mantan karyawan google bergerak lebih jauh. Tahun 2017 ia membangun sebuah proyek berbasis AI untuk membuat 'tuhan robot' yang disebutnya deus ex machine. Agama baru yang didirikannya bernama way of the future, dengan kitab sucinya disebut "Manual".
Levandowski mendaku diri sebagai pastor pertama dan mulai menyebarkan ajaran agamanya, bermula di San Fransisco. Dalam sebuah interview seperti dilansir Wired.com Levandowski mengindikasikan akan adanya transisi kepemimpinan dunia dari manusia kepada 'apapun itu' (the whatever), dan ia hanya ingin pastikan penguasa baru itu tahu bahwa manusia yang membantunya.
Eksistensi penguasa masa depan itu oleh Harari disebut homo deus, yaitu teknologi (algoritma) yang akan menja dituhan, data sebagai agama, dan para pencipta teknologi terkemuka di lembah Silicon merupakan nabi-nabi zaman ini (atau masa depan).
Gambaran kedua posisi di atas menunjukkan ambiguitas manusia memahamai teknologi, dan terutama memahami diri dihadapan teknologi. Manusia memaknai teknologi hanya dari fungsi dan dampaknya, bukan dari esensinya. Fitur lain yang meunjukkan ambiguitas adalah realitas virtual.
Melalui koneksi internet realitas virtual menghantar manusia menjadi makhluk amphibi, hidup baik di dunia aktual maupun dunia maya. Data dari We Are Social untuk Indonesia, per Januari 2020 menunjukkan sebagian besar penduduk (75.4%) menghabiskan waktunya di dunia maya; sekitar 164 juta pengguna aktif medsos dengan rata-rata 8.36 jam/hari. Maka, makna berada manusia menjadi pertanyaan esensial.
Respons terhadap Covid-19 di berbagai negara, termasuk Indonesia, menciptakan gerakan yang lebih massif membawa manusia masuk lebih dalam ke virtual reality serta memanfaatkannya. Makna sosialitas manusia terpahami tidak lagi melalui perjumpaan tubuh dengan tubuh, melainkan melalui sebuah simulasi realitas.
Kuliah-kuliah, meeting-meeting formal, silaturahim keluarga, bahkan ibadah dan kegiatan keagamaan yang sakral, semua terpaksa diselenggerakan dalam platfrom virtual. Ini akan membawa konsekuensi dan implikasi ikutan yang  luar biasa di masa depan. Wajah masa depan yang banyak berubah setelah Covid-19 berlalu.
Pertanyaannya adalah, apakah mungkin perkembangan ketergantungan yang makin tinggi ini membawa teknologi menjadi tuan, bahkan tuhan bagi manusia, seperti dinyatakan oleh Harari (homo deus) dan Levandowski (deus ex machine) sebagaimana dikutib di atas?
Apakah 'kodrat' atau vitur-vitur khas teknologi memiliki potensialitas mengambil alih kendali atas pengelolaan kehidupan manusia dan alam semesta? Â Apakah realitas virtual menjadi 'dunia pelarian manusia' dari berbagai ikatan aturan pengawal etika, moral dan hukum di dunia actual yang dianggap mengikat dan membelenggu kreativitas?Â