Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Rekonsiliasi Syaratkan Intellectual Humility

20 Mei 2019   22:25 Diperbarui: 22 Juli 2019   19:20 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Paska pemilu 2019 muncul wacana perlunya rekonsiliasi nasional. Kaum terdidik (intelektual) di kedua kubu sebaiknya berperan proaktif.

Kebutuhan rekonsiliasi urgent lantaran kedua kubu capres saling klaim kemenangan. Kubu satunya berdasarkan hasil quick count sebagian besar lembaga survei, dan satunya atas dasar real-count internal. 

Politik kian gaduh dan masyarakat pun terbelah oleh perbedaan dukungan. Bara perpecahan makin panas dipicu aroma delegitimasi otoritas penyelenggara pemilu, people power, revolusi, tuduhan makar, kecurangan massif, penolakan hasil pilpres, dan sejenisnya.

Tak terhindarkan bahwa kegaduhan politik membutuhkan peran kaum intelektual. Bukan karena para terdidik ini diyakini mewarisi tradisi berpikir kritis untuk menerangi rimba gelap perpolitikan dan menenteramkan kegaduhan dengan kebeningan pikir dan metode pencarian kebenaran yang terlatih, melainkan karena, secara langsung ataupun tidak, mereka juga memegang peran kunci dalam kegaduhan itu.

Betapa tidak? Proses pemilu, khususnya pilpres menunjukkan peran nyata permainan hoax dan fake-news. Para pendukung kedua kubu memainkan "strategi-strategi" pra adab itu untuk saling menghancurkan disatu sisi, dan disisi lain menarik simpati dukungan massa. Tidak tanggung-tanggung pula atribut-atribut agama dan sains diseret masuk untuk melegitimasi posisi sebagai yang paling benar karenanya lebih pantas menang. 

Ayat-ayat suci dan emosi primordial agama diumbar guna mengkonsolidasi dukungan, juga survei-survei internal atau bayaran digelar sekadar gagah-gagahan untuk meneguhkan klaim kemenangan pihaknya.

Fenomena yang mirip juga pernah terjadi dalam pilpres di negara-negara lain, seperti AS tahun 2016, Turki dibawah kepemimpinan Erdogan, dan Brazil tahun 2018 yang mengantarkan Bolsonaro ke tampuk kekuasaan, juga Venezuela yang menghasilan kepemimpinan ganda. Seakan sudah menjadi gejala global, pada dekade lalu Ralph Keyes (2004) mendeklarasikannya sebagai "the post-truth era." 

Ancaman seriusnya adalah pada relativasi fondasi kebenaran dan dasar moral sebagai pegangan bersama. Khas gaya Trump, kabar bohong dicanggihkan dengan istilah alternative facts.

Debat kelima Pilpres 2019. Liputan6.com/Johan Tallo
Debat kelima Pilpres 2019. Liputan6.com/Johan Tallo
Peran Kaum Terdidik
Kaum terdidik adalah mereka yang pernah menyelami pendidikan tinggi, baik sipil maupun militer. Dengan definisi sederhana ini, hampir dipastikan sebagian besar (kalau tidak semuanya) elit inti di kedua kubu paslon masuk dalam kategori. Bahkan, tidak sedikit penyandang gelar prestisius Magister, Doktor, Profesor, Jenderal, dan lainnya.

Dominannya para terdidik di struktur inti partai politik dan elit ring-satu dukungan paslon seharusnya sebagai kabar baik, yang diharapkan berperan memfasilitasi terciptanya proses dan output demokrasi berkualitas. Baik kualitas dari segi intelektualitas dan keadabannya, maupun dari segi proses teknis seperti desain isu kampanye, bangunan argumen berbasis data, proyeksi keakanan yang achievable, hingga jaminan tercapainya output pemilu ideal. 

Bukankah mereka telah akrab dengan metode pengadaan dan pengujian data, analisis fakta, dan teknik penyimpulan sebagai pegangan (keputusan) dan titik berangkat? Bukankah mereka terlatih menjadikan pencarian kebenaran sebagai object of desire (tujuan) sekaligus metode dan cara penyelesaian masalah? Bukankah mereka juga terlatih memiliki jiwa patriotisme dan nasionalisme?

Ketegangan antar kubu terjadi karena kaum terdidik ini justru terkesan mengabaikan kultur akademik dan sikap patriot lalu ikut pasang kuda-kuda membela kubu politiknya dengan memanipulasi profesionalitas keilmuan maupun keagamaan. 

Tradisi ilmiah yang pernah dipelajari-latihnya seakan kehilangan relevansi. Sikap arogansi inetelektual berlebihan menyebabkan tertutupnya ruang saling memahami perspektif, serta membuka diri bagi pertimbangan nalar dan sikap takluk pada fakta-fakta teruji dan data kredibel.

Ada baiknya, setiap elit terdidik menghayati kembali janji alumni, visi universitas, mars lembaga atau sumpah profesi, untuk dikonkretkan dalam sepak-terjangnya di dunia politik. Ia berbicara dan berkarya sebagai orang terdidik dan melek politik. Politik ditangan kaum intelek seharusnya merupakan seni mengelola keadaban dan meningkatkannya ke level yang makin tinggi. Bukankah politik adalah antitesa non adab dalam kerangka Hobbesian, yaitu era ketika manusia menjadi serigala bagi sesamanya (homo homini lupus)?

Kaum intelek merupakan hasil investasi pendidikan dari 20% dana APBN hasil bayar pajak rakyat yang ditujukan antara lain untuk meraih cita-cita luhur mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya, mereka merupakan bagian penting dari proyek pencerdasan bangsa. 

Dibutuhkan Intellectual Humility
Proses pemilu menunjukkan apa yang diharapkan sebagai peran ideal kaum terdidik untuk mengkontribusikan kualitas intelektual dan adab di praxis politik gagal didemonstrasikan. 

Keluhan Effendi Gazali dalam tulisan kolom Detiknews (6/5/19) yang menggambarkan karut-marut proses pemilu 2019 sebagai "penghancuran peradaban" merupakan salah satu gambaran terang kondisi itu. 

Dari angle lain, tulisan Kolom Kang Hasan (DetikNews 6/5/19) memotret kondisi merusak dari dalam kelas-kelas sekolah oleh para guru. Kedua tulisan di atas menggambarkan kelumpuhan nalar dan adab serta manipulasi forum untuk kultivasi kebencian bermotif politik. Sebuah gambaran masa depan yang menakutkan.

Investasi negara untuk mewujudkan cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa di dunia politik terlihat tersumbat, justru oleh mereka yang telah menikmati investasi tersebut melalui dunia pendidikan. Yang terpantau dari perilaku di panggung politik adalah sikap apolitis anti-sains, agen penyebar hoax, dogmatisasi kebenaran parsial, dan sikap kurang adab lainnya.

Mereka bahkan lebih memercayai sumber fakta dari keluhan seorang ibu Iyem di pasar tradisonal atau bisikan oknum aparat anonim yang tidak punya kaitan dengan otoritas penyelenggaran pemilu, bahkan bisikan-bisikan "setan gundul" yang mendukung ambisi politik kubunya, daripada providensi data dari sumber primer dan dengan metode ilmiah teruji. Mereka tidak membuat data, juga tidak mengakses sumber data kredibel, justru lebih doyan mengarang data.

Resah oleh bencana post-truth yang ikut ditularkan kaum terdidik, para psikolog, filsuf dan teolog mengembangkan proyek intellectual humility (kerendah-hatian intelektual). Tesis pokoknya adalah bahwa para politisi (yang diandaikan merupakan kaum intelek atau terdidik) perlu menyadari hakikat intelektualitas yaitu kabajikan. Dan, kebajikan tertinggi adalah sikap rendah hati.

Kerendah-hatian intelektual merupakan salah satu elemen penting dari berpikir kritis. Kesalahan memahami dan mempraktikkan metode berpikir kritis selama ini adalah mengabaikan aspek etis atau aksiologinya, yang bahkan dalam model berpikir kritis Paulian merupakan ontologi (tujuan akhir /obyek pencarian) yang menjadi ragaan (tampilan yang melekat) seorang critical thinker. 

Kaum terdidik di kedua kubu paslon sebaiknya secara gentle membiasakan diri mengembangkan metode-metode sains untuk mendapatkan data valid, dan meramu isu-isu kampanye yang membangun dan mencerahkan, mengembangkan keterbukaan, mengibarkan panji kebajikan intelektual secara efektif, yaitu pemikiran kritis, penyelidikan berkelanjutan dan, bila diperlukan, revisi keyakinan berdasarkan bukti terkuat. 

Merangkul keyakinan buta sambil memaksakan kebenaran pihak sendiri merupakan bentuk arogansi intelektual yang jauh dari sikap bijak dan rendah hati. Sikap arogansi tergolong sebagai sikap weak critical thinker.

Brian Resnick, seorang saintific reporter di Vox.com mengingatkan perlunya kaum terdidik, bahkan yang paling cerdas sekalipun, menyadari memiliki titik buta kognitif (cognitive blind spots). Itu sebabnya, setiap orang perlu membuka diri pada perspektif yang berbeda atau berlawanan. 

Sikap demikian membuka ruang saling belajar dan berbagi sumber sehingga bisa bertumbuh bersama ke level kualitas yang lebih baik. Pun, apabila ternyata apa yang menjadi keyakinan dan pegangan salah atau keliru, perlu menunjukkan kebesaran jiwa mengakui kesalahan dihadapan bukti dan fakta baru yang lebih kuat. Itulah yang dimaksud dengan intellectual humility.

Tetapi, itu tidak berarti kerendah-hatian intelektual mengatribusi sikap politik plin-plan yang justru melumpuhkan demokrasi. Michael Lynch, seorang profesor filsafat Universitas Connecticut, sebagaimana dikutip Brian Resnick, menganjurkan supaya demokrasi berkembang perlu keseimbangan antara keyakinan (yang dipegang teguh) dan kerendahan hati. 

Sikap teguh diperlukan karena "politisi yang apatis bukanlah politisi sama sekali." Tetapi, juga kerendahan hati diperlukan, karena kemajuan pembelajaran demokrasi terjadi dalam kemauan saling mendengarkan.

Kembali ke kondisi politik aktual kita, rekonsiliasi politik hanya efektif bila kaum terdidik di kedua kubu mengambil sikap kerendah-hatian intelektual. Masing-masing membiarkan "pengadilan nalar" memutuskan hasil akhir, dan membuka diri pada bukti-bukti yang diadministrasikan oleh lembaga penyelenggara yang punya otoritas (KPU, Bawaslu dan DKPP), baik secara digital maupun manual. 

Metode sains dan keterbukaan untuk dikoreksi dari pihak penyelenggara menunjukkan sikap intelek yang rendah hati. Seharusnya sikap tersebut juga disambut positif oleh kedua kubu dengan menunjukkan sikap yang sama, dan kalau diperlukan diuji juga dengan metode sains. Membuat tuduhan kecurangan dengan membawa tekanan massa bukanlah sikap intelek.

Hanya dengan sikap kerendah-hatian intelektual rekonsiliasi bisa terbangun di atas fondasi filosofis-etis yang kuat. Lebih dari itu, dengan menunjukkan sikap rendah hati kita merayakan penghormatan pada hasil pencerdasan kehidupan bangsa, yaitu tegaknya karakter pendidikan yang paling utama: kebajikan intelektual (intellectual traits).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun