Sinterklas yang dinanti-nantikan oleh anak-anak menjelang Natal memiliki posisi sentral dalam ornamen perayaan. Rasanya, bukanlah Natal bila ornamen-ornamen dekorasi yang ditampilkan tanpa Sinterklas, baik dalam bentuk boneka, replika, maupun manusia dengan kostum Sinterklas, termasuk topi merah berjambul-nya. Apakah Sinterklas itu fakta atau mitos?
Munkin banyak yang kurang sadari, bahkan di kalangan Kristen sekalipun, bahwa kisah sejenis Sinterklas ini memiliki dua versi yang berbeda, meskipun dengan hakikat 'misi' yang sama. Yaitu, membagi-bagikan hadiah kepada anak-anak, atau menjawab doa permintaan anak-anak. Kostum dan kendaraan yang dikenakan pun berbeda.
Umum dikenal di Indonesia adalah versi Eropa, tepatnya Belanda. Versi ini 'menantikan' kedatangan Sinterklas pada setiap 5 Desember. Ia masuk ke dalam rumah-rumah melalui cerobong asap untuk membagi-bagikan hadiah kepada anak-anak yang gemar berbaut baik. Ini sungguh konteks Eropa sehingga detil tersebut kurang popular dalam perayaan di Indonesia. Karena Eropa, Sinterklas tentu saja berpenampilan tipikal orang Eropa dengan badan besar, tinggi, berjenggot putih panjang, dan mengenakan topi salju. Ia biasanya digambarkan mengendarai kereta terbang yang ditarik oleh rusa-rusa kutub. Â Memiliki seorang budak setia kulit hitam bernama Swarte Piet yang digambarkan 'jahat dan kejam' dengan membawa karung, mencambuk anak-anak nakal lalu memasukannya ke dalam karung dan membawanya pergi.
Sempat diyakini nama Sinterklas berkaitan dengan seorang tokoh yang disebut Santo Nicholaas. Nicholaas dikisahkan lahir di Patara (termasuk dalam wilayah Turki yang dulunya Byzantium) sekitar 280 Masehi. Ia digambarkan mewarisi kekayaan keluarganya yang digunakan untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang berkekurangan. Bahkan, ia disebut sebagai seorang Uskup. Namun, versi ini tidak begitu meyakinkan sehingga pada tahun 1969 pemimpin tertinggi gereja Katolik di Vatikan, yaitu Paus mencabut nama Sinterklaas dari daftar nama orang-orang suci gereja.Â
Versi Amerika berbeda dari segi penampilan. Namanya juga mirip tapi sesungguhnya tak sama, yaitu Santa Claus. Lantaran pengucapan namanya mirip dengan Sinterklas banyak orang tidak menyadari perbedaannya. Santa digambarkan berasal dari kutup utara, dan tidak memiliki pembantu seperti Swarte Piet bagi Sinterklas. Sejumlah sumber menyebutkan tokoh Santa Claus merupakan transposisi dari kepercayaan pagan tentang dewa Odin (mitologi Jerman, adapula yang menyebut Norwegia) yang digambarkan mengendarai kuda terbang berkaki delapan dan biasanya mendarat di dekat cerobong asap.Â
Sumber lain menyebut 'penokohan Sinter Klaas ataupun Santa Claus ini baru dimulai abad 18. Â Lewat sebuah puisi berjudul "A Visit from St.Nicholas" (umumnya disebut juga 'Twas the Night Before Christmas') yang ditulis oleh Clement Clrake Moore tahun 1822 menceritakan St.Nicholas mengendarai kereta yang ditarik oleh 8 ekor rusa kutup. Kedelapan ekor rusa itu adalah Dasher, Dancer, Prancer, Vixen, Comet, Cupid, Donner dan Blitzen. Â Pun, sebuah lagu karya Johny Marks tahun 1939 ikut mengokohkan 'tradisi sinterklas' dalam rangkaian ritual natal yaitu berjudul "Rudolph the Red Noosed Reinder" Â yang menggambarkan rusa Rudolph menjadi pemimpin kawanan rusa kutup yang berhidung merah sebagai penarik kereta Santa Claus.
Sudah umum diketahui, bahwa Sinterklas maupun Santa Claus itu sesungguhnya bukanlah sentral dari perayaan kelahiran Krsitus. Kisah-kisah atau tokoh-tokoh itu ditransposisi dari agama pagan, agama tua Yunani atau Romawi, atau dari tradisi dan mitos Yunani klasik. Bahkan, termasuk penetapan tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Kristus-pun sesungguhnya trannsposisi hari pemujaan Dewa Matahari dalam tradisi keagamaan Romawi.
Awal sesungguhnya dimulai tahun 1890, ketika sebuah pusat pembelanjaan di Amerika menggunakan Sinterklas sebagai penarik minat pengunjung. Ketika itu James Edgar, pekerja di pusat perbelanjaan di Massachusetts memutuskan mengenakan kostum Sinterklas di tempat kerjanya. Dari sanalah Santa 'beralih karier' dari 'orang suci' ke marketer!, karier yang hingga saat ini membuatnya berkiprah  di semua pusat perbelanjaan di seluruh dunia.
Coca Cola misalnya, telah cukup lama 'memanfaatkan' tokoh 'idola anak-anak di hari Natal" itu.  Pertamakalinya digunakan untuk iklan Natal tahun 1920 dalam majalah The Saturday Evening Post. Lalu, pada tahun 1930, Fred Mizen (seorang seniman) mengecat tokoh Santa di tengah kerumunan orang minum sebotol Coke. Iklan tersebut menampilkan air mancur soda terbesar di dunia, yang terletak di department store Famous Barr Co. di St. Louis. Lukisan Mizen digunakan dalam iklan cetak pada musim Natal yang muncul di The Saturday Evening Post pada bulan Desember 1930. Seterusnya gencar diiklankan juga di Ladies Home Journal, National Geographic, The New Yorker, dan lainnya.  Tahun 2001  Coco-cola Santa makin tampil memukau lewat TV animasi garapan animator pemenang Academy Award, Alexandre Petrov. Dengan topangan media bermotif  bisnis karakter Santa Claus dipoles makin menarik dan popular.
Artinya, Sinterklas, Santa Claus atau sejenisnya merupakan tradisi Eropa. Jelas bahwa baik Sinterklas (Sinter Klaas) maupun Santa Claus, sama-sama bukan sepenunnya kisah nyata. Atau setidaknya bukanlah kisah autentik Kristen karena tidak didukung narasi Kitab Suci, maupun dokumen-dokumen keagamaan yang tervalidasi. Â Namun, tidaklah berarti tidak bermanfaat.
Sebagaimana diketahui, esensi  mitos bukanlah untuk menjelaskan realitas. Mitos lebih berfungsi sebagai 'ajaran moral' untuk membangun karakter. Dengan pemahaman tersebut, 'penokohan' Sinterklas atau Santa Claus, atau apa pun sebutannya, jelas ditujukan untuk mendidik anak-anak agar terlatih berbuat baik. Dengan berbuat baik, mereka akan memperoleh hadiah, sebaliknya anak-anak nakal akan mendapatkan hukuman. Pesannya menjadi benderang, yaitu agar Natal menjadi momentum evaluasi diri agar makin bertumbuh dalam perbuatan baik kepada sesama. Di sini 'tradisi asing' ini memiliki makna asosiatif dengan esensi kelahiran Kristus, yaitu sebagai tindakan imanensi Allah untuk menyelamatkan manusia dari perbuatan-perbuatan jahat-sesatnya kepada perbuatan-perbuatan kebaikan beralaskan cinta kasih.  Kebaikan adalah buah iman kepada kebaikan Pencipta yang mendahului dan menjadi teladan.
Di sini fakta atau pun mitos bukanlah pokok soalan untuk didebatkan. Bahkan, mengetahui persis hingga meyakini bahwa kisah itu hanyalah mitos bukan juga alasan menghilangkannya. Selain telah mentradisi sehingga memberi 'warna dan roh' yang ikut membangun suasana menjelang dan perayaan Natal, juga memiliki nilai edukatif  yaitu membina karakter dan memupuk kasih sayang keluarga. Di kampung-kampung, biasanya orang tua menyediakan hadiah tanpa sepengetahuan anak-anaknya. Hadiah itu dibawa dan dikumpulkan ke Gereja, misalnya kepada para pengajar Sekolah Minggu. Lalu, dalam perayaan Natal hadiah-hadiah dibagikan oleh pemeran Sinterklas kepada anak-anak, dengan memanggil nama masing-masing yang tertulis di bungkus kado. Kerap pula, untuk menciptakan keadilan, hadiah-hadiah yang dikumpulkan para orang tua tidak ditandai melainkan dibagikan secara acak. Anak-anak dipanggil namanya, atau diminta maju ke depan satu persatu (tanpa memanggil nama) untuk mengambil hadiah dari Sinterklas, disertai nasehat-nasehat atau motivasi.  Seingat saya, bentuk 'kenakalan anak' biasanya dibisikkan orang tua kepada Sinterklas agar 'dinasehatkan' ke anak ketika mengambil  hadiahnya, dengan maksud agar anak tidak melakukan kenakalan lagi. Jadi, ada pesan moral yang direpresentasikan oleh peran tokoh Sinterklas.
Kalau demikian, untuk apa dipertentangkan?Â
Ho...ho...ho...ho...ho...Selamat Natal 2018, dan Selamat Menyongsong Tahun Baru 2019, damai di bumi dan damai atas segala makluk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H