Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sinterklas dan Natal, Fakta atau Fiksi?

20 Desember 2018   20:00 Diperbarui: 20 Desember 2018   22:22 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
cauldronsandcupcakes.com

Artinya, Sinterklas, Santa Claus atau sejenisnya merupakan tradisi Eropa. Jelas bahwa baik Sinterklas (Sinter Klaas) maupun Santa Claus, sama-sama bukan sepenunnya kisah nyata. Atau setidaknya bukanlah kisah autentik Kristen karena tidak didukung narasi Kitab Suci, maupun dokumen-dokumen keagamaan yang tervalidasi.  Namun, tidaklah berarti tidak bermanfaat.

Sebagaimana diketahui, esensi  mitos bukanlah untuk menjelaskan realitas. Mitos lebih berfungsi sebagai 'ajaran moral' untuk membangun karakter. Dengan pemahaman tersebut, 'penokohan' Sinterklas atau Santa Claus, atau apa pun sebutannya, jelas ditujukan untuk mendidik anak-anak agar terlatih berbuat baik. Dengan berbuat baik, mereka akan memperoleh hadiah, sebaliknya anak-anak nakal akan mendapatkan hukuman. Pesannya menjadi benderang, yaitu agar Natal menjadi momentum evaluasi diri agar makin bertumbuh dalam perbuatan baik kepada sesama. Di sini 'tradisi asing' ini memiliki makna asosiatif dengan esensi kelahiran Kristus, yaitu sebagai tindakan imanensi Allah untuk menyelamatkan manusia dari perbuatan-perbuatan jahat-sesatnya kepada perbuatan-perbuatan kebaikan beralaskan cinta kasih.  Kebaikan adalah buah iman kepada kebaikan Pencipta yang mendahului dan menjadi teladan.

Di sini fakta atau pun mitos bukanlah pokok soalan untuk didebatkan. Bahkan, mengetahui persis hingga meyakini bahwa kisah itu hanyalah mitos bukan juga alasan menghilangkannya. Selain telah mentradisi sehingga memberi 'warna dan roh' yang ikut membangun suasana menjelang dan perayaan Natal, juga memiliki nilai edukatif  yaitu membina karakter dan memupuk kasih sayang keluarga. Di kampung-kampung, biasanya orang tua menyediakan hadiah tanpa sepengetahuan anak-anaknya. Hadiah itu dibawa dan dikumpulkan ke Gereja, misalnya kepada para pengajar Sekolah Minggu. Lalu, dalam perayaan Natal hadiah-hadiah dibagikan oleh pemeran Sinterklas kepada anak-anak, dengan memanggil nama masing-masing yang tertulis di bungkus kado. Kerap pula, untuk menciptakan keadilan, hadiah-hadiah yang dikumpulkan para orang tua tidak ditandai melainkan dibagikan secara acak. Anak-anak dipanggil namanya, atau diminta maju ke depan satu persatu (tanpa memanggil nama) untuk mengambil hadiah dari Sinterklas, disertai nasehat-nasehat atau motivasi.  Seingat saya, bentuk 'kenakalan anak' biasanya dibisikkan orang tua kepada Sinterklas agar 'dinasehatkan' ke anak ketika mengambil  hadiahnya, dengan maksud agar anak tidak melakukan kenakalan lagi. Jadi, ada pesan moral yang direpresentasikan oleh peran tokoh Sinterklas.

Kalau demikian, untuk apa dipertentangkan? 

Ho...ho...ho...ho...ho...Selamat Natal 2018, dan Selamat Menyongsong Tahun Baru 2019, damai di bumi dan damai atas segala makluk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun