Hasil penelitian Michael Buehler, misalnya, mengungkap hingga 2017 setidaknya telah lahir 443 Perda bernuansa Syariat yang diberlakukan setidaknya di enam Provinsi yaitu NAD, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Jawa Barat dan Jawa Timur.Â
Bentuk lainnya lewat aksi sweeping, penutupan rumah ibadah kelompok minoritas, penutupan paksa warung-warung makan di bulan Puasa, penggebrekan diskotik dan sejenisya oleh kelompok militan Islam, juga demonstrasi yang melibatkan massa dalam jumlah besar untuk menciptakan tekanan yang bisa memaksakan akomodasi tuntutan mereka.
Lepas dari pro-kontra di atas, kita dapat merujuk ke Pancasila dan Konstitusi (UUD'45). Untuk kepentingan siapakah kedua kubu memperdebatkan perda agama (syariah)? Kedua kubu sama-sama mengklaim merujuk Pancasila, terutama Sila Pertama dengan argumen yang berbeda. Selain itu kubu pro Syariat juga merujuk UU Otonomi Daerah yang dianggap memberi kewenangan kepada daerah mengelola masyarakatnya sesuai kebutuhan lokal. Â Kubu kontra berargumen bahwa memang SilaÂ
Pertama mengatur kepercayaan kepada Tuhan dan dengan demikian kebebasan beragama, tetapi bukan menjadikan ajaran agama tertentu sebagai hukum positif untuk mengatur masyarakat plural. Bahkan, meskipun di sebuah daerah yang mayoritas masyarakatnya menganut agama tersebut, penerapannya sangat berpotensi mendiskriminasi kelompok penganut agama lain atau minorits.Â
Dengan menunjuk sejumlah kasus, serta hasil-hasil penelitian, kelompok kontra memiliki rujukan empirik yang kuat. Tetapi, di level empirik kubu pro juga memiliki amunisi untuk membangun argumen, yaitu bahwa terjadinya berbagai krisis moral seperti korupsi, seks bebas, miras dan sejenisnya merupakan bukti kurangnya pemahaman dan pengamalan nilai-nilai agama. Hadirnya perda agama adalah untuk mengatasi krisis-krisis moral yang kian marak, sekaligus membangun karakter bangsa.
Dengan merujuk kembali ke akar historis perdebatan seperti terjadi di BPUPKI, pokok soalnya adalah cita-cita mendirikan sebuah negara yang prinsipnya seperti dikatakan Sukarno, "semua untuk semua." Penerapan Perda agama akan berarti negara digiring ke pemberlakuan "satu untuk semua."Â
Dari sisi ini kelompok kontra mendapatkan landasan argumen yang kuat. Apapun alasannya, nilai-nilai acuan moral yang bersifat partikular di ruang privat tidak dapat dipaksakan menjadi acuan umum ruang publik politik.Â
Masalah-masalah dekandensi moral bukan saja disebabkan kurangnya pengamalan terhadap nilai agama, melainkan juga bukti kurangnya pengamalan nilai-nilai Pancasila. Berbagai rezim berganti dengan tanpa keseriusan membangun karakter bangsa berdasarkan nilai-nilai luhur Pancasila, bahkan kearifan-kearifan lokal yang menjadi sumber pembangun pilar-pilar Pancasila.
Berkaitan dengan penolakan terhadap poligami oleh kelompok kontra, terutama PSI, nampaknya  perlu dikritisi secara lebih fair. Poligami bukan hanya terkait Perda agama, khususnya Islam, melainkan juga dipraktekan di sejumlah komunitas etnis di Indonesia sejak dahulu kala. Di Indonesia Timur misalnya, seperti NTT dan Papua, poligami masih dijalankan meski telah banyak berkurang sejak masuknya monoteisme.Â
Artinya, kalau adat dan budaya sebagai 'nadi' dari nilai-nilai Pancasila maka seharusnya sangat penting dipertimbangkan. Menjadikan nilai-nilai diskriminasi dan pelanggaran HAM sebagai basis argumentasi dikhawatirkan PSI dan kelompok yang kontra terjebak menjadi juru bicara 'global citizenship" yang lebih berpihak pada universalisme (kosmopolitanisme) ketimbang nasionalisme.Â
Presiden Sukarno pernah mengingatkan dengan sungguh-sungguh, bahwa internasionalisme tidak dapat tumbuh subur kalau tidak berakar didalam buminya nasionalisme, demikian pula nasionalisme tidak dapat hidup subur dalam taman sarinya internasionalisme. Â Dititik inilah pertanyaan, 'dimana posisi NKRI?' menjadi lebih mendesak dikaji sebagai dasar untuk mengevaluasi setiap pro-kontra!Â