Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Pro-Kontra Perda Agama, NKRI di Mana?

17 Desember 2018   20:15 Diperbarui: 18 Desember 2018   06:56 2494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kelompok ini menegaskan sikap apabila Piagam Jakarta yang dianggap berpotensi mendiskriminasi kelompok minoritas itu tetap di sahkan, maka mereka memilih berada di luar Republik. Artinya, tidak ikut dalam proklamasi kemerdekaan sehingga bukan bagian dari NKRI.  

Atas keberatan inilah, Moh.Hatta meloby kubu Islam sehingga disepakati untuk menghilangkan unsur-unsur syariat demi persatuan dan keutuhan NKRI. Dasar Negara kemudian disahkan oleh PPKI dengan rumusan sebagaimana adanya saat ini (tanpa memberi prioritas kepada kelompok agama tertentu).

Upaya memperjuangkan Syariat Islam tidak terhenti. Pada pemilu 1955 sejumlah partai Islam kembali memperjuangkan penerapan Syariat namun mengalami kegagalan karena kurangnya dukungan. Dengan dijalankannya bentuk negara Serikat, upaya masih dilakukan yaitu melalui Konstituante yang bertugas merumuskan UUD pengganti UUD'45. Seperti diketahui perdebatan panjang menemui jalan buntu. 

Konstituante  dianggap gagal menunaikan tugas yang diembannya sehingga Sukarno mengumumkan Dekrit Presiden tahun 1959, membubarkan Konstuante,  lalu kembali ke UUD'45.  Dengan demikian perjuangan yang tidak kenal lelah mengalami kegagalan lagi. Pasca dekrit,  dibawa kendali demokrasi terpimpin yang berkarakter otoritarian  peluang kelompok pengusung visi syariat Islam mulai tertekan, bahkan meredup.

Situasi itu terus berlangsung hingga pemerintahan Orde Baru yang dikenal menjalankan sistem kontrol ideologi yang terlalu kuat sehingga menutup semua ruang bagi munculnya perjuangan-perjuangan bermotif primordial agama, etnis, maupun juga politik.  

Upaya Suharto untuk menegakkan dan menjalankan ideologi negara Pancasila semurni-murninya patut dikagumi dan diteladani. Sayangnya, lambat laun kontrol itu lebih bersifat hegemonik untuk melindungi dan memperkuat kekuasaan rezim ketimbang penegakan ideologi Pancasila.

Ambruknya rezim Orde Baru yang dianggap otoroiter sehingga mengunci semua keran demokrasi, bagaikan peralihan dari musim kering-tandus ke musim penghujan dimana semua benih siap tumbuh subur. Gerakan fundamentalis Islam mendapatkan atmosfir dan iklim yang tepat untuk menabur kembali benih-benih impian ideologisnya. 

Di  tengah semangat para elit baru yang sibuk menebar pengaruh demi merebut kuasa, yang giat mengkonsolidasi kekuatan, gerakan ini mendapatkan angin segar dukungan atas nama demokrasi. Sesungguhnya dalam situasi transisi itu kelompok fundamentalis menawarkan potensi bargaining politik besar dengan mengatas-namakan kepentingan mayoritas (Islam). Dititik inilah kepentingan transtaktif antara para pemburu kuasa dengan kelompok fundamentalis berkolaborasi dalam kemesraan yang mutual.

Itulah sebabnya, meskipun formalisasi syariat Islam di tingkat konstitusi negara sejak awal selalu menemui jalan buntu, bahkan sempat terkubur selama kekuasaan dua rezim, di era reformasi mendapatkan kembali kesempatan emas. Selain secara prakmatis membuncah di ranah konsolidasi elit baru, perjuangan formalisasi syariat menemukan celah lebar lewat pemberlakuan otonomi daerah yang diamanatkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 

Para pejuang syariat menemukan 'ruang bermain" untuk mengeksperimentasikan imajinasi ideologisnya lewat perda-perda bernuansa syariat Islam, dengan dukungan penuh dari 'mitra strategisnya' yaitu para pemburu kuasa yang miskin idealisme kenegarawanan.

Kelompok ini menginovasi gerakan ideologis Syariat secara beragam. Mulai dari 'gaya konvensional' melalui jalur Partai Politik, terutama melalui PKS, PAN, PBB, serta Gerindra dan lainnya. Juga perjuangan melalui gerakan eknomi Syariah, serta gerakan 'akar bawah' jalur daqwah dan gerakan sosial seperti dilakukan FPI, HTI (yang sudah dinyatakan terlarang), Jemaah Islamiah, NII dan lainnya. Perda-perda Syariat pun tumbuh bagai jamur musim hujan di sejumlah daerah.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun