Anggota Komnas Perempuan lainnya, Sri Nurherwati menambahkan bahwa tidak semua korban tidak berjilbab, bahkan ada yang masih kanak-kanak, yang berarti masalahnya buka pada 'apakah mengenakan jilbab atau bukan." Â Lembaga pegiat hak asasi manusia lainnya, yaitu Setara Institute juga mencatat bahwa hingga akhir 2017, terdapat 183 peraturan daerah yang disebut diskriminatif, intoleran, serta melanggar kebebasan beragama. Perda syariah di sejumlah daerah juga disebutnya problematis karena menerabas wilayah privat. Misalnya, ada aturan yang membatasi cara berpakaian dan waktu bepergian perempuan (Tempo)
Sesungguhnya PSI melalui Grace Natalie bukanlah yang pertamakali  menyerukan secara terbuka penolakan terhadap Perda Syariah. Sikap sebagai partai politik, bisa jadi ya! Flashback sejenak, di tahun 2017 sejumlah LSM yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi Qanum Jinayat (Perda Syariat Islam) telah mendesak pemerintah Pusat, pemerintah Daerah dan DPR Aceh untuk meninjau kembali Perda Syariat Islam.Â
Alasannya, karena dianggap sebagian isi dan implementasinya bertentangan dengan Konstitusi dan merugikan kaum perempuan. Pernyataan tertulis dibagikan ke wartawan di kantor YLBI Jakarta pada 22 Oktober 2017, Â bertepatan dengan peringatan tiga tahun pengesahan Perda Syariat (BBC).
Langkah lebih konkrit sebelumnya dilakukan oleh Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) dan Solidaritas Perempuan. Tahun 2015 kedua lembaga itu mengajukan permohonan judicial review terhadap Qanun Jinayah ke Mahkamah Agung (MA). Keduanya menilai Qanun Jinayah bertentangan dengan sejumlah undang-undang (UU), Â khususnya terkait prinsip HAM (hak asasi manusia) dan sistem peradilan pidana. Tetapi, upaya hukum itu kandas setelah MA menolaknya (BBC)Â
Pro-kontra terhadap upaya penerapan Syariat Islam bahkan memiliki akar sejarah yang jauh ke belakang. Pada agenda persidangan BPUPKI yang membahas Dasar Negara dan Konstitusi, terjadi perdebatan sengit antara kubu Islam dan Nasionalis. Kubu Islam diwakili antara lain oleh Agoes Salim, Wachid Hasjim, dan Ki Bagoes Hadikoesoemo. Sementara kubu Nasionalis diwakili Ir.Sukarno, Moh.Hatta, Moh.Yamin, Latuharhary, dll.Â
Satunya menginginkan penerapan syariat Islam dicantumkan dalam Dasar Negara atau Konstitusi, sementara satunya menginkan sebuah negara plural dimana "semua untuk semua, bukan satu untuk semua." Dalam pembahasan pleno, draf yang dikemudian hari popular disebut dengan Piagam Jakarta  didebat oleh Johannes Latuharhary seperti tercatat dalam  Risalah Sidang BPUPKI-PPKI (Bahar Cs, 1995, Setneg RI, Jakarta, halaman 216): Â
"Akibatnya akan besar sekali. Umpamanya terhadap agama lain. Maka dari itu saya harap supaya dalam hukum dasar, meskipun ini berlaku buat sementara waktu, dalam hal ini tidak boleh diadakan benih-benih atau kemungkinan yang dapat diartikan dalam rupa-rupa macam.......umpamanya dalam hal ini '....yang mewajibkan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya'.......salahsatu anggota mengatakan pada saya bahwa terhadap adat istiadat di Minangkabau, rakyat yang menjalankan agama Islam harus meninggalkan adat istiadatnya."
 "Dan umpamanya di Maluku hak tanah bersandar atas adat-istiadat sepenuhnya. Agama Islam maupun Kristen dalam hal ini tidak dapat mencampuri. Kalau diwajibkan pada pemeluk-pemeluk agama Islam untuk menjalankan syariat Islam, sudah tentu kalimat ini akan dipergunakan terhadap adat-istiadat di sini, umpanya terhadap pada hak tanah. Tanah itu bukan saja diwariskan kepada anak-anak yang beragama Islam tetapi juga yang beragama Kristen. Jadi, kalimat semacam itu dapat membawa kekacauan yang bukan kecil........oleh sebab itu, baiklah kita mencari modus lain yang tidak membawa akibat yang bisa mengacaukan rakyat."Â
Latuharhary mengalaskan argumennya pada nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia dan akibat yang dapat ditimbulkan oleh Syariat Islam (atau syariat agama manapun yang diberlakukan sebagai hukum positif). Dengan argumen ini ia mengarah kepada 'modus lain' yang bisa mendudukan nilai-nilai lokal dan penganutnya secara setara tanpa potensi didiskriminasi oleh penerapan hukum agama.
Namun, dengan alasan sudah menjadi kesepakatan maksimal kelompok Nasionalis dan Islam, serta agar semua mau mengorbankan dulu ego primordial untuk memprioritaskan perwujudan proklamasi kemerdekaan yang pada saat itu menempati prioritas tertinggi.Â
Akhirnya draf itu disahkan di sidang pleno. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan, dimana semua draf hasil kerja BPUPKI seperti Dasar Negara, Konstitusi, termasuk juga Presiden dan Wakil Presiden hendak ditetapkan oleh PPKI, muncullah keberatan dari kelompok Kristen dan Katolik dari kawasan Timur.Â