Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Pro-Kontra Perda Agama, NKRI di Mana?

17 Desember 2018   20:15 Diperbarui: 18 Desember 2018   06:56 2494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sikap politik PSI (Partai Solidaritas Indonesia)  yang tegas menolak Perda Agama, baik Syariah, Injil, maupun sejenisnya, berbuah tuduhan ujaran kebencian. Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) melalui kuasa hukumnya Eggi Sudjana melaporkan kasus itu ke Bareskrim Keploisian RI. 

Sikap PSI itu disampaikan langsung oleh Ketua Umumnya Grace Natalie pada perayaan Ultah partai yang ke-4 bertempat di Indonesian Convention Exhibition (ICE) Tangerang, Banten, 11 November 2018.  Sikap PSI didasarkan pada argumen bahwa Perda agama berpotensi menciptakan ketidakadilan, diskriminasi dan intoleransi. Apakah argumen ini berdasar?

Eggi menganggap pernyataan Grace yang menyebut penerapan Perda berbasis agama memunculkan intoleransi, diskriminatif, dan menimbulkan ketidakadilan sebagai bentuk kebohongan publik. Lebih lanjut, pernyataan Grace dianggap bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran. 

"Ini limitasi, pasalnya bisa dikaitkan dengan Pasal 156 A juncto Pasal 14 dan 15 Undang-Undang No 1 Tahun 1946 tentang memberikan ujaran yang bohong," kata Eggi seperti dikutip Detik.com. 

Sejumlah komentar dari kelompok yang pro Perda Syariat berargumen dari perspektif kepentingan penganut agama Islam, dan cenderung menyamakan kubu penolak syariat dengan PKI, partai yang telah dinyatakan terlarang pasca Gerakan 30-S tahun 1965.

Direktur Pencapresan PKS Suhud Aliyudin misalnya, pernah menyebut semangat menolak agama bertentangan dengan Pancasila. Bahkan, ia menyamakan dengan PKI, dengan penegasan bahwa hanya PKI yang menolak agama. Hal senada juga disampaikan oleh Novel Bamukmin dari FPI, yang menyatakan sikap menolak Perda Syariah sebagai gaya-gaya komunis yang hendak dihidupkan kembali. Perlu diberi catatan kritis pada pernyataan Aliyudin di atas yang  menggeser persoalan, dari "menolak perda agama' ke "menolak agama," sebab keduanya punya implikasi yang amat jauh berbeda.

Tidak sedikit pula pihak yang pro atau setidaknya memahami sikap Grace. Peneliti dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Luthfie Assyaukanie menilai ucapan PSI benar adanya. Sebab, Perda berbasis agama sudah terbukti memunculkan persoalan diskriminasi dan intoleransi. Luthfie menilai perda berbasis agama kerap kali merugikan kaum perempuan. 

"Karena korban pertama dari Perda Syariah itu perempuan," kata Luthfie. "Selain itu, perda berbasis agama kerap tak efektif mencapai tujuan penerbitannya, sebab tidak bisa menjawab masalah yang muncul," demikian ujarnya, seperti dilansir katadata.co.id.

Alissa Wahid, putri Presiden kelima, Abdulrahman Wahid atau  Gus Dur  menyatakan bahwa Perda Syariah dan Perda berbasis kepentingan kelompok agama lainnya sama-sama bersifat mayoritarianistik, karena melayani satu golongan saja, yang biasanya mayoritas. Sikap menolak Perda agama juga ditegaskan oleh PDIP  melalui Sekjen-nya Hasto Kristiyanto. 

Menurut Hasto  Perda syariah dan injil hanya menimbulkan diskriminasi terhadap warga negara. Namun, PDIP mengecualikan NAD yang merupakan salah satu Daerah Istimewa yang ditetapkan oleh pemerintah. Suara dukungan lainnya juga datang dari tokoh agama dan negarawan seperti Mafmud M.D, Syafei Maarif, dan lainnya. Para praktisi pun memberi komentar yang substansinya menyokong sikap politik PSI dengan menunjuk sejumlah bukti hasil pengamatan dan dokumen pengaduan. 

Dilansir dari CNNIndonesia (30/11/2018), anggota Komnas Perempuan, Magdalena Sitorus mencatat terdapat setidaknya 421 Perda diskriminatif terhadap perempuan yang terbit sejak 2009. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun