Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Lalaa, Sistem Pengolahan Lahan Sekaligus Ruang Publik Orang Rote

7 Agustus 2017   10:17 Diperbarui: 13 Agustus 2017   18:53 1606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dari mamar pun pemandangan tetap indah, latar laut Timor

Anda tentu mengenal subak, 'sistem pengelolaan persawahan' di Bali yang amat popular dan mendunia itu. Orang Rote pun memiliki sistem yang mirip, tetapi lebih luas dari subak. Dalam bahasa Rote disebut lalaa, yang sesungguhnya menunjuk pada sebuah areal pertanian yang terkelola secara tersistem. Terdapat dua bentuk lalaa, yaitu lalaa sawah, dan lalaa mamar. Tentang lalaa sawah akan saya tuliskan untuk Anda dalam kesempatan lain.

Lalaa, baik lalaa sawah maupun mamar menyimpan jejak praktek demokrasi lokal warisan nenek moyang Rote yang masih terawat baik. Sebagai 'pelembagaan demokrasi' ia memiliki semacam sistem pemerintahan yang kerap juga melampaui otoritas birokrasi negara seperti aparat desa, PNS maupun 'status modern' lainnya. Memahami demokrasi nasional (demokrasi Pancasila) bisa juga dilacak dari akar-akarnya dalam praktek masyarakat pedesaan. Lalaa dan subak merupakan dua di antara model lainnya yang mudah ditemukan di kebanyakan komunitas perdesaan Indonesia.

Berbeda dengan subak (lalaa sawah), mamar merupakan bentuk lalaa perkebunan yang umumnya didominasi tiga jenis tanaman yaitu kelapa, pinang dan sirih. Ketiga jenis tanaman ini memiliki peran penting dalam berbagai ritual ada maupun kebiasaan keseharian. Masyarakat Rote, terutama di masa lalu merupakan pemamah sirih dan pinang.

Di rumah-rumah penduduk selalu tersedia ndunak,wadah yang di dalamnya terdapat sirih, pinang, kapur dan tembakau. Kepada setiap tamu akan diserahkan ndunak oleh tuan rumah. Sebaliknya, sang tamu akan menyerahkan alkosu-nya kepada tuan rumah. Alkosu adalah tempat menyimpan siri, pinang, kapur dan tembakau yang selalu dibawa oleh orang-orang Rote dewasa. (Aneh, bukan? Bayangkanlah, Anda bawa rokok jago dan pemantik bertemu teman Anda yang juga punya rokok jago dan pemantik. Anda menyerahakan rokok dan pemantik kepadanya, demikian sebaliknya, barulah Anda berdua menghisapnya, mungkin dengan secangkir kopi panas suguhan tuan rumah). Begitu pun dalam acara-acara adat, misalnya belis (mahar), kebun sirih, pinang atau kelapa dapat menjadi properti pelengkap hewan sebagai mahar. Itulah sebabnya, lalaa mamar di Rote pada umumnya sudah berusia ratusan tahun.

Manaholo Sebagai "Penguasa" Lalaaa Mamar.
Pengurusan atau manajemen lalaa mamar dipercayakan kepada sejumlah orang pilihan, yang disebut manaholo. Karena itu ada jabatan kepala manaholo, wakil, dan anggota. Mereka ini dapat juga disebut sebagai kepala atau pimpinan lalaa.

Melalui forum musyawarah tahunan, yang dalam bahasa lokal disebut 'laa oe,' para pemilik lahan di lalaa mamar berkumpul di Pandopo untuk memilih manaholo. Jumlahnya bervariasi, tergantung pada luasan mamar dan kesepakatan bersama yang diperkirakan akan efektif dan fungsional menangani atau mengurus lalaa. Biasanya antara 8-15 orang di setiap pintu masuk. Karena selalu ada dua pintu masuk dari dua arah maka total manaholo di satu lalaa sekitar 16-30.

Ada jabatan-jabatan atau status tertentu yang tidak boleh dipilih menjadi manaholo, yaitu ulama (biasanya pendeta karena di Talae 100% penduduknya beragama Kristen), PNS (umumnya guru), tokoh adat, Kepala Desa dan bawahannya. Perempuan dan anak-anak tentu juga termasuk yang tidak boleh dipilih.

'Kebun' siri peninggalan moyang di mamar (Dokpri)
'Kebun' siri peninggalan moyang di mamar (Dokpri)
Kelompok masyarakat yang tidak tergolong dalam kategori 'tidak boleh dipilih' di atas harus bersedia bila dipilih menjadi manaholo. Biasanya semua anggota masyarakat warga lalaa akan diberi kesempatan secara bergilir setiap tahun. Bila ada anggota yang selayaknya mendapatkan giliran menjadi manaholo, namun karena alasan tertentu belum bisa menerima jabatan itu untuk periode laa oe berjalan, ia dapat meminta orang lain menggantinya sehingga dia baru akan diberi giliran pada periode laa oe (pemilihan) berikutnya.

Laa oe merupakan forum msuyawarah. Setiap pemilik lahan (perusa) atau warga lalaa datang dengan membawa beras dan lauk. Makanan dan lauk diatur untuk makan bersama. Manaholo yang akan demisioner memberi laporan tentang keadaan lalaa, serta masalah-masalah potensil yang dihadapi selama mengurus. Apabila ada masalah / kasus yang belum diselesaikan akan diselesaikan dalam forum laa oe. Setelah itu, para manaholo akan mengusulkan nama-nama yang akanb menjadi manaholo tahun berikutnya. Nama-nama itu dimintai kesediaan dan mendapat masukan dari warga lala, lalu disepakati sebagai manaholo terpilih dengan masa jabatan satu tahun. Tidak pernah orang berebutan menjadi manaholo, apalagi menyuap demi menduduki jabatan itu.

Kelapa muda dan sendok untuk makan (Dokpri)
Kelapa muda dan sendok untuk makan (Dokpri)
Manaholo berwewenang memberi ijin atau melarang seseorang masuk ke dalam mamar. Biasanya orang yang telah beberapa kali melanggar aturan lalaa, misalnya mengambil hasil milik orang lain, dapat diberi sanksi tidak boleh masuk lalaa untuk beberapa waktu. Manaholo juga bertugas memastikan pagar-pagar pelindung lalaa benar-benar aman sehingga hewan tidak dapat masuk dan merusak tanaman (dalam bahasa lokal disebut parusa) di dalamnya.

Apabila ada pagar yang bermasalah, ia akan menyampaikan ke penanggungjawab (pemiliknya) agar segera memperbaiki. Bila tidak diperbaiki sehingga hewan, misalnya kerbau, babi, atau kambing masuk lalaa dan merusak tanaman orang lain, maka pemilik pagar yang bermasalah itu dikenai denda membayar kerugian yang diakibatkan. Makanya, tugas manaholo tidaklah mudah. Setiap pagi mereka harus berkeliling mengecek keadaan pagar pelindung mamar.

Pada sore hari kembali berkeliling untuk mengeceknya lagi agar memastikan keadaan terakhir hari itu masih 'aman terkendali." Mengapa demikian? Agar bila terjadi kerusakan pagar, manaholo bisa memastikan waktu kejadian; hari / tanggal, dan apakah pada waktu siang atau malam? Bila ketahuan lalaa dimasuki hewan, padahal manaholo tidak mengetahui dan tidak pernah memberitahu pagar yang rusak kepada pemilik pagar untuk diperbaiki, maka manaholo-lah yang harus mengganti kerugian, berapa pun banyaknya.

Apabila ada pemilik lahan yang merasa kehilangan, misalnya buah kelapa, pinang, pisang, atau lainnya, ia melaporkan kepada manaholo. Manaholo akan memeriksa para pengunjung lalaa pada waktu (hari) yang diperkirakan sebagai terjadinya kehilangan, memeriksa laporan hasil dan jumlah yang dibawa, tempat (nama lahan) diambilnya, lalu mengecek kebenaran di lokasi. Dengan cara itu manaholo akan dapat mengidentifikasi siapa-siapa yang 'patut' dicurigai sebagai pencuri hasil yang bukan miliknya. 

Orang atau orang-orang yang dicurigai itu diundang ke pandopo untuk ditanyai (investigasi dalam bahasa penyelidikan modern). Biasanya lewat proses ini akan ketahuan siapa pencurinya. Prinsipnya, manaholo pasti akan menemukan si pencuri untuk bertanggungjawab, selanjutnya diberi sanksi sesuai berat ringannya perbuatan. Saya sebut pasti, karena jarang kasus-kasus di lalaa berlanjut ke 'pengadilan modern' misalnya diurus di kantor kelapa desa. Artinya, vonis manaholo jarang meleset dan salah. Tentu saja, manaholo tidak akan bisa disuap. Setidaknya, hingga dewasa ini.

Dari mamar pun pemandangan tetap indah, latar laut Timor
Dari mamar pun pemandangan tetap indah, latar laut Timor
Pembuatan dan pemeliharaan pagar dibagikan kepada pemilik lahan tergantung luas dan banyaknya jumlah lahan milik dalam sebuah mamar atau lalaa. Orang yang hanya punya satu lahan dengan ukuran kecil tentu pagar yang menjadi tanggungjawabnya lebih sedikit daripada yang misalnya memiliki 5-10 lahan dalam satu mamar. Umumnya, luas sebuah mamar mencapai puluhan bahkan ratusan Ha. Jadi, bayangkanlah pekerjaan manaholo yang harus memonitor, mengelilinginya setiap pagi dan sore. Termasuk, setiap hari mereka harus masuk ke lahan setiap pemilik, terutama yang berdasarkan laporan mengambil hasil pada hari itu, untuk memastikan kesesuaian antara jenis dan jumlah hasil yang diambil (sesuai laporan yang dicatatkan di buku manaholo) dengan kenyataan di lokasi.

Tanggung jawab yang tidak mudah, bukan? Sudah pasti, saya sendiri tidak sanggup melakukannya. Bagaimana dengan pemilik yang jauh, katakanlah seperti saya yang mewarisi lahan-lahan milik ayah saya tetapi tinggal di Salatiga? Karena sudah saya percayakan ke kerabat yang merawat dan mengambil hasil untuk kepentingannya, kerabat itulah yang bertanggungjawab dan mendapatkan giliran menjadi manaholo, serta kewajiban lain yang melekat (menggantikan saya).

Untuk menjalankan tugas-tugasnya itu, para manaholo mendapatkan "bayaran" tertentu dari hasil lalaa. Ketentuan setiap lalaa berbeda, tetapi prinsip utamanya sama. Perbedaan terutama terletak pada jumlah yang disepakati sebagai hak manahalo. Misanya, di lalaa tertentu manaholo dijatahi dua buah kelapa per satu pohon. Sementara di lalaa lainnya bisa hanya sebuah/pohon, atau bahkan 3 buah/pohon. Lalu, satu tungkai pinang per bidang (lahan), 100 buah sirih per bidang, dan sebagainya.

Untuk tanaman pisang, atau tanaman hasil lainnya, manaholo akan memilih dan menandainya sehingga pemilik tidak boleh mengambilnya. Bila mengambil 'jatah manaholo' itu, pemilik pun didenda. Para manaholo sudah pasti 'full timer' bekerja di mamar sehingga mau tidak mau meninggalkan pekerjaan utamanya, baik sebagai petani, peternak, pedagang atau lainnya.

Bagaimana prosedur pengambilan hasil mamar? Bila seseorang ingin masuk mengambil hasil, ia harus melapor terlebih dahulu ke manaholo. Manaholo selalu stand by di 'pos jaga' di pintu masuk. Dalam bahasa lokal disebut pandopo. Saya tidak paham dari mana kosa kata ini muncul dalam bahasa Rote karena kesannya ke-Jawa-an. Apakah asli bahasa Rote? Saya kira tidak! Pastinya, pandopo hanya dekenal di lalaa mamar, yang dimaksudkan sebagai sekadar 'pos jaga' manaholo, untuk mengawasi keluar masuk pengunjung dan mencatat nama pengambil hasil, jumlah orang yang masuk, nama lahan yang hendak dimasuki, nama dan jenis hasil yang akan diambil. Setelah pulang dari dalam mamar membawa hasil, sekali lagi lapor ke pandopo agar manaholo yang bertugas mencatat lagi jumlah dan jenis hasil yang telah diambil.

Sekali manjat pinang hasil 3 pohon bisa dipanen (Dokpri)
Sekali manjat pinang hasil 3 pohon bisa dipanen (Dokpri)
Sebagai contoh, saya ceritakan pengalaman saya masuk lalaa mamar Seda-Mok, salah satu lalaa di kampung saya Talae, Rote Selatan. Lokasinya mencakup wilayah dua desa, yaitu Pilasue (calon desa) dan Tebole. Tidak ada catatan pasti tentang luasnya dalam satuan tertentu, tetapi saya perkirakan mencapai seratusan Ha. Di lalaa ini orang tua saya mewarisi dua lahan, yang didalamnya terdapat tanaman siri, dan pinang-kelapa. Ketika berlibur bulan Juni 2017 saya dengan kerabat saya pergi mengambil hasil. 

Sudah tiga puluhan tahun tidak melakukannya, saya sengaja mengajak kerabat masuk ke dalam agar bisa kembali meng-update pengetahuan saya tentang lalaa. Setelah melapor di Pandopo, kami bertiga masuk, pertama ke lahan yang didalamnya terdapat siri serta beberapa pohon pinang. Luas lahan ini hanya sekitar 200-an m2. Kami membawa siri sekitar 1000-an buah (biasanya tidak dihitung satu persatu melainkan diperkirakan secara kasar berdasarkan volume media yang memuatnya). Di lahan ini kami menemukan madu batu yang segera diambil oleh kerabat saya yang memang kebetulan juga berprofesi sebagai pengambil madu hutan, yaitu Eben Tananggau. Wooow, sebuah bonus tak terduga dan tak ternilai! 

Alangkah nikmatnya menikmati madu batu, yang konon amat berkhasiat itu. Meski terlambat ambil sehingga madunya tinggal sedikit, menikmati sarang (yang terkenal manfaatnya diproduksi menjadi propolis mengandung protein, anti oksidan dan zat antibiotik) dan larva lebah (macam belatung yang masih berwarna putih) tidak kalah nikmat dan khasiatnya.

Selesai menikmati kelezatan lebah hutan, kami pun meneruskan perjalanan ke lahan milik saya lainnya lagi. Lahan yang ini didalamnya terdapat tanaman pinang sekitar belasan pohon dan kelapa beberapa pohon. Luasnya hanya sekitar 100-an m2. Di sini kami membawa pinang 500-an buah (juga perkiraan kasar) serta kelapa 20 buah.

Bonus makan madu hutan di mamar siri (Dokpri)
Bonus makan madu hutan di mamar siri (Dokpri)
Sesampainya di pandopo kami memperlihatkan "hasil tuaian" kepada manaholo untuk dicatat. Sekaligus, saya memastikan kembali ke manaholo nama kerabat yang saya percayakan mengurus warisan saya. Hal ini penting supaya mencegah jangan sampai anggota keluarga lainnya ikut masuk dan mengambil hasil sehingga menyulitkan kontrol manaholo. Kalau ada anggota keluarga yang memerlukan, ia harus melalui kerabat yang telah saya beri tanggungjawab itu. Tanpa itu, manaholo tidak akan mengijinkan.

Tentu saja, pengunjung yang tidak berkepentingan, katakanlah misalnya turis atau orang yang tidak merupakan anggota lalaa, yaitu tidak punya properti dalam lalaa, tidak akan diijinkan masuk. Kecuali, ia masuk bersama anggota lalaa sehingga bila terjadi sesuatu, misalnya kehilangan hasil maka anggota lalaa itulah yang dimintai tanggung jawab.

Nama-nama Manaholo di Pandopo (Dokpri)
Nama-nama Manaholo di Pandopo (Dokpri)
By the way, apa beda mamar dengan kebun? Di pandopo saya bertanya kepada manaholo yang saya juga kenal baik, bapak Sias Dethan, serta Esau Saudale, kerabat yang membantu mengelola lahan milik saya di mamar (lalaa) itu. Dari mereka saya menjadi paham. Pertama; kalau kebun terdiri dari banyak jenis tanaman, seperti jagung, berbagai jenis kacangan, labu, pisang, kelapa, sayur, ketela, dan berbagai jenis sumber pangan lainnya. Sedangkan mamar umumnya meliputi hanya tiga tanaman utama, yaitu kelapa, sirih dan pinang. 

Tanaman seperti pisang, sukun, nangka dan lainnya hanyalah bersifat pelengkap, kadang tumbuh secara alami. Kedua; pemilikan kebun bisa perorangan, atau pun bersama oleh dua atau lebih orang. Sedangkan, mamar selalu dimiliki banyak orang. Ketiga; tidak seperti kebun, mamar menganut konsep sistem tata kelola yang baku: mengatur pangambilan hasil, hukuman atau sanksi bagi pelanggar aturan mamar, penjaga dan pencatat masuk keluarnya orang ke lokasinya dalam mamar, dan sebagainya.

Aturan dan nama-nama anggota lalaa yang disanksi tidak boleh masuk mamar pun ditulis dan dipajang di Pndopo (Dokpri)
Aturan dan nama-nama anggota lalaa yang disanksi tidak boleh masuk mamar pun ditulis dan dipajang di Pndopo (Dokpri)
Bapa Osias, yang memang mengenal dekat ayah saya (alm) setelah mengetahui saya adalah anak dan ahli waris Lukius Lusi, begitu bersemangat menceritakan pengalaman bersama ayah yang disebut sebagai 'gurunya.' Karena keluar dari kampung waktu masih kecil (hampir 40 tahun) ia sudah melupakan wajah saya, meski menurutnya, masih mengingat nama saya. 

Setelah banyak bercerita dan hendak pamitan ia pun memberikan 'petuah' dalam pepatah adat, "lemu lok sua-sua, sua ta ba'u kapa. Kelu bi'un boke-boke, boke ta ba'u bii." Ungkapan metaforik yang artinya kira-kira demikian: sepintar apa pun kamu belajar selalu ada yang lebih pintar dari mu. Sehebat apa pun kamu menganggap diri mu, selalu ada yang lebih hebat dari mu. Karena itu janganlah teledor dengan capaian mu." Sebuah petuah yang amat bijak dan berharga, mengumbar rasa haru di dada. Saya berterimakasih, menyalami serta memeluknya. Lalu pamitan.

Manaholo senior, bapak Osias Dethan yang baik hati sedang mencatat hasil hulu hasil (Dokpri)
Manaholo senior, bapak Osias Dethan yang baik hati sedang mencatat hasil hulu hasil (Dokpri)

Demikian sedikit berbagi cerita tentang "sistem lalaa mamar" di Rote Talae, yang menggambarkan proses deliberasi berkaitan pengelolaan hasil pertanian komunal. Sistem lalaa menjadi saksi hidup kuatnya akar demokrasi Pancasila (demokrasi musyawarah-mufakat) dalam jantung budaya masyarakat pedesaan. Pada kesempatan lain akan saya tulis tentang sistem lalaa sawah di Rote. Semoga bermanfaat.

Salam cinta NKRI, salam cinta Pancasila!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun