Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Hus, Keunikan Pacuan Kuda Tradisional Rote NTT

3 Agustus 2017   14:56 Diperbarui: 6 Agustus 2017   23:59 2737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pacuan kuda di Rote-Ndao (Ronda), Kabupaten terselatan di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini merupakan praktik budaya yang telah lama dijalani. Itulah sebabnya akrab dikenali dalam bahasa lokal (Rote) sebagai Hus. Sebagai bagian dari tradisi, hus bukanlah kompetisi (pacuan), melainkan semacam 'tarian berkuda' dimana secara massal para lelaki Rote menghias kuda-kudanya dengan bendera, kain adat dan atribut dekoratif lainnya untuk kepentingan ritual. Para joki juga mengenakan pakaian adat dengan topi khas lelaki Rote, yaitu Ti'ilanga.  

Tidak juga mengalaskan pelana di punggung kuda melainkan bahan anyaman yang dilipat-lipat sehingga cukup 'layak dan nyaman' dijadikan alas. Saya membayangkan, kemungkinan di zaman dulu fungsi pelana digunakan kain-kain adat hasil tenunan. Sejauh ini saya belum menemukan dokumen tertulis maupun foto/gambar yang mengkonfirmasinya, tetapi khususnya dalam ritual hus memiliki alasan logis lantaran menjadi bagian dari atribut penghias.   

Hakikatnya, hus merupakan upacara pertanian yang menjadi jantung kehidupan masyarakat Ronda. Jadi, di zaman 'pra agama' hus sama sekali tidak sekadar terkait pacuan kuda, melainkan ritual adat yang kompleks meliputi serangkaian upacara syukuran dan doa pemujaan kepada Yang Kuasa serta permohonan berkat bagi kesejahteraan dan kemakmuran. Rangkaian kegiatan itu adalah doa, kebalai (tarian massal dengan lantunan narasi berisi kisah kehidupan, nasehat-nasehat bijak, dan sejenisnya), kontes kuda hias atau semacam 'tarian kuda,' juga pacuan. 

Biasanya diadakan sesudah panen padi untuk mensyukuri berkat atas hasil panen yang diperoleh, sekaligus doa meminta kesuburan, kemakmuran dan kelimpahan untuk persiapan musim tanam berikutnya maupun secara umum. Misalnya doa meminta hujan, mata air yang deras, kesehatan bagi masyarakat dan bagi hewan ternak, hasil nira (lontar) yang lebih baik, hasil laut yang melimpah, dan sebagainya.

Di zaman modern, hus mulai ikut bergeser, bahkan menciut menjadi sekadar sebuah lomba pacu sebagaimana lazimnya. Pada era kolonialisme Belanda, hus dalam bentuk pacuan kuda kerap diselenggarakan dalam rangka perayaan hari ulang tahun Ratu Belanda. Kemudian juga dilakukan untuk menyongsong tahun baru.  Jadi, hus yang dipersepsikan oleh agama modern (khusunya Kristen Eropa) secara negatif sebagai sosongok(ritual doa pada Tuhan dalam tradisi agama lokal) digeser makna dan fungsinya. 

Sebelumnya, hus merupakan detak jantung kebudayaan dengan jejaring makna yang luas mencakup nilai spiritual, moral, bahkan juga nilai estetik dengan 'roh' komunalitas yang kental. Lalu, berubah menjadi sekadar instrumen hiburan melalui 'kompetisi keras' yang bersifat individualitik. Nilai mistik hus tergerus oleh 'pusat orbit' baru yang dibawa oleh 'agama dan budaya modern.'

Tetapi, tentu saja tidak serta merta jejak autentisitas hus terhapus begitu saja. Ketika 'tradisi pacu' (yang lebih mementingkan kompetisi) dibawa orang-orang Eropa merambah  orang Rote tetap membawa-serta tradisi hus didalamnya, yaitu yang juga mementingkan estetika. Jadilah kompetisi pacuan yang memainkan dua kelas. Pertama, disebut Kua, di mana semua kuda yang berlomba berpacu di arena balapan mengadu kecepatan. Seperti lazimnya, pemenang adalah yang terlebih dahulu tiba di garis finish. Kedua, yaitu Tao lalaok.  

Tidak seperti yang terdahulu, kelas ini lebih mengusung 'nilai artistik" dalam berpacu. Pemenang tidak hanya dinilai dari kecepatan mencapai garis akhir, melainkan juga 'keindahan berlari.' Kuda-kuda yang beradu 'hanya' berjalan cepat. Atau lebih tepatnya disebut sebagai lomba 'jalan cepat dan indah.' Bila dilakukan secara massal, seperti dalam praktek tradisi aslinya, akan lebih mirip sebagai 'tarian berkuda' yang menampilkan performa mempesona. Itu tidak mengherankan, sebab, sekali lagi, merupakan bagian utuh dari 'upacara pemujaan' kepada Tuhan.

Sebelumnya, tradisi 'hus' sudah bisa dikatakan mati suri. Beruntunglah, di bawah kepemimpinan bupati Drs.Leonard Haning,MM., praktek-praktek budaya, termasuk hus digiatkan kembali. Meski oleh perkembangan modernisasi telah mengalami 'abrasi makna,' namun  setidaknya telah mengangkat kembali kekayaan budaya lokal dari hiruk-pikuk modernisme yang terkesan rakus menelan tradisi-tradisi lokal.

Itulah alasan utama, mengapa menurut saya kelas tao lala'ok yang unik dan khas Rote itu sebaiknya dijadikan nomor unggulan untuk mencirikan Ronda. Di kelas ini si Joki perlu memiliki keahlian ekstra. Sebab dia tidak sekadar memacu kudanya berlari cepat melainkan dengan 'gaya dan seni main' tali kendali (kekang) joki harus mampu mempertahankan 'cara berlari' kudanya sehingga tetap indah, tidak melompat, atau berlari cepat (kua). Kuda balapan yang melanggar ketentuan ini sudah pasti didiskualifikasi.

Bupate Ronda, Lens Haning (paling kiri) berada di atas kuda pada acara hus (Sumber: http://www.portalntt.com/bupati-dan-ketua-dprd-rote-ndao-tidak-mendapat-penghormatan-di-acara-adat-pacuan-kuda/)
Bupate Ronda, Lens Haning (paling kiri) berada di atas kuda pada acara hus (Sumber: http://www.portalntt.com/bupati-dan-ketua-dprd-rote-ndao-tidak-mendapat-penghormatan-di-acara-adat-pacuan-kuda/)
Seingat saya, di waktu lalu ketika saya masih kanak-kanak (sekitar akhir 1970-an), di nomor ini ada joki yang berani memamerkan gaya yang sangat atraktif. Namanya Liu. Ia kerap meletakkan sebuah gelas berisi penuh air di atas telapak tangan satunya, dan menarik kekang dengan tangan lainnya, membalapkan kuda hingga mencapai garis akhir dengan posisi air yang tetap penuh. Jadi, bisa dibayangkan betapa unik dan atraktifnya kelas balapan 'berjalan cepat sambil menari' ini.

Biasanya, ada kuda dengan joki yang bisa bermain sekaligus di kedua kelas (kua dan tao lalaok). Tetapi kebanyakan kuda memiliki spesifikasi bermain di satu kelas saja, apakah kua atau tao lalaok. Ada pula joki yang hanya terampil bermain di salah satu kelas. Tentu saja, kelas 'tao lalaok' termasuk yang paling sulit sehingga pen-joki-nya tidak banyak.

Lebih sulit lagi tentu pelatihnya. Kalau di masa lalu, setidaknya ketika saya masih kanak-kanak, setiap pemilik melatih kuda jantannya berlari dengan dua gaya itu. Selain alasan supaya ikut hus (ritual adat) juga untuk kepentingan praktis sebagai kebanggaan, terutama bagi anak-anak muda. Bila bepergian jauh, misalnya ke pasar, dan seorang pria membonceng (calon) pacar atau menjemputnya di dan ke suatu tempat, akan lebih baik memacu 'alat transpor klasik' itu dengan gaya tao lalaok. 

Itu bentuk penghargaan sekaligus upaya menciptakan kenyamanan bagi 'penumpang istimewanya' itu. Layaknya anak-anak muda sekarang menjemput pacar dengan mobil mewah. Bila tidak, Anda akan diejek oleh teman-teman, dan bisa berakibat fatal dimana si buah hati bisa berpindah ke lain kuda, eh lain hati.   

Dewasa ini, meski kelas kua yang paling banyak dipertandingkan, saya bergembira sebab kelas tao lalaok juga dimainkan meski tidak di semua even lomba. Sudah lama saya khawatirkan hilangnya kelas pacu 'asli masyarakat Rote" ini lantaran kelas adu cepat (sprinter atau kua) lebih mendunia dan popular. 

Karenanya, ketika berlibur di Kampung pertengahan Juni 2017, saya sempatkan diri bertemu dengan ponakan yang juga salah satu joki andalan di Ronda, bersama pelatih dan pemilik salah satu kuda pacu yaitu Papi Argobus Letik. Dari mereka saya memperoleh banyak informasi dan pengetahuan baru terkait keberadaan kelas pacu unik ini, maupun  seluk beluk lomba pacuan kuda di Ronda.

Rafli Letik, di atas kuda pacu tunggangannya Matadewa (Dokpri)
Rafli Letik, di atas kuda pacu tunggangannya Matadewa (Dokpri)
Menurut Ari Kule, pelatih kuda pacu dari Kecamatan Rote Selatan, nomor tao lalaok hanya dilombakan di Charli Cup, satu diantara tiga 'even besar' yang diselenggerakan secara tahunan di Ronda. Mengapa kurang popular? Sebabnya karena sering menimbulkan pertikaian. Tidak mudah menilai apakah kuda sedang berjalan cepat, atau berlari kecil, atau sedang melompat. 

Bagi sang joki dan penonton pendukung bisa saja tidak dianggap melanggar aturan, tetapi bisa saja bagi lawan dan pendukungnya dianggap sebagai melanggar. Pun di kalangan beberapa juri bisa terjadi perbedaan. Pada saat tertentu, kuda dianggap melompat oleh satu atau beberapa juri tetapi bagi juri lainnya dianggap 'berjalan cepat' sesuai ketentuan standar.

Berikut tiga 'even besar' pacuan kuda (hus) di Ronda:

  • Charli Lian Cup (dengan hadiah motor untuk juara 1, dan hadiah uang untuk juara 2-6). Biasanya diselenggarakan setiap bulan Agustus.
  • Lentera Cup, merupakan piala Bupati Ronda, diselenggarakan sekali dalam setahun, dengan hadia uang bagi pemenang urutan 1-3.
  • Pariwisata Cup diadakan juga setahun sekali, juga dengan hadiah uang untuk  juara 1-3).

Kelas-kelas yang  dipertandingkan adalah:

  • Kelas E untuk Kuda sumba (sandlewood)
  • D-Standar untuk kuda peranakan (campuran kuda lokal )
  • D-Lokal untuk kuda lokal
  • C-Standard (kuda peranakan) dan C-Lokal
  • B-Standar untuk kuda peranakan
  • A-Standar untuk kuda Sumba; meliputi tiga kategori yaitu Biasa (untuk tinggi kuda 140-144), Sprint (untuk tinggi 145-149), dan Open (untuk tinggi diatas 150 cm)

Penentuan kelas-kelas di atas tentu didasarkan atas pertimbangan, antara lain tinggi badan serta faktor 'genetika' dari kuda-kuda yang diadu. Pengkelasan ini memberi ruang bagi kuda-kuda lokal Rote yang posturnya pendek dan cenderung mungil. Tetapi, juga memberi ruang bagi kuda-kuda peranakan dan kuda berpostur besar dengan tinggi diatas 150 meter sejenis sandelwood.

Biasanya yang turun di kelas tao lalaok adalah kuda-kuda lokal. Kuda peranakan dan sandelwood selalu bermain di kelas sprinter (kua).

Salah satu kuda andalan Ronda hingga awal 2017 di kelas lokal adalah Matadewa yang berpacu di kelas E-Lokal. Saingan terdekatnya di kelas ini adalah Karenakasih (dari Kecamatan Rote Timur), Titipan (Kec.Rote Tengah), Gelombang (Kec.Rote Tengah), Tiatasi (Kec.Rote Tengah) dan Pasirputih (dari Kec. Pantai Baru). Hingga tahun 2017 kuda-kuda ini bergantian menempati posisi juara dalam berbagai even lomba.

Joki Matadewa yang sering menyabet rangking puncak, dan memiliki jam terbang tinggi itu adalah Rafli Letik. Karena persetasi dan reputasinya itu, Rafli yang baru duduk di kelas 4 SD sudah menempati 'posisi bergengsi' sebagai joki senior Rote-Ndao.

Kuda-kuda pacu dari Rote ini juga sudah biasa mengikuti lomba di luar pulau, seperti Kupang, Kefa dan sebagainya. Beberapa kuda andalan dari Kabuapten Rote Ndao antara lain kuda Garuda (C-Standar), kuda Daleoe (kelas D), Sansana (C-Standar), Gentar (kelas E),  Tiatasi (kelas E), Titipan (kelas E), dan Pasirputih (kelas E).  Tahun sebelumnya, di even pacuan di Kefa dari Rote-Ndao menyabet juara untuk kelas C Standar yaitu atas nama kuda Renjiro. 

Meskipun 'tao lalaok' merupakan kelas unik dan khas 'gaya asli Rote' nampaknya kurang mendapat perhatian. Ini terbukti dengan adanya tiga even pacuan besar di Ronda, hanya Charli Cup yang mempertandingkannya. Ironisnya, dua even lainnya yang diselenggarakan (atau setidaknya rekait dengan) pemerintah Ronda, yaitu Lentera Cup (piala Bupati) dan Pariwisata Cup (diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata) tidak memberi ruang bagi 'kelas etnik' ini.

Sebagai orang Rote yang telah hampir 40 tahun tidak menetap di nusa ndalu sitak (tempat kelahiran) ini, saya selalu merindukan sesuatu yang unik dimiliki masyarakat Ronda. Melalui tulisan ini saya ingin berpartisipasi sekadar menyampaikan sumbang saran agar pemerintah Ronda, melalui dinas Pariwisata untuk menjadikan kelas 'tao lalaok' sebagai kelas unggulan. 

Siapa tahu, kelas ini kelak bisa diadopsi ke level nasional dan kemudian juga internasional? Bukankah itu akan menjadi kontribusi berharga dari etnik Ronda bagi jenis lomba kegemaran 'kaum ninggrat' dunia ini? Tidak ada salahnya pula dibuat even khusus untuk kelas ini. Sebab, bila digabungkan dengan kelas 'kua' dikhawatirkan akan 'memanas-manasi' kuda-kuda yang akan bertanding di kelas tao lalaok sehingga tidak maksimal mematuhi aturan standarnya yaitu  hanya 'berjalan cepat dan indah' itu. 

Itulah sedikit gambaran tentang keunikan hus dan kekhasan 'gaya balap kuda' khas masyakat Ronda, dengan sebuah saran semoga mendapat perhatian dari pemerintah Ronda dan para penggemar balapan kuda di Ronda khususnya maupun di Indonesia umumnya.

Jayalah Indonesia, jayalah pacuan kuda di Rote-Ndao.

Salam Kompasiana!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun