Banjir kiriman bunga untuk Ahok-Djarot menjadi perhatian luas, tidak saja dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Suara.com melaporkan setidaknya diberitakan di Straits Times,sebuah media berpengaruh di Singapura, juga Asia Corespondent yang menyamakan Ahok sebagai bintang musik rok yang mendapat banyak simpati massa. Media asing lainnya adalah ABC News, memuat laporan Adam Harvey yang menyebutkan Ahok mendapatkan banyak simpati meski kalah di Pilkada. Masih menurut sumber yang sama, di video reportase yang diungguh di akun pribadinya, Harvey akhiri reportasenya dengan pertanyaan bernada kagum, “apakah politikus Australia bisa mendapatkan hal serupa?”
Lain di luar lain pula di negeri sendiri. Fenomena kiriman bunga itu menimbulkan polemik dan sinisme. Fadli Zon, misalnya menyebutnya sebagai pencitraan murahan. Sejumlah haters menyebutnya sebagai pesanan Ahok sendiri. Ada pula yang menyebutnya sebagai pesanan ‘hanya’ satu dua atau beberapa perusahaan saja. Ada pula yang menuduh bunga-bunga itu sudah dipesan jauh-jauh hari. Mungkin untuk ucapan kemenangan paslon Badja, namun ternyata kalah maka redaksinya saja yang dirubah.
Alasan-alasan (atau tuduhan) itu tidak punya dasar argumen yang diandalkan. Pencitraan untuk apa? Toch, Ahok-Djarot sudah menerima kekalahan sejak hasil quick count dari sejumlah lembaga survei diumumkan, hanya beberapa jam usai pencoblosan Pilkada putaran kedua. Bahkan, mereka langsung memberi ucapan selamat ke Paslon Anies-Sandi. Kalau Ahok sendiri yang memesan ribuan bunga itu, yang diperkirakan harganya mencapai miliaran rupiah, lalu apa manfaatnya? Untuk kepentingan kampanye Pilkada saja Ahok tidak mengeluarkan biaya pribadi, lalu sudah kalah kok malah keluarkan dana? Pun, kalau beberapa perusahaan yang memesan bunga-bunga itu, apa manfaatnya bagi mereka maupun bagi Ahok-Djarot?
Menurut Lucky Florist (LF), seperti dilaporkan merdeka.com, pesanan bunga itu berasal dari masyarakat, baik komunitas maupun perorangan. Feryanto, pemilik LF mengatakan punya semua data pembeli jadi bisa divalidasi. Juga, pesanan-pesanan itu baru mulai tanggal 20-an April, artinya setelah pencoblosan. Jadi, bukan jauh-jauh hari seperti dituduhkan. Juga, bukan oleh satu atau beberapa perusahaan saja. Hal senada juga diakui pengusaha bunga lainnya. Toko bunga Krekot misalnya mengatakan banjir pesanan baru mulai Selasa (25/4/17), dan berasal dari perorangan (dalam bentuk bucket atau standing flowers) maupun kelompok dan perusahaan dalam bentuk bunga papan. Ucapan-ucapan yang dipesankan kebanyakan bernada simpati, pujian dan ucapan terimakasih, motivasi, curhat gagal move on, dan sebagainya.
Faktor lainnya yang dijadikan alas untuk tuduhan-tuduhan miring adalah karena kebanyakan pengirim bunga menggunakan nama samaran, dan bukan nama asli. Juga, narasi di papan bunga juga ‘rada lucu’ dan tak serius. Mengapa pengirim bunga tidak mencantumkan nama sebenarnya?
Pertama; pengirim tidak selalu pribadi. Bucket kecil saja tidak murah. Sedikitnya Rp.400.000 untuk yang sederhana. Menurut pengakuan Tika (Kartika Chandra) ia bersama teman-temannya urungan (patungan) untuk memesan (membeli) bunga seharga Rp.450.000. Berlima masing-masing berkontribusi Rp.90.000 (https://news.detik.com/berita/3485606/cerita-tika-yang-patungan-untuk-kirim-karangan-bunga-ke-ahok). Bagi pemesan yang jumlahnya 2-3 orang tentu masih memungkinkan mencantumkan semua nama di papan bunga. Tetapi bila lebih akan terlihat tidak artistik, juga tidak efisien karena memakan banyak ruang untuk menuliskan semua nama itu. Lagi pula, toch Ahok-Djarot tidak mungkin kenal nama-nama itu satu persatu. Namun, di sisi lain lagi, bila tidak mencantumkan identitas diri akan terkesan lebih janggal dan misterius. Padahal, tujuannya kan memberi motivasi, kekuatan, empati, penghormatan, penghargaan, dan sebagainya. Maka menjadi lebih simpel meng-create sebuah “identitas bersama.” Munculah nama-nama seperti “Ibu-ibu Muda yang Melow, kami yang belum bisa move on'; 'Super Moms Bintaro'; 'Grup Beties'; 'grup Sos' ; 'Oneng Grup'; 'Ibu-Ibu Cantik DKI'; Pengaggum Badja, Alumni UKSW Angkatan 94, dsb.
Kedua; kemungkinan juga pengirim bunga adalah pendukung namun tidak bisa mencoblos saat Pilkada putaran kedua. Ini bisa berasal dari dua jenis. Yaitu, yang disebabkan alasan tertentu sehingga tidak sempat ke TPS untuk memberikan suaranya. Tetapi bisa juga, yang ke TPS tetapi terpaksa mencoblos paslon lainnya. Gagasan ini memang spekulatif tetapi cukup rasional. Artinya, mereka harus mecoblos lantaran takut atau terintimidasi. Seperti diketahui, kampanye putaran kedua sangat kental nuansa intimidatif, terutama bagi pemilih muslim. Nuansa negatif itu terbangun melalui berseri-seri aksi bela Islam, ceramah-ceramah masjid, spanduk-spanduk yang ditempatkan di berbagai sudut kota, dan penolakan langsung terhadap Ahok-Djarot maupun pendukungnya. Misalnya ditakut-takuti akan masuk neraka kalau mendukung paslon kafir atau penista agama, jenazah keluarga tidak disholatkan, dan jenis penolakan seperti yang dialami oleh Djarot Saiful Hidayat. Lantaran intimidasi itu mereka takut lalu terpaksa memilih di paslon lain, meski hati dan pikiran melekat pada Badja. Bukti bahwa tingkat kepuasan terhadap kinerja paslon Badja tinggi (di atas 70%) namun keterpilihannya rendah (kalah) nampaknya bisa memperkuat argumentasi di atas.
Itulah sebabnya, ketika mengetahui ada pengiriman bunga untuk Badja, mereka merasa perlu mengekspresikan dukungan riil mereka melalui bunga. Meski terpaksa, sekali lagi secara anonim. Mengapa? Sebab, mereka tetap takut ketahuan pendukung seberang (mungkin saja bukan paslon) karena terus dibayangi perasaan terintimidasi.
Prinsipnya, pencantuman anonim atau nama samaran di karangan bunga yang dikirim ke Ahok-Djarot bukanlah bukti ‘settingan’ seperti dituduhkan. Juga bukan pencitraan dan sejenisnya. Fenomena ini belum pernah terjadi dalam sebuah pilkada maupun pilpres. Bahkan di negara lain nampaknya belum pernah terjadi dengan jumlah pengirim yang melebihi 4000-an (berita Kompas.com 28/4/17). Ini memberi bukti kuat betapa Ahok-Djarot tetap hidup dan melekat kuat di hati rakyat. Mereka adalah simbol kekuatan dan kemenangan atas korupsi, praktek birokrasi yang berbelit dan kotor, juga ketegasan dan keberanian menghadapi para preman ibukota dan preman berdasi, ikon pemimpin berintegritas dan pengabdi rakyat yang berpijak kokoh di atas dasar NKRI. Pengiriman bunga itu merupakan pengakuan tulus dari publik, yang merindukan pemimpin-pemimpin negara dengan repurtasi sejenis. Memodivikasi pertanyaan retorik Adam Harvey, “apakah Anies-Sandi dan politisi lain akan mendapatkan hal yang sama?
Salam kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H