Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Bukan Pilihan

19 April 2017   00:28 Diperbarui: 19 April 2017   00:40 960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seekor ulat bulu besar berwarna hitam pekat, dengan sebagian bulu pucat terjatuh dari dahan kamboja. Oleh angin ia terbawa jarak, lalu terlempar gedebuk di permukaan tanah kering yang panas. Ia bergegas. Melata ke atas karpet rerumputan. Kadang harus teraduk-aduk melewati puncak-puncak daunan rumput kering. Kadang pula meliuk kepayahan menerobos celah rimbun batangan tinggi rumput dan semak kering yang bergoyang menghimpit tak henti, digoncang angin. Dengan sabar dan tenang ia terus menorobos.  Kemudian menapak lempengan marmer tertata. Melata naik dan memanjat, ia tiba di puncak.

Lantaran warnanya kontras dengan permukaan ubin, ia segera menampak. Anak-anak gadis berteriak histeris. Berhamburan pergi meninggalkan alat bermain.  

Si putri marah. Ia membentak. “Wooooi jelek, enyah kau dari ku.”

Ulat bulu tetap merayap. Menyeret langkah, meluncur di permukaan marmer yang mulus. Bulu-bulu tuanya jatuh berserakan. Tertiup angin sepoi.  

Hiiiiih, jelek, kotor, bau, pergi dariku,” bentaknya lebih keras.

Ulat bulu menghentikan langkah sejenik, tersenyum, “halo kawan, aku hanya kebetulan lewat sebentar.”

“Kau menjijikkan. Lihat, gara-gara kamu tamu-tamu istimewa ku takut dan meninggalkan ku.

Maaf, aku hanya lewat,” demikian ulat bergumam sambil meneruskan perjalanan.

Si Putri masih saja menghardik dan mengusir. Namun, sang ulat tak peduli. Ia dengan tenang terus berjalan hingga menurun dan kembali menemukan dataran bersemak. Sementara menjauh, suara umpatan masih terngiang menusuk-nusuk.

Nisan si putri kesal bukan maen.  Seharian tidak ada yang berkunjung. Sepi. Mainan anak-anak masih berserakan di atasnya. Juga debu. “Ini gara-gara si jelek, sungguh tak tahu diri,” umpatnya.

--- tiga ---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun