Seperti diketahui, ketika tiba di istana kepresidenan Bogor, raja Arab Saudi, Sri Baginda Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud (raja Salman) menanyakan cucu Soekarno. Seakan-akan, orang pertama yang dicarinya di Indonesia justru tokoh pendiri bangsa itu. Mengapa bukan Habieb Rizieq misalnya, yang selama ini mengesankan diri sebagai “sangat Arabik,” juga paling Islami? Sebagai catatan, dalam tulisan ini Habieb Rizieq tidak semata-mata menunjuk pada Imam Besar FPI, melainkan juga sebutan untuk semua penganut Islam garis keras.
Raja Salman bahkan menyediakan waktu khusus bertemu anak cucu Soekarno selama 15 menit. Sempat berselfie pula. Dengan riangnya baginda raja menulis di akun @Kingsalman: “Tidak bisa menyembunyikan kesenangan. Mantan Presiden RI Megawati dan anaknya, Menteri Kebudayaan sekarang sedang berselfie dengan Raja Salman di hadapan Presiden Jokowi” (Sumber).
Ini berbanding terbalik dengan Habieb Rizieq, yang telah berusaha keras bertemu namun tak kesampaian. Meski sudah dibantu konco-konconya di DPR yang mengundangnya hadir mendengar pidato Sri Baginda Raja tanggal 2 Maret 2017 di gedung DPR, namun tidak ada garansi ia bisa bisa bertemu, bahkan sekadar bersalaman pun. Apa pesan dibalik fenomena ini?
Bukan kebetulan raja Salman menanyakan cucu sang proklamator. Soekarno, Presiden pertama kita adalah tokoh dunia yang menanamkan banyak kesan baik dan terobosan yang mengharumkan nama Indonesia. Sejumlah gebrakannya, antara lain menjadi pendiri gerakan Non Blok bersama Gamal Abdul Nasser (Presiden Mesir), Jose Tito (Presiden Jugoslavia), Jawaharlal Nehru (PM India), Konferensi Asia Afrika (KAA), pendiri GANEFO (Games of the New Emerging Forces) sebagai tandingan Olimpiade, dsb-nya menempatkan Indonesia yang baru merdeka pasca Perang Dunia II itu di latar depan politik dunia dibandingkan negara-negara baru lainnya. Bukan hanya itu. Kontribusi Soekarno bagi Islam dan dunia Arab juga banyak, antara lain menyelamatkan rencana penutupan Universitas Al-Azhar Mesir dari ancaman penutupan oleh Presiden Gamal Abdel Nasser karena kepentingan politik, berperan menghijaukan padang Arafah, menyelamatkan masjid Biru di Rusia, dan sebagainya (Sumber).
Tetapi, “pencarian” raja Salman pada anak cucu Soekarno bukan semata-mata karena kesan spesifik di atas. Membaca pesan-pesan sang raja selama di Indonesia, nampaknya penghargaannya pada presiden Soekarno disebabkan juga oleh kecerdasan dan jasanya meng-arstiteki negara ini dengan sebuah fondasi yang amat kokoh dan indah, yaitu Pancasila. Sebagai landasan filosofis Pancasila merupakan sintesis (saripati) nilai moral-spiritual dari kemajemukan etnik dan pluralitas religius masyarakat Indonesia. Pancasila menjadi titik imbang dari semua perbedaan, keunikan, dan “tarikan-tarikan ideologis” yang melekat didalamnya. Itulah letak kekuatan ideologi Pancasila, dibanding ideologi lainnya yang lahir dalam tradisi bangsa yang cenderung homogen. Termasuk didalamnya tentu saja agama-agama.
Maka, mengikuti pidato-pidato raja Salman selama di Indonesia seakan-akan mendengar nasehat dari seorang bapak bangsa kepada generasi-generasi pelanjut. Cara presiden Joko Widodo memperlakukan baginda juga seperti seorang anak kepada orang tua yang sangat dihormati. Raja banyak berbicara dan memuji kehidupan toleransi dan kebinekaan di Indonesia. Ketulusannya itu dibuktikan antara lain dengan sikap tegas mendukung pemerintah mengembangkan Islam moderat dan mengendalikan, bahkan “memerangi” Islam garis keras; semua bentuk radikalisme, ekstremisme, dan terorisme.
Apa yang ditunjukkan oleh raja Salman dan rombongannya selama di Indonesia menunjukkan kepada kita sebuah wajah Islam yang sangat inklusif, ramah, damai, juga menghadirkan kenyamanan dan ketenteraman. Berbeda 180% dengan yang didakwa-paksakan oleh Habieb Rizieq dan konco-konconya yaitu terkesan determinatif, diskriminatif dan cenderung menginvasi.
Berikut sejumlah perbedaan hakiki yang saya catat.
Pertama; Rizieq CS tidak mau bersalaman dengan non Muslim yang disebutnya kafir. Bahkan di perayaan hari raya umat Islam, mereka tidak dibolehkan disalami oleh warga non Muslim, apalagi menyalami di perayaan hari raya agama non Islam? Sementara, raja Salman bebas bahkan sangat akrab menyalami tokoh-tokoh non Muslim, misalnya tokoh-tokoh lintas agama.
Kedua; Rizieq cs mengharamkan menyalami perempuan, apalagi perempuan yang tidak mengenakan pakaian dan atribut agama seperti jilbab, kerudung, dan sejenisnya. Raja Salman malahan bersalaman dan tidak keberatan berselfie-selfian dengan Puan Maharani dan Megawati Soekarnoputri, putri dan cucu Soekarno. Dengan perempuan non Muslim pun raja Salman berjabat tangan akrab tanpa canggung, misalnya dengan Ketua PGI, ibu Pendeta Dr.Henriette T.Hutabarat Lebang.
Ketiga; Rizieq dkk memperjuangkan penerapan Wisata Syariat, termasuk pernah menggaungkan penerapannya di Bali yang sempat mendapatkan respons penolakan dari warga Bali. Raja Salman memilih menghabiskan waktu liburannya berlama-lama di Bali tanpa tuntutan spesifik.
Keempat; Rizieq menuduh Ahok menista agama Islam, kafir dan tidak diperbolehkan menjabat Gubernur. Raja Salman menyalami Ahok dalam posisi sebagai Gubernur DKI, tuan rumah yang ikut menjemput bersama Presiden Joko Widodo di bandara Halim Perdanakusumuah. Seandainya, raja Salman tidak setuju pemimpin non Muslim, ia tentu mengajukan keberatan kepada pemerintah Indonesia sehingga diatur supaya Wakil Gubernur, Djarot Syaifudin yang ikut dalam rombongan penjemputan menggantikan Ahok. Hal semacam itu lazim dalam tradisi diplomasi.
Kelima; raja Salman memuji toleransi di Indonesia dan berulang kali memberi pesan agar toleransi itu dijaga-rawat. Pesan itu disampaikannya, baik dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh Islam, maupun tokoh lintas Iman. Sementara dalam banyak kasus terlihat Rizieq dan organisasinya membajak toleransi demi kepentingan primordial mereka.
Keenam; apa yang dimusuhi Habieb Rizieq CS terkesan tidak dipermasalahkan raja Salman. Selain Ahok, Habieb Rizieq juga bermasalah dengan polisi adat (Pecalang) di Bali dalam kasus penghinaan oleh Munarman yang juga jubir FPI. Seperti diketahui, kasus itu sudah ditangani pengadilan karena Munarman telah resmi ditetapkan sebagai tersangka. Dalam logika Habieb Riziek (seperti yang dinalarkannya di kasus Ahok), Munarman tidak bermasalah dengan Pacalang melainkan dengan negara. Sementara, ketika tiba di Bali para Pacalang masuk dalam tim pengaman, bekerja sama dengan aparat untuk pengamanan raja Salman. Artinya, raja Salman sendiri percaya pada para Pecalang dalam pengertian tidak keberatan terhadap kehadiran institusi adat Bali tersebut untuk pengamanannya. Ia juga disambut dengan tarian Pendet Bali, bukan qasidah atau sejenisnya yang lebih bernuansa Islami atau Arabi. Hal lainnya: Megawati Soekarnoputri juga pernah dilaporkan atas kasus penodaan Islam terkait isi pidatonya di HUT PDIP 23 Januari 2017, yang antara lain mengatakan: “Para pemimpin yang menganut ideologi tertutup pun memosisikan diri mereka sebagai pembawa 'self fullfilling prophecy', para peramal masa depan. Mereka dengan fasih meramalkan yang akan pasti terjadi di masa yang akan datang, termasuk dalam kehidupan setelah dunia fana, padahal, notabane mereka sendiri tentu belum pernah melihatnya.” Namun, nampaknya hal itu tidak dipermasalhkan raja Salman, buktinya beliau bertemu khusus dengan Megawati dan Puan.
Ketujuh; raja Salman begitu mengagumi Soekarno dengan buah karya dan pikiran-pikirannya seperti djelaskan di atas. Sementara, Habieb Rizieq melecehkan pendiri bangsa itu dengan “menuduhnya” menempatkan sila Ketuhanan di pantat. Rizieq begitu mengagungkan Piagam Jakarta sehingga tega melecehkan bung Karno yang justru dihormati masyarakat Indonesia dan juga banyak tokoh dunia.
Akhirnya, apa yang ditunjukkan raja Salman selama di Indonesia membuktikan bahwa pujiannya terhadap tolerasni dan kebinekatunggalikaan di Indonesia itu bukanlah basa-basi. Ia “terkesan fasih” menafasinya. Komentar Romo Venus Dewantara yang ikut menyambut kedatangan raja Salman di Bali dan sempat bercakap dengan baginda merupakan sebuah afirmasi: “Raja (Salman) mau datang ke Bali, saya melihat Raja menghayati Islam yang merangkul atau rahmatan lil ‘alamin’. Wajah keislaman Raja Salman yang teduh menyambut semua orang sebagai saudara.” (Sumber: http://bali.tribunnews.com/2017/03/06/jubah-di-bagian-dada-romo-venus-disentuh-raja-salman-sambil-tersenyun-di-bali-ini-katanya). Dalam tulisan saya sebelumnya, saya sebut Islam yang macam itu rupanya menjadi visi dari Islam Nusantara. Sebuah wajah Islam yang nampak senafas dengan pandangan keislaman Presiden Joko Widodo dan raja Salman. Dan, menurut saya itulah Islam yang Pancasilais. Harian Kompas (7/3/2017) menyebutnya sebagai kontekstualisasi Islam di Indonesia; ya, Islam yang membumi di ruang politik bernama Indonesia.
Saya tergoda untuk bertanya, kalau raja Salman yang merupakan ahli agama Islam (penghafal Alquran sejak usia 10 tahun dan pelayan dua kota suci Makkah dan Madinah) saja bisa menunjukkan sikap menghargai pluralitas di Indonesia, mengapa keahlian Islamnya Habieb Rizieq CS begitu memusuhi pluralitas dan marobek toleransi? Raja Salman tidak saja menunjukkan sikap toleran, melainkan juga keramahan dan persaudaraan, tetapi mengapa Rizieq CS cenderung bersikap kasar, mendominasi dan memusuhi? Kesan saya, kok raja Salman lebih Pancasila-is daripada Habieb Rizieq dan konco-konconya?
Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H