Kelima; masih ada satu kartu yang bisa dimainkan Rizieq, yaitu memanfaatkan waktu liburan sang Raja dan rombongan selama di Bali. Itu bisa saja. Tetapi, apakah dengan adanya masalah FPI lewat jubirnya Munarman dalam kasus menghinaan Pecalang ruang itu cukup terbuka? Menurut kabar “burung beo,” telah ada deal Riziek bertemu Sri baginda di Bali, tetapi disepakati tanpa pantauan media. Kalau demikian, tentu tidak bisa diverifikasi. Dan, saya tidak mau bersikap sok tahu untuk menistakan burung beo, namun bukankah ada sebab hakiki mengapa disebut beo?
Dengan demikian, jelas bahwa panggung FPI dan aliran Islam radikal di Indonesia, yang selalu menunjukkan “sikap paling benar” sehingga dengan mudahnya melabeli orang lain (bahkan sesama Muslim yang berbeda perspektif dengan mereka), sebagai kafir, murtad, munafik, dan ungkapan sejenis lainnya, makin sempit. Harapan mendapatkan suntikan “obat kuat” dari Raja Salman agar lebih “macho” hadapi kasus penistaan Islam oleh Ahok serta menggoyang bahtera politik NKRI dibawah kendali nakoda cerdas macam Presiden Jokowi, seakan pupus. Dengan benderang masyarakat menyaksikan, betapa akrab dan ramahnya baginda Raja Salman diperkenalkan oleh Presiden Jokowi kepada Ahok, musuh nomor wahid-nya Rizieq cs. Ahok dan baginda pun bersalaman akrab. Rizieq sendiri sehari sebelumnya di persidangan kasus Ahok (28/2/2017) pantang bersalaman dengan orang yang dianggapnya kafir dan penista Islam itu. Apa yang akan dikatakanya kepada baginda raja Salman yang tidak ragu bersalaman dengan Ahok?
Dukungan raja Salman kepada Islam moderat di Indonesia, seperti terdokumentasikan sebagai salahsatu kesepakatan bersama, dipertegas dengan tekat bersama kedua negara mengatasi terorisme dan Islam garis keras makin memperkuat gembok yang mengkandangkan gerakan Riziek CS. Pandangan massa muslim Indonesia yang beberapa hari ini fokus terarah ke pentas nasional menyaksikan “tarian indah Presiden Joko Widodo dan baginda raja Salman” menjadi sadar betapa indahnya kedamaian, keramah-tamahan, dan semangat saling melayani. Bukan sikap menyebar permusuhan, memaksakan kehendak, dan sok benar sendiri.
“Maklumat” kedua pimpinan negara di atas, dengan jelas memberi “ruang monopoli” bagi Islam Nusantara, yang berciri moderat dengan semangat menghadirkan Islam yang lil alamin. Lewat baginda raja Salman, panggung dunia seakan-akan “membuka jalan utama” bagi Islam Nusantara, yang sangat berpotensi menghadirkan sebuah “arus utama” Islam berwajah damai di panggung dunia. Ditengah-tengah maraknya konflik dan kekacauan dunia yang ditimbulkan oleh Islam radikal, semangat Islam Nusantara menghadirkan wajah Islam yang “memanusiakan manusia,” tanpa mendiskriminasi laksana oase besar di tengah gurun toleransi yang kering. Gerakan Islam garis keras telah sukses menyebar virus teror memaksa Eropa dan Amerika berpikir ulang tentang globalisasi, demokrasi, HAM dan semangat keterbukaan yang telah dikampanyekan dan didiktekannya bertahun-tahun kepada negara-negara lain. Secara mencengangkan, mereka berbalik menutup rapat pintu masuk ke nagaranya.
Di sinilah terbuka peluang besar bagi Islam Nusantara menawarkan “dakwah berwajah damainya” ke panggung dunia yang telah dilanda stres tingkat dewa dan berlumuran darah. Bagaikan dokter ahli dan ramah yang hadir tepat waktu membawa obat penawar. Sebuah kesempatan emas untuk menempatkan Indonesia (melalui Islam Nusntara) di arus utama percaturan dunia, menyusul nampak mulai memudarnya pengaruh Amerika dan negara-negara Eropa. Mengapa tidak?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H