Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya berjudul “Presiden Jokowi dan Demokrasi Kebablasan Kita” (K-23/2/17). Judul ini terkesan provokatif bila terburu-buru menyimpulkan. Yang ingin ditekankan lewat judul di atas adalah kecenderungan kuat memahami dan mempraktekkan demokrasi semata-mata sebagai milik mayoritas. Mayoritas di sini tidak menunjuk pada identitas tertentu, misalnya keagamaan, etnis, jender, wilayah pemukiman (penguasaan wilayah), dan sebagainya. Mayoritas dimaksud adalah pengambilan keputusan yang didasarkan pada suara terbanyak.
Sila Keempat dari Pancasila berbunyi: “Kerakyatan yang dipimpin oleh HIKMAT KEBIJAKSANAAN dalam permusyawaratan perwakilan.”
Menurut saya, disinilah perbedaan esensial demokrasi Barat dan demokrasi Indonesia atau Pancasila. Dalam demokrasi Barat, karena rohnya adalah rasionalitas, maka perdebatan-perdebatan cerdas dengan instrumen nalar sehat diutamakan. Bila lewat tahapan itu belum juga dihasilkan keputusan, barulah dilakukan voting (pemungutan suara). Dalam voting, kebenaran (keputusan) yang dihasilkan merupakan kebenaran mayoritas, yang tidak selalu merepresentasi kebenaran substansial. Di sinilah problemnya. Apabila mayoritas pemilik suara berkonspirasi untuk sebuah kepentingan sempit, maka demikianlah akan menjadi keputusan politik. Kelompok non mayoritas mau tidak mau dipaksa mengikuti kemauan mayoritas.
Berbeda dengan Barat, dalam demokrasi Pancasila yang diutamakan adalah hikmat dan kebijaksanaan, yang dilakukan lewat mekanisme musyawarah. Jadi bukan debat, melainkan berunding. Dalam bermusyawarah, fokusnya adalah mendapatkan solusi terbaik yang tidak saja didasarkan atas nalar sehat melainkan juga hati nurani. Dalam musyawarah ruang empati terbuka memungkinkan semua pihak saling memahami secara mendalam demi menghasilkan kepentingan (keputusan) tertinggi, yaitu yang mengatasi kepentingan-kepentingan sempit individu dan primordial kelompok.
Dalam perjalanan bernegara, praktek berdemokrasi kita cenderung mengambil jalan Barat. Lebih simpel dan ‘strigh to the point.” Kalau ada pihak yang tak setuju langsung diselesaikan lewat mekanisme voting. Lalu, yang terjadi adalah kalah-menang. Apalagi, karena tradisi debat bukanlah budaya asli masyarakat Nusantara, maka kerap yang terjadi bukanlah debat melainkan bertengkar. Atau biasa disebut juga debat kusir. Dalam debat kusir bukan kebenaran esensial yang dicari, melainkan siapa yang paling kuat ngotot, yang paling sukses menggalang koalisi dan massa, dialah yang menang.
Sementara, dalam budaya musyawarah, yang dicari adalah kebenaran bersama yang berorientasi pada kemenangan semua pihak. Hanya kebenaran substansial dapat menjadi pegangan bersama dan pedoman untuk menentukan salah benar, adil tak adil, bermanfaat tak bermanfaat, juga membedakan kepentingan umum dari kepentingan pribadi. Suara seorang pun dapat dipertimbangkan, bahkan diterima sebagai keputusan bersama bila mengandung unsur-unsur kebenaran esensial yang dipertimbangkan dengan nalar dan nurani.
Inilah yang terjadi dalam pembahasan Pembukaan UUD’45. Alinea ketiga yang sebelumnya berbunyi, “Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa, dst........” diusulkan oleh I Gusti Ktut Pudja agar kata “ALLAH’ diganti dengan TUHAN. Semua anggota PPKI peserta rapat yang diketuai oleh Ir.Soekarno dengan penuh empati menyetujui usul itu. Maka, sejak itu rumusannya menjadi: “Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, dst.....”
Usulan penghilangan tujuh kata (yang kelak dikenal sebagai Piagam Jakarta) telah disampaikan oleh Mr. Latuharhary dalam Sidang Kedua BPUPKI 11 Juli 1945. Argumentasinya, bila “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” dicantumkan, dikhawatirkan akan menyebabkan “rakyat dipaksa” oleh konstitusi untuk meninggalkan adat istiadatnya. Juga implikasinya pada pemilikan.
Latuharhary mengatakan: “...umpanya di Maluku hak tanah bersandar atas adat-istiadat sepenuhnya. Agama Islam maupun Kristen dalam hal ini tidak dapat mencampuri. Kalau diwajibkan pada pemeluk-pemeluk agama Islam untuk menjalankan syariat Islam, sudah tentu kalimat ini akan dipergunakan terhadap adat istiadat di sini, umpamanya terhadap hak tanah. Tanah ini bukan saja diwariskan kepada anak-anak yang beragam Islam, tetapi juga beragama Kristen. Jadi kalimat semacam itu dapat membawa kekacauan yang bukan kecil terhadap adat istiadat. Oleh sebab itu, baiklah kita mencari modus lain yang tidak membawa akibat yang bisa mengacaukan rakyat”(Risalah Sidang BPUPKI, 1995, hal.216.) Argumentasi ini didukung oleh Djajadiningrat, yang mengkhawatirkan munculnya fanatisme, seperti memaksa sembahyang, salat dan sebagainya. Meski dalam persidangan itu usulan Latuharhary ditolak, akhirnya pada 18 Agustus dengan tambahan masukan dari Indonesia Timur ketujuh kata itu dihilangkan.
Saya sengaja mengutipkan argumen di atas, sekadar untuk menunjukkan bahwa dalam demokrasi Pancasila, nalar dan nurani digunakan secara bersama. Rasio dan empati bersinergi. Itulah sebabnya, biarpun diusulkan hanya oleh satu orang dalam kasus usulan I Gusti Ktut Pudja, atau minoritas macam Mr.Latuharhary dan Djajadingrat, toh pada akhirnya dapat diterima dan menjadi keputusan. Hasil keputusan itu tidak mengalahkan pihak mana pun.
Justru memenangkan semua. Mengapa? Karena menjamin tidak adanya diskriminasi hukum dan perlakuan, baik terhadap adat istiadat masyarakat Nusantara maupun kelompok minoritas. Aspek keadilan bagi kemanusiaan (seluruh bangsa Indonesia) terpenuhi. Disinilah bukti, bahwa dalam Demokrasi Pancasila bukan suara mayoritas yang memimpin dan dijadikan acuan, melainkan hikmat kebijaksanaan melalui permusyawaratan untuk mufakat.