Penyeberangan ke aras Resto bisa lewat jembbatan apung (Dokpri)
Mengusung konsep ekowisata, pengembang “kampoeng kuliner” ini cerdik memadukan keelokan alam ciptaan Tuhan dengan kreativitas manusia. Kolaborasi ini tidak saja terkait alamnya melainkan juga “skenario bisnis” dan ramuan penyajian produknya.
Konon, masih menurut pak Simon, “kampoeng” ini berdiri 2012, dengan nilai investasi sekitar 13 Milyar. Sebagian besar modal berasal dari CU KSP Artha Prima. Karena lahan tersebut merupakan “tanah bengkok” milik desa, maka disepakati sharing profit 70:30%. Tiga desa yang mendapatkan rezeki dari profit dimaksud adalah Tambakrejo, Tambaksari, dan Bejalen. Sejumlah kelompok nelayan, kelompok petani rawa pening, juga belasan UKM terlibat dalam pendirian kampoeng apung ini. Dengan sendirinya mereka juga mendapatkan manfaat rutin.
Di sini konsep permberdayaan masyarakat tercakup dalam bisnis inti. Strategi ini terbilang ampuh mensiasati kondisi, dimana lokasinya yang “tidak berjarak” dengan danau Rawa Pening berarti menabrak aturan tentang sempadan rawa. Seperti diketahui, garis sempadan adalah garis batas aman yang ditetapkan sebagai acuan mendirikan bangunan atau pagar, yang ditarik pada jarak tertentu (dalam hal ini 500 meter) dari tepi rawa, tepi waduk, mata air, rel kereta api, dan sebagainya.
Dengan terlibatnya kelompok tani, nelayan, desa, UKM setempat, yang juga menciptkan eksternalitas positif bagi lingkungan bisnis dan dinamika wisata di sekitarnya, keberadaan kampoeng rawa sebagai “pusat bisnis desa” menjadi dilema. Tak berijin tetapi tidak bisa pula dihentikan. Dibangun dengan konsep apung tentu saja menghilangkan kekhawatiran bahaya karena dekat “lokasi rawa.” Kondisi “unik” ini nampaknya membutuhkan keputusan Presiden, dengan mendapatkan pertimbangan dari kementrian pariwisata dan ekonomi kreatif, kementerian desa, dan lembaga terkait lainnya.
Selfi dulu di gazebo (Dokpri)
Mempekerjakan 98 tenaga kerja (diluar UKM) sudah cukup dibayangkan betapa larisnya restro unik ini. Juga gambaran daya serap tenaga kerjanya. Pekerja dibagi dalam dua shift. Shift pertama masuk pukul 08.00-14.00, dan shift berikutnya pukul 11.00-19.00. Antara pukul 11-14 merupakan jam ramai pengunjung karena bertepatan dengan saat makan siang. Banyak kali,
meetingkantor atau perusahaan dilaksanakan di situ sambil makan siang. Pemerintah daerah Kabupaten Semarang dan Salatiga juga kerap menggunakan untuk meeting. Pun, kerap berfungsi sebagai
rest area bagi para petualang/pemudik dari berbagai kota, seperti Jogya-Semarang, Magelang-Semarang, atau dari kota-kota lain dengan jalur lingkar Ambarawa. Itulah sebabnya, pengaturan shift mengkondisikan
full support semua tenaga pelayan pada jam-jam ramai itu.
Sekitar 60-80% gedung atau ruang dikonstruksikan terapung. Antara lain gedung utama restoran, hall untuk ruang meeting, gazebo, jembatan, tempat pemancingan, dan sebagainya.
Fasilitas Mushola juga tersedia (Dokpri)
Seperti sudah diinformasikan di atas, kapasitas ruang utama restoran sekitar 100-150 orang. Makan di sini tentu memiliki sensasi tersendiri, seakan-akan Anda sedang makan di atas kapal yang berlayar tenang di atas danau. Ruang yang dibiarkan terbuka (tanpa dinding) memungkinkan pemandangan alam sekitar terekspos maksimal. Sedangkan, kapasitas ruang
hall sekitar antara 150 -200 orang, yang juga dibuat apung itu bisa terbayangkan suasana
meeting sambil berlayar.
Ke arah Pemancingan Apung (Dokpri)
Menu lauk untuk makan, khususnya jenis ikan nila, mujair dam lele dilanggan (beli) dari kerambah para nelayan Rawa Pening. Sedangkan ikan kerapu, mas dan lainnya dibudidayakan sendiri. Demikian pula, beras dan sebagian besar bahan mentah untuk ramuan kuliner di restro apung eksotik ini berasal (dibeli) dari petani dan UKM. Sebuah “kolaborasi maut” antara pengusaha, pemerintah, nelayan dan petani sekitar, bukan? Disain bisnis yang sungguh unik.
Untuk kulinernya tersedia berbagai jenis menu dan lauk. Kakap lada hitam, kakap rica-rica, bandeng keropak, udang oseng tahu kacang panjang, gurami asam manis, capcay, cumi, udang, nasi goreng, dsb. Saya sesungguhnya bukan penikmat makanan yang “terlalu serius,” tetapi rasanya kurang cocok atau kurang menikmati makanannya. Bersama istri dan anak, kami memesan gurami goreng telur asin, capcay, dan mendoang. Juga kelapa muda sebagai minuman segar. Sependapat dengan istri, menunya mungkin tidak buruk namun tidak istimewa.
Penyajiannya juga lepas konteks, berantakan. Cuaca mendung, hujan, dan sebagai restro dengan ekspose alam terbuka tentu saja udara selalu basah diselimuti hawa dingin. Apalagi, kami memilih tempat di gazebo yang berhadapan langsung ke hamparan danau rawa pening yang terbuka. Mengenaskannya, makanan disaji dalam keadaan suam-suam (dingin).
Saya bukanlah tipe pemilih makanan tetapi menghadapinya jadi kurang berselera. Saya tidak sempat habiskan yang sudah terambil di piring. Sesuatu yang bukan kebiasaan saya. Dengan tulisan ini saya semata-mata berharap pengelolanya memberi perhatian sehingga sensasi kulinernya bisa terkelola mengimbangi keelokan alam dan providensi fasilitas yang menurut saya sudah cukup komplit itu.
Lihat Travel Story Selengkapnya