Saya menulis ini sebagai catatan sederhana tentang Jakarta. Bukan kampanye. Saya hanya ingin mencurhatkan kekhawatiran, tetapi juga ingin merawat impian tentang Jakarta.
Jakarta! Sejak awal 1990-an saya mulai kenal kota metropolitan ini. Setelah itu, setiap tahun saya setidaknya 2-3 kali berkunjung. Karena itu, ikut merasakan macetnya, banjirnya, kesamrawutan lalulintasnya, kotor dan baunya sungai-sungai yang penuh sampah hingga airnya bewarna hitam kental. Seperti lalulintas yang macet, air sungainya juga macet. Polusi menjadi catatan buruk parmanen sebagai satu diantara kota-kota dengan tingkat polusi tertinggi dunia. Kejahatan marak dan menjadi pemandangan sehari-hari masyarakat. Bahkan saya juga pernah mengalami kecopetan. Para preman lebih berkuasa daripada aparat. Itulah gambaran pekat Jakarta, dibalik kegemerlapan dan godaan hidup sukses yang menjanjikan.
Tahun demi tahun berganti. Pemilu demi pemilu, pilkada-demi pilkada. Perubahan pemerintahan negara, juga gubernur DKI selalu lancar mengedar musim. Di setiap musim pemilihan gubernur para kandidat lincah mengail pemilih dengan mengumpan mimpi dan khayal. Rakyat terhipnotis oleh penampilan gagah yang dipoles, citra bersih tubuh rawatan salon kecantikan, dan kefasihan verbal hasil arahan para profesional ternama. Tidak hanya itu. Para kandidat berlomba-lomba mengubar kebaikan dadakan, bertingkah layak dermawan membagi-bagi fulus demi menggaet suara. Karakter bejat mereka ditularkan, seolah-olah harga diri masyarakat hanyalah sebesar uang receh yang dibungkus niat berbagi. Padahal mereka sedang menebar virus ganas pembunuh karakter dan menghancur moral bangsa.
Waktu dan musim pilkada terus bergulir. Hingga, menurut perkiraan saya, setidaknya lima tahun terakhir sejak pak Jokowi dan kemudian diteruskan wakilnya Ahok menjadi Gubernur. Citra Jakarta seperti tergambarkan di atas perlahan tapi nyata terlihat mulai berubah. Akar-akar masalah ditelisik, lalu solusi pemungkas didisain, mengajukan sejumlah proyek prioritas yang langsung menabrak masalah, seakan mengamputasi kangker ganas penyakit kronis menahun kota Jakarta. Langkah-langkah awal tetapi mendasar itu tentu saja tidak segera terasakan.
Banjir yang biasanya jadi bencana rutin tahunan, menenggelamkan rumah-rumah, merampas kenyamanan penghuni ibukota, bahkan mengakibatkan pengungsi masif, kini tinggal kenangan masa lalu. Pemandangan kotor kumuh dan tempat tumpukan sampah tak terolah, kini berubah menjadi taman-taman kota tertata indah dengan penampakan bersih, nyaman, aman, dan artistik. Masyarakat mendapatkan obyek-obyek rekreasi baru, ruang publik untuk bercanda ria, berdiskusi, berselfie hingga mengail inspirasi dan mengadu kasih.
Air-air sungai mengalir deras. Memang belum semuanya bersih jernih. Tetapi telah mengalir dan jadi tempat bermain dan rekreasi anak-anak. Bahkan sebagian sudah mulai bisa dilayari. Pasukan oranye menjadi pahlawan pembersih yang selalu sigap tidak membiarkan lagi sampah-sampah mengotori.
Kota Jakarta bagaikan sedang berlari kencang mengejar ketertinggalan dari kota-kota besar dunia lainnya. Bahkan, terkesan sangat kencang sehingga menggetarkan kota-kota maju lainnya. Jakarta seperti cindirela yang menemukan pasangan sepatunya di tangan pangeran. Anak tiri terlantar yang dipilih sang pangeran baik hati.
Membayangkan, sebuah kota yang dialiri 13 sungai, yang semuanya mengalir deras dan jernih. Transportasi darat dan sungai saling silang dan menghiasi wajah ibukota. Kota mana di dunia ini yang memiliki demikian banyak sungai multi fungsi? Bayangkanlah Anda sedang duduk nyaman di atas LRT (kereta bergerbong tiga yang meluncur tenang diatas rel “gantung”), sambil memandangi lalu lalang perahu-perahu nelayan dan transportasi sungai yang ramai lancar di bawah sana. Juga lalulalang MRT (mass rapid transit) yang meluncur “menusuk” permukaan tanah, atau saling silang “melayang” di udara Jakarta, akan ikut menyuguhkan pemandangan elok ibukota. Sekali lagi, kota mana di dunia yang akan menandingi kemolekan Jakarta?