Namun, tak selalu “biaya to’ok” dibayarkan setelah ponakannya meninggal. Dalam sejumlah kasus, karena kesepakatan atau pertimbangan tertentu, biaya to’ok dapat dibayarkan sewaktu ponakan masih hidup. Karena biaya to’ok dianggap oleh ponakan sebagai hutang, maka pelunasannya sewaktu masih hidup akan membuatnya tenang dan tidak terbeban. Sebuah kebanggan tersendiri bila masih hidup namun biaya to’ok sudah “dilunasi.” Ini biasanya berlaku bagi orang-orang yang sudah sangat sepuh.
Demikianlah terjadi dengan Ibu saya, Asnat Lusi (kejadian LETIK), yang pada 28 Februari ini genap berusia 84 tahun. Ibu memiliki tiga saudara, seorang lelaki yang menjadi to’o (bagi saya dan ketiga saudari saya), dan dua perempuan yang memiliki anak masing-masing enam dan empat. Jadi, semua anak-anak dari ibu dan kedua saudarinya itu memiliki to’oyang sama, yaitu to’o Lius LETIK. Demikian pula, mama dan ketiga saudara saudarinya memiliki to’o pada marga DETHAN karena ibu mereka berasal dari marga itu.
Tentu saja tidak semua orang bermarga Dethan serta merta menjadi to’ok bagi mama dan saudara-saudarinya. Seperti juga, tidak semua marga Letik akan menjadi to’ok bagi saya dan ketiga saudari saya. Memang semua lelaki dari turunan atau saudara-saudara ibundanya mama saya dapat menjadi to’ok. Namun, ada istilah to’o huk (huk =pohon),yaitu saudara kandung dari pihak ibu.
Dalam hal apabila pihak ibu tidak memiliki saudara laki-laki, maka to’ok dapat diberikan kepada saudara lelaki dari pihak keluarga jauh, misalnya keturunan lelaki dari saudara ayah atau bahkan kakek. Bagaimana kalau dari saudara jauh ini juga tidak ada keturunan laki-laki? Bisa juga diberikan kepada pihak lainnya, asalkan dari marga ibu. Kerap terjadi, to’ok juga diberikan kepada orang lain di luar yang dijelaskan di atas, apabila dalam sejarahnya orang itu pernah berperan sangat penting dalam kehidupan yang bersangkutan (orang yang meninggal atau yang akan menikah itu) sehingga disepakati oleh keluarga ibu untuk diberikan kepadanya.
Prinsipnya to’ok diberikan karena diandaikan memiliki peran dan fungsi yang amat penting. Itulah sebabnya, di zaman modern ini, tradisi to’ok mulai kurang dihargai lantaran sebagian orang merasa sang to’o tidak pernah lagi berperan apa-apa. Bahkan, sejumlah orang Rote perantauan tidak mengenal to’o mereka. Tentu saja, gejala ini sangat disayangkan. Pandangan yang melunturkan “tradisi to’ok” sangat menyesatkan. Sebab, itu bisa diartikan sebagai “kacang lupa kulit,” atau buah yang mengingkari pohonnya, atau aliran air yang menyangkali sumbernya.
Kami pun menuju rumah to’o bernama Fredy Dethan, berjarak sekitar 3 kilometer dari rumah mama. Meski sudah siap, di rumah to’ok nanti masih harus dibicarakan karena kami akan mendengar permintaan (tuntutan) to’okdari yang bersangkutan. Belum tentu yang sudah kami persiapkan akan diterima. Kelihaian “lobby” dari juru bicara diperlukan juga.
Setelah melalui diskusi yang cukup alot, akhirnya urusan “jumlah dan jenis bayaran” disetujui oleh to’o. Sebuah cincin (yang merupakan salah satu bagian dari pemberian to’ok dari kami anak-anak mama) dikenakan istri saya ke jari manis to’ok. Kemudian mama diajak ke belakang (kamar) oleh keluarga to’o-nya, dan ternyata ketika keluar ia telah dikenakan kain sarung, kebaya, dan sendal baru oleh pihak to’ok.
Ketika selesai dan berpamitan, ternyata kami diberikan setengah bagian dari seekor babi besar lainnya yang dipotong khusus untuk itu. Bagian ini disebut babalak (balasan atau disebut juga natafak sebagai tanda bahwa to’ok telah diterima). Tentu, di rumah kami “berpesta” lagi.
Demikianlah, saya dan keluarga mendapatkan kesempatan berharga mengikuti acara adat “pembayaran” to’ok dari mama. Meski sederhana, namun mengandung makna sosio-kultural yang kaya filosofi. Sebuah kearifan lokal untuk merayakan kehidupan, mensyukuri kehadiran ibu sebagai sumber hidup, dan mamateraikan asal usul kehidupan manusia (Rote).