Menikah dengan orang luar Jawa, terutama orang NTT biasanya dipersepsikan cukup rumit. Alasan utama biasa terkait dengan adat atau kebiasaannya. Lebih khususnya belis (mahar) yang dianggap sangat sulit dan berat. Bayangkan, kalau di Sumba bisa “sekandang” kerbau (sampai ratusan ekor), dan sejumlah mamuli (rias adat berbentuk anting-anting ukuran besar yang terbuat dari emas). Di Alor butuh moko, di Flores mungkin gading, dan sebagainya. Dari mana bisa mendapatkan moko (nekara perunggu berbentuk drum yang tingginya dapat mencapai 100 cm), gading, mamuli, dan hewan yang begitu banyak jumlahnya untuk meminang perempuan NTT? Sepintas terkesan sulit, bukan?
Demikian pula di Rote. Faktor belis kerap menjadi penghalang bagi dua muda-mudi untuk mengikat hubungan kasih mereka dalam pernikahan. Tokoh penting dibalik penentuan belis ini adalah to’ok.
To’ok berasal dari kata benda to’o. Kata itu merupakan penyebutan pada saudara lelaki dari pihak mama atau ibunda. Term To’o yang mendapatkan imbuhan (k) mengandung makna pemilikan atau “yang bertanggungjawab,” yang padanya melekat hak dan kewajiban tertentu. Ringkasnya, to’o berfungsi sebagai semacam “orang tua babtis” (god father) dalam tradisi Kristen/Katolik. Ia memegang fungsi pelindung. Itulah sebabnya dalam tradisi orang Rote, to’omemiliki peran sentral.
Orang Rote mengenal pepatah, “setiap air memiliki sumbernya, dan setiap ranting yang berbuah memiliki pohonnya.”To’ok adalah sumber air dan pohon bagi setiap cabang. Meski to’ok adalah sudara lelaki ibunda, namun bukan kelaki-lakiannya yang dipandang, melainkan peran representatifnya (pihak perempuan) sebagai sumber, yang darinya kehidupan berasal. Orang yang anak-anaknya berhasil, sukses menjadi “orang” akan memberi kebanggaan bagi pihak ibu, karena yang ditanyakan adalah, “siapakah to’ok-nya?” Maka, to’ok mendapatkan kebanggaan. Tentu, sebalinya pula. Kegagalan seseorang dapat “mempermalukan” to’ok, dan dianggap sebagai bibit yang salah tanam, atau gagal tumbuh.
Biasanya to’ok lah yang menentukan besar-kecil belis, juga jenisnya. Ia dapat meminta hewan, mamar (sebuah lahan perkebunan yang didalamnya ditanam kelapa, pisang, siri, pinang,dan lainnya), lahan kebun atau ladang, petak sawah, emas, uang, dan sebagainya. Jenis hewan yang diminta basa berupa kerbau, sapi, kuda atau babi. Jumlahnya pun tergantung kelihaian “negosiator,” yang diperankan oleh juru bicara dari calon pengantin pria. Di masa lalu, banyak calon pasangan dapat gagal berlanjut ke pelaminan hanya gegara permintaan to’ok yang tak disanggupi. Ada pula pasangan yang kemudian melarikan diri dan menikah di tempat lain. Namun, dewasa ini sudah ada penyesuaian sehingga tidak lagi se-“mengerikan” tuntutan di masa lalu.
Peran apa saja yang melekat pada to’ok. Boleh dikatakan to’ok menjamin pertumbuhan dan keselamatan dari ponakannya. Seingat saya, ketika masih kecil peran to’ok dapat digambarkan sebagai berikut:
- Bila seorang anak ketika bermain mendapatkan perlakukan kekerasan dari teman bermain, orang lain termasuk dari ayah dan ibunya, dan anak itu melaporkan ke to’ok-nya, maka sudah dipastikan urusannya jadi rumit. Anak itu akan ditahan untuk tinggal di rumah sang to’ok, lalu pelaku diminta datang dengan membawa denda adatnya, yang biasanya ditentukan oleh to’ok dengan difasilitasi tokoh adat dan tetua kampung. Dendanya bisa hewan, kebun, dsb. Umumnya (menjadi standar) seekor hewan dibawa dan dipotong lalu dimakan bersama.
- Bila terjadi kekerasan rumah tangga sehingga, misalnya seorang istri dikasarin suaminya, entah dengan kata-kata (kekasaran verbal), tindakan, apalagi sampai memukul sehingga berdarah, lalu si istri melaporkan ke to’o-nya, maka urusannya pun sama. Ia diminta tetap tinggal di rumah to’o, lalu si suami dipanggil datang menjemputnya. Jemputan itu sudah jelas bukan jemputan biasa, melainkan dengan denda yang sudah ditentukan. Biasanya, si suami harus membawa seekor hewan, entah babi, kambing atau kerbau untuk dibunuh (dikorbankan) sebagai tanda perdamaian. Dengan disaksikan oleh para orang tua dan tokoh adat, si suami harus berjanji tidak akan melakukan kekerasan lagi pada istrinya, lalu diikuti dengan acara makan bersama. Setelah itu si suami bisa membawa pulang istrinya.
Untuk saat ini bisa dipahami maknanya, bahwa denda itu mencegah berkembangnya kekerasan dalam pergaulan, termasuk kekerasan orang tua terhadap anak, juga kekerasan dalam rumah tangga. Prinsipnya, setiap darah yang keluar dari ponakan akan dituntut oleh to’o. Karena itu, besarnya denda banyak ditentukan oleh “seberapa banyak darah yang keluar” atau seberapa berat kekerasan/kekasaran yang dilakukan terhadap si ponakan.
Selain peran pada peminangan, to’ok akan kembali berperan saat ponakannya meninggal. Kebiasaanya, bila ada orang meninggal, yang akan ditanyakan adalah, “siapa to’ok-nya?” To’ok-lah yang menanggung pekerjaan menggali kubur. Teknisnya, tentu saja orang-orang lain menggalinya, namun to’ok akan diminta memberikan “upah kerja,” dalam bentuk membelikan minuman sopi (arak), bisa juga makan dan minum dan sejenisnya.
Keluarga dari orang yang meninggal akan membayar to’ok, yang sama halnya seperti acara peminangan, ditentukan oleh to’o. Namun, umumnya permintaan to’ok pada kematian tidak seketat pada peminangan. Biasanya, sang to’o akan melihat, kalau ponakannya (anak-anak dari saudarinya) itu banyak yang sukses, ia akan meminta yang macam-macam dan banyak. Dianggap ia ‘bermanja-manja” pada anak-anak dari ponakannya itu.
Namun, tak selalu “biaya to’ok” dibayarkan setelah ponakannya meninggal. Dalam sejumlah kasus, karena kesepakatan atau pertimbangan tertentu, biaya to’ok dapat dibayarkan sewaktu ponakan masih hidup. Karena biaya to’ok dianggap oleh ponakan sebagai hutang, maka pelunasannya sewaktu masih hidup akan membuatnya tenang dan tidak terbeban. Sebuah kebanggan tersendiri bila masih hidup namun biaya to’ok sudah “dilunasi.” Ini biasanya berlaku bagi orang-orang yang sudah sangat sepuh.
Demikianlah terjadi dengan Ibu saya, Asnat Lusi (kejadian LETIK), yang pada 28 Februari ini genap berusia 84 tahun. Ibu memiliki tiga saudara, seorang lelaki yang menjadi to’o (bagi saya dan ketiga saudari saya), dan dua perempuan yang memiliki anak masing-masing enam dan empat. Jadi, semua anak-anak dari ibu dan kedua saudarinya itu memiliki to’oyang sama, yaitu to’o Lius LETIK. Demikian pula, mama dan ketiga saudara saudarinya memiliki to’o pada marga DETHAN karena ibu mereka berasal dari marga itu.
Tentu saja tidak semua orang bermarga Dethan serta merta menjadi to’ok bagi mama dan saudara-saudarinya. Seperti juga, tidak semua marga Letik akan menjadi to’ok bagi saya dan ketiga saudari saya. Memang semua lelaki dari turunan atau saudara-saudara ibundanya mama saya dapat menjadi to’ok. Namun, ada istilah to’o huk (huk =pohon),yaitu saudara kandung dari pihak ibu.
Dalam hal apabila pihak ibu tidak memiliki saudara laki-laki, maka to’ok dapat diberikan kepada saudara lelaki dari pihak keluarga jauh, misalnya keturunan lelaki dari saudara ayah atau bahkan kakek. Bagaimana kalau dari saudara jauh ini juga tidak ada keturunan laki-laki? Bisa juga diberikan kepada pihak lainnya, asalkan dari marga ibu. Kerap terjadi, to’ok juga diberikan kepada orang lain di luar yang dijelaskan di atas, apabila dalam sejarahnya orang itu pernah berperan sangat penting dalam kehidupan yang bersangkutan (orang yang meninggal atau yang akan menikah itu) sehingga disepakati oleh keluarga ibu untuk diberikan kepadanya.
Prinsipnya to’ok diberikan karena diandaikan memiliki peran dan fungsi yang amat penting. Itulah sebabnya, di zaman modern ini, tradisi to’ok mulai kurang dihargai lantaran sebagian orang merasa sang to’o tidak pernah lagi berperan apa-apa. Bahkan, sejumlah orang Rote perantauan tidak mengenal to’o mereka. Tentu saja, gejala ini sangat disayangkan. Pandangan yang melunturkan “tradisi to’ok” sangat menyesatkan. Sebab, itu bisa diartikan sebagai “kacang lupa kulit,” atau buah yang mengingkari pohonnya, atau aliran air yang menyangkali sumbernya.
Kami pun menuju rumah to’o bernama Fredy Dethan, berjarak sekitar 3 kilometer dari rumah mama. Meski sudah siap, di rumah to’ok nanti masih harus dibicarakan karena kami akan mendengar permintaan (tuntutan) to’okdari yang bersangkutan. Belum tentu yang sudah kami persiapkan akan diterima. Kelihaian “lobby” dari juru bicara diperlukan juga.
Setelah melalui diskusi yang cukup alot, akhirnya urusan “jumlah dan jenis bayaran” disetujui oleh to’o. Sebuah cincin (yang merupakan salah satu bagian dari pemberian to’ok dari kami anak-anak mama) dikenakan istri saya ke jari manis to’ok. Kemudian mama diajak ke belakang (kamar) oleh keluarga to’o-nya, dan ternyata ketika keluar ia telah dikenakan kain sarung, kebaya, dan sendal baru oleh pihak to’ok.
Ketika selesai dan berpamitan, ternyata kami diberikan setengah bagian dari seekor babi besar lainnya yang dipotong khusus untuk itu. Bagian ini disebut babalak (balasan atau disebut juga natafak sebagai tanda bahwa to’ok telah diterima). Tentu, di rumah kami “berpesta” lagi.
Demikianlah, saya dan keluarga mendapatkan kesempatan berharga mengikuti acara adat “pembayaran” to’ok dari mama. Meski sederhana, namun mengandung makna sosio-kultural yang kaya filosofi. Sebuah kearifan lokal untuk merayakan kehidupan, mensyukuri kehadiran ibu sebagai sumber hidup, dan mamateraikan asal usul kehidupan manusia (Rote).
Sahabat Kompasiana, semoga bermanfaat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H