Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Radikalisme Sukses Kandaskan Globalisme, Bagaimana Nasib Indonesia?

21 Desember 2016   17:42 Diperbarui: 21 Desember 2016   18:24 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya ingin menutup tulisan ini dengan menegaskan kembali sejumlah gejala yang menggambarkan bentuk respons masyarakat. Tanpa perlu menyebut satu persatu, sejumlah tokoh nasional telah menyuarakan perlunya ketegasan pemerintah untuk mengatasi kelompok-kelompok radikal. Tidak kurang dari pimpinan NU, bahkan Banser NU sendiri dengan tegas meminta pemerintah bersikap lebih tegas membubarkan. Tuntutan untuk memperkuat dan mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila, bahkan memasukkannya ke kurikulum pendidikan nasional merupakan bentuk respons lain yang memiliki motif setara.

Pembubaran kebaktian KKR Natal di Bandung, peledakan bom di gereja oikumene di Samarinda yang menelan korban balita Intan Marbun, pemboman Vihara, penggorokan siswa SD di Sabu NTT, sweeping atribut-atribut natal, dan sejumlah aksi kekerasan lain yang kerap juga terkesan difasilitasi pengawalan aparat merupakan contoh betapa virus itu sudah menjalar cukup dalam hingga ke organ negara. Kemampuan intelejen dan Densus 88 yang berhasil menggagalkan rencana teror bom, antara lain yang hendak menyerang istana, dan juga dipersiapkan menciptakan kekacauan di momen perayaan Natal dan akhir tahun 2016. Namun, prinsipnya, upaya bom dan teror itu sudah nyata seperti terjadi di Eropa antara November dan Desember 2016 ini. Beruntungnya, kepolisian kita lebih cermat dan cerdas mengantisipasi sehingga berhasil menggagalkannya. Dari berbagai gejala itu sesungguhnya potensi ancaman di Indonesia jauh lebih serius dan tajam dibanding di Eropa. Bedanya, di Eropa dan Amerika lebih peka sehingga langsung memberikan respons tegas, meski cenderung kembali ke era ketertutupan. Mungkin sifatnya sementara, layaknya terapi menghentikan peredaran darah agar mencegah menjalarnya virus ke organ-organ vital tubuh. Karenanya memang diperlukan  untuk sesaat.

Gejala menguatnya milisi lokal sebagai tandingan menghadapi ormas garis keras Muslim dapat dilihat sebagai bentuk ketidakpuasan masyarakat atas sikap negara yang terkesan memberi keleluasan bagi mereka. Brigadi Meo di NTT yang menghadang dan mengembalikan sejumlah orang bergamis mirip FPI (9/12/2016) merupakan contoh. Sebelumnya, sudah ada Brigadi Manguni di Manado bersama sejumlah ormas lokal sejenis di Sulawesi Utara melakukan hal yang sama (menuntut pembubaran FPI) dan menolak kehadirannya di wilayah Sulut. Kelompok masyarakat dayak sendiri pada tahun-tahun sebelumnya telah menunjukkan sikap tegas menolak FPI. Sejumlah pemerintah daerah dan ormas lokal di daratan Jawa pun menolak FPI dan ormas garis keras keras.  

Apakah itu belum cukup menarik perhatian pemerintah? Saya sendiri yakin pemerintah sedang mempersiapkan sebuah “strategi holistik” untuk mengatasi epidemi kekerasan yang mengancam kehidupan berbangsa ini secara lebih tersistem. Meniru cara Eropa dan Amerika, pemerintah mungkin perlu membuat “terapi sesaat” dengan mengabaikan asas demokrasi dan menggunakan “kewenangan memaksa” negara dalam menghadapi kaum intoleran. Prinsipnya, negara harus memastikan diri menyikapi secara tegas, tepat dan cepat. Sebab, bila tidak, bukan tidak mungkin kelompok-kelompok milisi lokal akan tumbuh subur mengimbangi, lalu makin serius mengkonsolidasi diri guna melindungi wilayahnya dari penyebaran intoleransi dan kekerasan. Bila terjadi, pertanda telah hilangnya kepercayaan pada kemampuan negara melakukan fungsi dan peran menjaga dan menjamin keamanan dan ketertiban. Dan, itu berarti nation state dalam keadaan kritis, NKRI terancam bubar.

Bagaimana pun, tekad kita bersama, Rakyat dan Pemerintah, untuk selamatkan NKRI dari virus global berbahaya ini. Sebelum terlambat!

Salam Kompasiana!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun