Thomas Hobbes (1588-1679), filsuf politik asal Inggris memetaforakan negara dengan makhluk kuat dan jahat, yaitu leviatan (leviathan). Hobbes berangkat dari asumsi, bahwa manusia pada dasarnya jahat, yang sangat populer dengan ungkapan homo homini lupus atau manusia menjadi serigala bagi sesamanya. Ketika menciptakan negara, individu-individu bersepakat menyerahkan segala kebebasannya kepada negara, makluk super jahat itu supaya bisa mengatasi kejahatan-kejatahan individual atau kelompok, demi menghadirkan ketertiban dan memastikan terkelolanya kepentingan bersama.
Meski kita tidak sepakat dengan Hobbes, baik dalam asumsi dasar bernegaranya, maupun metafora makluk jahatnya, Hobbes benar dalam satu hal, yaitu bahwa negara harus mendominasi massa dalam hal menegakkan hukum. Hukum sebagai instrumen penata kehidupan bersama menjamin terciptanya tertib sosial, juga menunjang tatanan kehidupan bersama sebagai komunitas satu bangsa melampaui komunitas-komunitas primordial. Hukum adalah “bahasa negara” yang hadir untuk mengatasi (melampaui) kepentingan primordial yang terkurung dalam tatanan partikulernya sebagai ruang private.
Negara Indonesia sejak perumusannya telah memilih menjadi negara hukum (rechtsstaat). Artinya, pengelolaan negara tidak didasarkan atas kekuasaan semata, melainkan setiap tindakan negara didasarkan pada hukum dan dipertanggungjawabkan secara hukum. Pun, setiap warga negara dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk pada peraturan-peraturan hukum yang diberlakukan oleh negara. Landasan “negara hukum” tersebut seharusnya menjadi “kaca mata” untuk membaca dan memahami semua dinamika yang terjadi dalam kehidupan bernegara.
Sementara kasus Ahok (Basuki Tjahja Purnama) sedang dalam proses persidangan atas tuduhan penistaan agama Islam, sekelompok masyarakat dengan leluasa membubarkan acara kebaktian Natal di gedung Sabuga, Bandung pada 6 Desember 2016. Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, dalam hal ini sebagai representasi negara, mengatakan menyesalkan kejadian itu dan berharap kebhinekaan tidak terganggu. Bahkan, sebelumnya Heryawan menyebutnya sebagai masalah kecil. “Itu kan kejadian kecil yang tidak mengganggu apa-apa saya kira,” demikian Heryawan di Kompleks Istana Kepresidenan (7/12) seperti dikutip dari CNN di sini. Ah, saya bayangkan seandainya hal yang sama juga disampaikan dalam kasus Ahok, “ah itu perkara kecil yang tidak mengganggu apa-apa, semoga tidak menggangu kebhinekaan.”
Bila kedua kasus itu digelar untuk diperbandingkan, manakah yang memenuhi unsur pelecehan dan penistaan? Apakah hanya kasus pidato Ahok? Karena kasus itu sudah dalam proses persidangan, kita tinggal menunggu hasilnya sehingga tidak perlu dibahas di sini. Aparat hukum telah melakukan tugasnya. Apakah menghentikan kegiatan agama, yang akan dipimpin oleh seorang ulama besar (pendeta Stephen Tong) bukan tergolong penghinaan ulama, juga bukan penistaan agama? Apakah kegiatan yang merupakan salah satu momen terpenting keagamaan (Kristen dan Katolik), yaitu Natal sebagai perayaan kelahiran Tuhan Yesus Kristus, dihentikan dan dipaksa bubar sementara sedang berlangsung itu bukan tergolong penghinaan dan pelanggaran HAM? Bagaimana kalau hal yang sama terjadi pada hari raya agama dari kelompok yang membubarkan itu ?
Pertanyaan dari sudut pandang lain juga patut diajukan. Layakkah sebuah Ormas (dalam hal ini PAS) membubarkan kegiatan keagamaan dari kelompok agama lain? Atas dasar (hukum) apa Ormas memiliki kewenangan itu? Betapa pun, misalkan kegiatan keagamaan itu tidak memiliki surat ijin, patutkah Ormas agama lain membubarkannya? Apakah PAS (dan Ormas sejenis) telah diberi kewenangan mengecek izin kegiatan agama-agama lain, dan bila tidak ada langsung membubarkannya? Lebih esensial lagi, dimana aturan yang mengharuskan kegiataan keagamaan meminta ijin, baik kepada negara, apalagi Ormas lain?
Rentetan pertanyaan di atas sesungguhnya terkait satu pertanyaan pokok menyangkut esensi kehidupan bernegara: di mana posisi dan peran negara seharusnya?
Negara (aparat) ada bukan sekadar jadi penonton atau wasit yang memediasi kelompok masyarakat yang bertikai. Bayangkan! Sekelompok masyarakat diganggu, bahkan diberhentikan kegiatan keagamaannya oleh kelompok lain, sementara aparat (yang mewakili negara) berada di TKP hanya menonton dan memediasi dialog? Bahkan, terkesan mendukung aksi teror tersebut? Itu bentuk nyata penciutan fungsi negara. Kehadiran aparat seharusnya untuk menjamin keamanan dan kenyamanan warga yang beribadat kepada Tuhan-nya, dari segala gangguan dan teror kelompok lain. Bukankah hak beribadat itu dijamin Pasal 29 UUD’45?
Negara memiliki legitimasi untuk mengelola kehidupan bersama. Dalam hal ini, negara punya kewenangan memaksa untuk memastikan “kebandelan-kebandelan primordial” ditertibkan demi menjamin terkelolanya ruang publik secara berkeadilan dan berkeadaban. Hukum menjadi satu-satunya sarana untuk menjamin dinamika dan kesetaraan dalam hubungan horisontal antara kelompok-kelompok yang berbeda, maupun hubungan vertikal dengan negara.
Atas dasar itu, negara tidak boleh menyerahkan fungsinya, entah sengaja ataupun tidak, kepada lembaga non negara, misalnya Ormas, untuk mengatur kelompok lainnya dalam masyarakat. Negara juga tidak boleh takluk pada satu kelompok masyarakat dan membiarkan diri didikte oleh kekuatan non negara. Ketika hal itu terjadi maka negara telah melakukan ketidakadilan terhadap kelompok masyarakat lain. Bahkan, pada level yang ekstrim negara telah kehilangan legitimasi sebab ia menempatkan diri menjadi bagian dari kelompok penekan.
Siapa yang berwewenang mengatakan sebuah kegiatan di tingkat massa itu legal dan tak legal? Berijin dan tak berijin? Memenuhi syarat administratif dan tidak? Sesuai aturan dan tidak? Bukankah seharusnya itu fungsi dan peran negara? Dan, meski itu kewenangan penuh negara, haruslah memiliki pendasaran hukum yang kuat dan prosedur baku yang diketahui umum.
Dalam kasus Ahok, mislnya, gagasan memindahkan tempat gelar perkara karena alasan keamanan merupakan bukti lain tindakan yang menciutkan fungsi negara. Mendasarkan ketakutan gejolak tekanan massa sebagai pertimbangan pokok untuk menentukan tempat gelar perkara tidak lain merupakan bentuk pelecehan fungsi negara. Kalau perkara dilakukan dengan dasar ketakutan seperti itu, maka hasil akhir dari gelar perkara sudah dapat diduga, yaitu menjawab tuntutan kelompok penekan.
Kalau demikian, apa gunanya persidangan pengadilan? Bukankah hasilnya sudah ditentukan? Mengapa negara dipaksa tidak mengintervensi perkara, sementara kelompok penekan bebas mengintervensinya dengan cara menggalangan massa untuk mengawal perkara? Bukankah mengawal perkara itu bentuk ketidakpercayaan terhadap fungsi negara, atau bahkan bentuk teror terhadap negara, dalam hal ini aparat hukum?
Negara tidak saja memiliki kewenangan sah, tetapi juga dilengkapi sarana, prasarana dan berbagai fasilitas canggh untuk mengamankan dan mengelola ruang publik. Menjamin tegaknya hukum sebagai alat penata keteraturan kehidupan bersama. Itulah posisi dan fungsi negara. Bila negara abai melakukan fungsi dan peran itu, lalu untuk apa ada negara?
Maka, kita bersyukur bahwa sikap Walikota Bandung, Ridwan Kamil dalam kasus pembubaran KKR Natal di Bandung (6/12/2016) dapat dijadikan contoh sukses mengangkat wibawa negara. Seperti dirilis news.detik.com, melalui rapat bersama dengan berbagai kelompok kepentingan (9/12/2016), diputuskan dan disepakati antara lain:
- Kegiatan ibadat keagamaan TIDAK MEMERLUKAN IJIN FORMAL dari lembaga negara, cukup pemberitahuan kepada kepolisian;
- Kegiatan ibadat keagamaan DIPERBOLEHKAN dilakukan di gedung umum selama sifatnya insidentil. SKB 2 Menteri 2006 hanyalah tata cara untuk pengurusan ijin pendirian bangunan Ibadah Permanen/sementara;
- TIDAK BOLEH ada kelompok masyarakat sipil yang melakukan pembatasan, perintangan, unjuk rasa atau melakukan kegaduhan terhadap kegiatan ibadah keagamaan yang sudah legal karean melanggar KUHP Pasal 175 dan 176, dengan hukuman kurungan maksimal 1 tahun 4 bulan;
- Kehadiran secara fisik di ruangan peribadatan KKR oleh sekelompok warga yang tergabung dalam Ormas Pembela Ahli Sunah (PAS) di tanggal 6 Desember 2016, adalah PELANGGARAN HUKUM KUHP. Seburuk-buruknya situasi yang berhak melakukan pemberhentian kegiatan keagamaan dengan alasan hukum yang dibenarkan hanyalah APARAT NEGARA, bukan kelompok masyarakat sipil;
- Sesuai UU 17 Tahun 2013 tentang Keormasan, Ormas DILARANG menebarkan rasa permusuhan terhadap suku, agama, RAS, dan golongan. Karenanya Pemkot Bandung MEMBERI SANKSI kepada Ormas PAS dengan 2 tahap sanksi sesuai aturan: Tahap persuasif, dan Tahap Pelarangan Organisasi;
- Tahap Persuasif: dalam rentang waktu 7 hari, Pihak Ormas PAS diwajibkan memberikan surat permohonan maaf kepada penitia KKR dan menyatakan kepada pemkot Bandung akan mengikuti semua aturan perundang-undangan dalam berkegiatan sebagai Ormas di wilayah hukum Newgara Indonesia;
- Apabila Ormas PAS menolak memberikan surat pernyataan, maka Pemkot Bandung akan secara hukum diberi kewenangan oleh UU 17 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, akan memaklumatkan PELARANGAN berkegiatan di wilayah hukum Kota Bandung kepada Ormas PAS.
- Sesuai rekomendasi Komnas HAM, aspek dugaan pelanggaran hukum oleh Ormas PAS atas situasi ini agar dilakukan secepatnya dan sebaik-baiknya oleh pihak kepolisian.
- Meminta MUI, FKUB dan FSOI untuk mengintensifkan forum dialog antara kelompok umat beragama di Kota Bandung.
Penegakan hukum seperti yang dilakukan oleh Kang Emil di Bandung semoga diikuti penegakan di daerah lain. Terkait kasus apa pun, negara harus berdiri tegak dan menjadikan hukum sebagai panglima. Hukum, yang diturunkan dari ideologi negara yaitu Pancasila, dan bersumber dari konstitusi UUD’45. Siapa pun, kelompok mana pun, harus takluk dan ditaklukan pada hukum negara. Dan, sekali lagi, negara diberi kewenangan formal untuk memaksa setiap warga mentaati hukum negara. Hanya dengan cara itu, NKRI bisa lestari dan maju menjadi negara berkeadaban, meraih cita-cita berbangsa dan bernegara.
Salam Kompasiana!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI