Rangkaian perayaan hari Toleransi Internasional 2016 di Indonesia terasa istimewa dan sangat aktual. Lantaran suhu politik yang memanas berkenaan dengan kasus tuduhan penistaan agama oleh kelompok Muslim radikal kepada calon Gubernur petahana DKI 2017, Basuki Tjahaja Purnama. Meski telah ditangani Bareskrim Polri, namun kelompok ini terus menekan dengan mencari-cari alasan hingga cenderung mengarah ke tuntutan pelengseran Presiden. Pasca demo 411 yang berakhir rusuh, kelompok ini mengancam akan kembali mengarahkan massa untuk memaksakan kehendak. Tentu saja, ini menaikkan suhu politik, tetapi lebih dari itu mengancam kehidupan toleransi dan semangat kebhinekaan di Indonesia.
Kesadaran untuk mengembalikan suasana persaudaraan dan persatuan, sebagai layaknya karakter masyarakat Nusantara, 18 November 2016 sejumlah kelompok menggalang parade damai. Jajaran TNI dan Polri mengadakan kegiatan doa bersama untuk memohon terciptanya perdamaian dan keamanan. Demikian pula, di sejumlah tempat, dilakukan doa bersama, baik di kalangan Islam, Kristen, Katolik, Budha dan lainnya. Sehari setelah itu (19/11/16) diadakan Parade Kebhinekaan yang diikuti puluhan ribu dari berbagai agama dan etnis dengan mengenakan pakaian khas etnik maupun agama masing-masing.
Salatiga, Kota sejuk di Jawa Tengah, yang tahun 2015 oleh Setara Institute disebut menempati peringkat kedua Kota paling Toleran se-Indonesia, juga terlihat sejumlah acara, antara lain yang dilakukan oleh kelompok Gusdurian, dan Kita Famili Salatiga. Pada kesempatan ini saya ingin menulis tentang Kita Famili.
Kita Famili adalah akronim untuk Kita-Forum Agamawan Muda Lintas Iman, dibentuk oleh alumni program “Interacting Live In” yang diadakan pada awal 1-3 Juni 2016 di resor Laras Asri Salatiga. Jumlah alumni program ini 43 orang, meliputi ulama muda lintas agama yang berada di Salatiga dan sekitarnya. Sebut saja beberapa diantara mereka Moh.Hanif (Pesantren Edi Mancoro), Muhammad Akbar (Percik-Persemaian Cinta Kasih), Pdt.Esther H.Tulung, Bikuni Samodhana (Budha), Pdt.Suyono (GKJ), Mas Sukla (Hindu), Mbak Ati, Yuli, Ema (Komunitas Fathayyad), dari Penghayat Kepercayaan, dan lainnya.
Menurut Direktur DC-UIN, Dr.H.Zainudein,M.Af, jumlah alumni program lintas agama ini sudah mencapai 440-an. DC secara rutin terus mengupayakan penyelenggaraan Interacting Live In di daerah-daerah lain di seluruh Indonesia, yang diikuti program pembentukan paguyuban, pemberdayaan alumni, Monitoring Evaluation (Monev), dan lainnya. Pada prinsipnya rangkaian program tersebut ditujukan mendorong berbagai upaya untuk merawat dan menghidupi kebinekaan, toleransi, pluralitas agar menciptakan perdamaian di Indonesia. Kegiatan pemberdayaan terbaru diadakan di Bandung 22-28 Oktober, diikuti oleh 23 orang dari paguyuban alumni Papua, Salatiga, Lampung, Tulung Agung, Yogya, Bandung, dsb. Sementara, kegiatan Monev dilakukan setiap akhir tahun dimana DC-UIN mengunjungi semua paguyuban alumni di berbagai daerah untuk memantau program dan aktivitas mereka, mendorong peningkatan kapasitas jejaring kerja agar memempercepat “daya tular” misi kebhinekaan, pluralisme dan toleransi.
Pelaksanaan Monev ke Kita Famili Salatiga boleh dikatakan istimewa sebab menjadi paguyuban pertama yang mendapatkan giliran dikunjungi. Dilaksanakan 19 November 2016 dihadiri 30-an alumni, bertempat di Pondok Pesantren Edi Muncoro. Keistimewaan lainnya karena dari DC-UIN Kalijaga datang full tim, yaitu Direktur Pasca Sarjana UIN Dr.H.Ahmd Baidhowi, Direktur DC, Dr.H.Zainudein,M.Af., beserta anggota tim lain yaitu Dr.H.Agus M.Najieb, Dr.Mahmud Arief,M.Ag., Hj.Fatma Amilia, M.Ag, dan Dr.Radino el loco. Berbeda dengan pelaksanaan Monev ke daerah lain dimana DC-UIN hanya akan mengirim 1 atau 2 orang. Pertimbangan efisiensi dan efektifitas tentu menjadi yang utama. Tetapi jelas menggambarkan betapa DC sangat serius dengan program interfaith dialogue tersebut.
Acara diawali dengan ucapan selamat datang oleh Mahmud Akbar mewakili alumni. Lalu dilanjutkan penyampaian informasi program dan kegiatan oleh ketua Paguyuban Kita Famili, Gus Hanif, yang juga merupakan pimpinan Pondok Pesantren Edi Muncoro. Karena sejumlah tamu baru, termasuk saya, belum mengenal Kita Famili maka Gus Hanif mengawali dengan memperkenalkan paguyuban itu. Menurutnya, Kita Famili dibentuk pasca program Interacting Live Indi Salatiga.
- Berpartisipasi dalam program Buka Bersama waktu bulan Puasa, Juni 2016 yang diselenggarakan dan difasilitasi oleh Gereja Katolik St.Paulus Miki Salatiga, dengan didahului pembagian takjil di depan Gereja..
- Perkunjungan ke Vihara Mangga Dhamma, Salatiga
- Berpartisipasi dalam pembukaan Bazar Sembako Murah waktu Ramadhan di BMT Syariah
- Menghadiri pergelaran tradisi Pindapata, yaitu prosesi pemberian bekal bagi para Biksu dan Bikhuni di Klenteng Hok Tek Bio Salatiga, Agustus 2016 (kegiatan ini sudah pernah ditulis oleh Kier’s Bambang Setyawan awal Agustus 2016) http://www.kompasiana.com/bamset2014/tradisi-berbagi-umat-budha-di-salatiga_57a1d22c2523bde850700645
- Mengirimkan 3 alumni mengikuti program Penguatan Alumni selama 6 hari di Bandung 22-28 Oktober 2016
- Menghadiri HUT Gereja Katolik St.Paulus Miki ke-77, 23 Oktober yang antara lain menggelar acara wayang kulit.
- Turut Mendukung perayaan Hari Santri 2016 di Salatiga, 16 Oktober 2016
- Berpartisipasi dalamInternational Association of Theravda Budhist Universities (ATBU) Conferenceyang diadakan di Magelang awal November 2016
- Interfaith Youth Camp yang direncanakan diadakan 26-27 November 216.
Menanggapi “laporan” kegiatan Kita Famili, DC UIN mengapresiasi sembil memberika sejumlah masukan yang diharapkan bisa berkembang. Antara lain, kerjasama dengan Pemkot, kampus (misalnya UKSW dan STAIN), juga lembaga-lembaga keumatan. Menurut DC, Kita Famili termasuk satu diantara “hanya” 3-5 paguyuban alumni yang dikategorikan aktif. Dalam babak dialog, DC sangat positif mendukung program Youth Interfaith Camp. Bahkan, Direktur Pscasarjana UIN secara spontan menyatakan akan membantu sejumlah pendanaan.
Dalam Dialog, Pak Radino yang nampak sangat akrab dengan alumni sempat membuat “heboh” peserta, ketika mengucapkan (pronounce) “youth” dengan yath. Sontak sejumlah peserta tertawa dan mengoreksi ucapannya dengan yuth. Tentu saja beliau sengaja (salah ucap), sebab beliau sendiri merupakan Sarjana Sastra Inggris. Lantaran baru pulang Umroh, beliau beralasan, “maklum baru pulang Umroh jadi lidah masih sulit beradabtasi lagi dengan bahasa aneh, bahasa kafir.” Peserta makin riuh dan riang menanggapinya. Bayangkan, kalau ucapan beliau itu dalam konteks yang tidak akrab, masih penuh stigma dan curiga, bisa-bisa beliau dituduh lakukan penghinaan dan pelecehan. Namun begitulah gambaran keakraban dan penuh persaudaraan diantara anak-anak bangsa yang sikap dan pemikirannya telah terbentuk dalam semangat kebhinekaan.
Dari mana sumber pembiayaan untuk kegiatan-kegiatan Kita Famili? Untuk Penguatan Alumni tentu saja sepenuhnya dibiayai DC UIN (dan M21). Juga, kegiatan Monev di Salatiga masih di-support oleh DC UIN. Sementara sumber biaya untuk kegiatan lainnya berasal dari kantong para alumni sendiri beserta para simpatisan. Jadi, menggambarkan semangat tinggi dan keseriusan para ulama muda Salatiga mengembangkan dan merekatkan persatuan kesatuan, merawat kebinekaan serta menumbuhkan sikap toleransi antar pemeluk agama.
Kegiatan Youth Camp 2016
Interfaith Youth Camp dirancang oleh Kita Famili, yang rencana dilaksanakan di Desa Takelan. Desa ini terletak di ketinggian sekitar 1000-an mdpl merupakan perkampungan terakhir sekaligus base camp untuk pendakian puncak Merbabu. Desa ini dipilih karena beberapa alasan. Antara lain, penduduk desa relatif plural dalam keyakinan, yaitu terdapat penganut agama Budha, Islam, Kristen, Katolik, maupun Penghayat Kepercayaan. Meski plural, masyarakatnya hidup dalam kedamaian dengan sikap toleransi yang tinggi.
Peserta diharapkan berjumlah 40 pemuda, berasal dari organisasi keagamaan yang berada di Salatiga dan sekitarnya. Antara lain HMI, GMKI, PMKRI, PMII, Pemuda Masjid, Pemuda Gereja, Penghayat Kepercayaan, dsb.
Menurut koordinator satgas, ibu Kristin (Persemaian Cinta Kasih-PERCIK) bentuk-bentuk aktivitas antara lain:
1. Ceramah tentang konflik, yang direncanakan dibawakan oleh Polres Salatiga
2. Mitigasi Bencana
3. Meditasi dari Budha
4. Pelayanan Kesehatan untuk Masyarakat
5. Outbond Games untuk menciptakan sensitifitas dan sikap toleransi dalam kebinekaan
Lewat Youth Interfaith Camp, dan berbagai kegiatan lainnya, Kita Famili secara aktif dan kreatif mengkonsolidasi diri dan para pemuda lintas agama dalam aktivitas-aktivitas yang ditujukan untuk merekatkan persatuan dan kesatuan, menghormati perbedaan dan menghidupi kebinekaan. Bukankah berbeda itu indah?
Semoga, kegiatan lintas iman ini terus berkembang, sehingga “status” Salatiga sebagai kota toleran se Indonesia dapat dipertahankan, bahkan bisa ditingkatkan. Tentu saja, kontribusi Kita Famili dalam menciptakan toleransi dan kesadaran kebhinekaan masih kecil, namun terlihat sangat prospektif di masa depan.
Itulah sepenggal kisah dari kota toleran dan sejuk Salatiga, kota kecil di kaki Gunung Merbabu, dalam rangka hari Toleransi Internasional (16 November), dan untuk Indonesia yang damai.
Salam damai dan salam Bhineka Tunggal Ika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H