Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Konsolidasi Politik Jokowi untuk Apa dan Siapa?

11 November 2016   15:48 Diperbarui: 11 November 2016   16:13 1203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo berbincang bersama sejumlah pimpinan ormas Islam di Istana Merdeka, Jakarta, 9 November 2016. TEMPO/Subekti

Menjelang dan pasca unjuk rasa kelompok Islam 4 November 2016 yang berakhir nyaris rusuh,Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan serangkaian safari politik. Dimulai dengan kunjungan ke Jenderal Prabowo Subianto, lalu mengundang organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu NU dan Muhammadiyah, juga MUI ke istana. Pasca unjuk rasa yang melibatkan ratusan ribu umat itu,  safari dilanjutkan dengan  pimpinan pondok pesantren, ke kantor PBNU, kantor PP.Muhammadiyah, pertemuan dengan tokoh-tokoh dan ormas Islam di istana, lalu menyambangi markas POLRI, TNI, dan KOPASUS (Komando Pasukan Khusus), dan sebagainya. Di markas Kopasus (10/11) arahan Presiden antara lain mengatakan, “ini adalah pasukan cadangan yang bisa saya gerakkan sebagai panglima tertinggi lewat Pangab, lewat Panglima TNI untuk keperluan khusus.” (Sumber

Apa yang dilakukan oleh Presiden Jokowi itu dikenal sebagai konsolidasi politik. Politik di sini dipahami dari perspektif filsafat politik Hannah Arendt, yaitu sebuah “ruang publik berkeadaban,” yang dengan tegas dibedakan dari “ruang privat” yang cirinya apolitis bermuatan ragam gaya permainan kuasa, relasi dominatif, serta kecenderungan homogenitas. Maka, politik adalah kondisi “pasca private” dimana semua ciri keprivatan dan partikularitas  ditanggalkan dan ditransformasi ke ruang politik sebagai taman keberagaman.  Bukan ditinggalkan, melainkan dikalibrasi untuk “membahasakan” kekhasan private di ruang bersama.

Presiden Joko Widodo berbincang bersama sejumlah pimpinan ormas Islam di Istana Merdeka, Jakarta, 9 November 2016. TEMPO/Subekti
Presiden Joko Widodo berbincang bersama sejumlah pimpinan ormas Islam di Istana Merdeka, Jakarta, 9 November 2016. TEMPO/Subekti
Pertanyaan kritis yang harus diajukan tentu, adalah konsolidasi politik yang dilakukan Presiden Jokowi itu untuk apa? Juga, untuk siapa?

Frase yang populer di arena politik praktis Indonesia adalah “seni mengelola kemungkinan.” Dalam memainkan seni berjenis kelamin politik ini terdapat dinamika amat tinggi, yang kerap serba tak terduga. Mengapa dinamikanya tinggi? Bayangkanlah sebuah sungai besar (nasionalisme) dialiri ribuan sungai-sungai kecil serta banyak sumber mata air tertumpah di dalamnya. Kekuatan arus, riak-riak dan gelombang nasionalisme macam apa yang bisa dihasilkannya? 

Itulah seharusnya ciri arus dan kekuatan gelombang nasionalisme kita. Dengan metafora lain lagi, ruang publik yang disebut Indonesia itu merupakan taman keragaman bagi tumbuh kembangnya ribuan jenis tanaman, dengan ukuran dan  bentuk bervariasi tinggi, hamparan bunga berwarna warni dikerumuni laksa spesies penghisap sari yang mengeksploitasi tetapi juga penyerbuk.  Betapa kuat arus dan gelombang nasionalisme kita, betapa indah dan molek taman keragaman NKRI kita.

Tetapi,  tidak mudah mengelola dan merawat taman keragaman agar indah dan molek, tanpa ditumbuhi semak belukar (gulma), benalu, dan tanaman pengganggu lainnya. Juga, agar setiap tanaman itu tidak saling mengganggu, dan saling menghambat, melainkan masing-masing bertumbuh maksimal dan  memperlihatkan keunikan dan keindahannya. Tak gampang mengkanalisasi tumpahan sumber air berlimpah dan riak-riak arus agar benar-benar mengalir deras dan cepat di jalur nasionalisme kita serta bermuara ke samudera tujuan nasional atau  cita-cita kemerdekaan.  Kekeliruan mengelola dinamika tinggi ini berpotensi bencana sebagai air bah dan banjir bandang yang sewaku-waktu merubuhkan bangunan kebangsaan serta menghancur-leburkan pilar-pilarnya.

Konsolidasi politik semata-mata diletakkan dalam perspektif mengelola taman keragaman dan mengkanalisasi aliran deras di atas. Jadi, bukan untuk mengelola kekuasaan dalam rangka penaklukan, adu kuat, mendominasi, dan sejenisnya. Jauh dari tendensi apolitis macam itu, politik justru merawat kebersamaan dengan bahasa negara (publik).   

Kalau politik disebut sebagai seni mengelola kemungkinan, itu sesungguhnya  menjelaskan posisi pemimpin (Presiden) di antara dua kutub tegangan yang tarik menarik. Ia harus mampu mengelolanya sedemikian agar menciptakan keseimbangan.  Dua kutub itu adalah tarik-menarik antara kekuatan negara dan kekuataan massa (civil society). Bila tarikan kutub negara (atau pemerintah) terlalu kuat  maka pemerintahan yang ditampilkan pasti otoritarian. Tetapi sebaliknya, bila massa  yang kuat maka yang terjadi adalah anarkisme. Pemerintahan ideal bergerak lincah dan cerdas mengelola keseimbangan antara kekuatan negara dan kekuatan massa. Sebenarnya, itulah yang dimaksud dengan demokrasi dan ruang publik.

Awal 1970-an, di era Orde Baru (Orba) konsolidasi politik Presiden Soeharto digenjot habis. Panggung politik Orba dilatari “bangkai dan bau darah korban G30-S” membungkus Soeharto dengan semacam kharisma ketakutan massa. Fungsi panglima tertinggi dimainkan efektif sehingga ia sepenuhnya mengontrol-kendalikan TNI dan Polri. Partai-partai politik (parpol) dibonsai menjadi hanya 3 (tepatnya, dalam sebutan Soeharto hanya dua parpol dan Sekretariat Bersama Golongan Kekaryaan). Itu pun, dua yang disebut parpol itu seperti diikat dengan rantai kendali yang hanya bergerak menurut kemauan penguasa. 

 Meski satunya yang esensinya adalah  “parpol plus plus” bergerak bebas, tetapi remote control-nya digenggaman Dewan Pembina, yaitu Presiden.  Setelah peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) 1974, konsolidasi politik Soeharto makin gencar. Seruan back to kampus mengamputasi atau mengkanalisasi gerakan massa mahasiswa dan kaum intelektual sebagai kekuatan utama penggerak parlemen jalanan ke kandang. Gerak massa jadi beku.

Konsolidasi politik Orba terbilang sangat sukses tetapi bersifat apolitis. Ia semata-mata hanyalah pelebaran dari ruang private penguasa. Bahasa kekuasaan dan penaklukan sangat kental. Tentara, Kepolisian, Legislatif, Yudikatif, bahkan pengusaha semuanya didalam genggaman penguasa. Tidak ada yang berbicara atau bergerak diluar kehendak penguasa. Soeharto secara cemerlang memperkuat posisi negara. Tetapi di sisi lain mengamputasi sama sekali civil society. Penyeragaman kosa kata politik dikawal dan diawasi ketat. Sampai-sampai ada gurauan, “bila Soeharto masuk dalam sebuah ruang pertemuan dan terdengar seseorang batuk, akan diinvestigasi apakah batuknya itu politis atau memang murni gangguan kesehatan.” 

Kalau politis (dalam pandangan penguasa), akan diamankan. Frase “diamankan” tentu bersifat sarkastis, yang artinya justru membuat tidak aman. “Batuk” hanyalah metafora untuk menjelaskan akibat yang timbul bila muncul dinamika diluar kontrol penguasa. Soeharto jelas menciptakan sistem pemerintahan otoriter/totaliter yang merepresentasi penaklukan total negara atas civil society.

Maka, tidak heran kalau akhirnya memuncak pada gerakan massa besar-besaran tahun 1998 yang berhasil memaksa Soeharto mengundurkan diri. Endapan-endapan emosi massa yang berpencaran dan tercabik-cabik menggumpal lalu meledak dan melahirkan rezim baru, yaitu orde reformasi. Euforia reformasi tumpah ruah dan hampir menenggelamkan negara. Tarik menarik kepentingan, teriakan riuh dan rusuh membaur. Tokoh dan massa tidak beda, politisi dan korupsi membaur, menyebar ke seluruh organ birokrasi dan lembaga negara. Kebebasan membuncah kebablasan dan liar. Negara banyak kali kehilangan kendali, juga absen dalam banyak sektor kehidupan masyarakat, sementara para elit banyak yang hanya sibuk memperkaya diri. Tegangan Civil Society menjadi terlalu kuat hingga mengatasi negara, menciptakan ketidakseimbangan baru dari totalitarianisme (di era Orba) ke Anarkisme. Sebuah kegagalan lagi membangun ruang publik berkeadaban.

Di era kepemimpinan Soesilo Bambang Yudhoyon (SBY), yang muncul sebagai Presiden pertama pilihan rakyat dengan dukungan pemilih 60-an% (dipilih hampir 70 juta pemilih), sebenarnya penguasa mengantongi modal politik yang amat kuat untuk memperbesar kekuatan state. Namun, SBY terkesan tak mampu mengelola modal potensil (di tingkat massa) tersebut, juga gagal mengkonsolidasi kekuatan-kekuatan politik di tingkat elit. Koalisi pemerintah yang dibangunya compang camping, anggotanya tak kompak dan saling sikut mempreteli. Tidak heran bila dalam kepemimpinannya ia sempat disebut “auto pilot,” seolah negara tidak ada pemimpin. Negara terlihat mati lemas dihadapan euforia kekuatan massa yang mengganas.

Gelombang eforia ini masih menghempas dan menebas hingga pilpres 2014.  Gelombang ini berhasil mempromosikan sejumlah elit demonstran jalanan 1998 ke pos-pos kekuasaan di era reformasi. Namun, sebagai produk jalanan, meski mereka sudah duduk di kursi-kursi empuk kekuasaan, dengan tata krama dan landasan hukum publik yang tersedia, mereka masih cenderung berperilaku sebagai “orang jalanan” yang terbiasa berteriak tanpa aturan. Demokrasi berkembang menjadi kerumunan liar yang saling meneriaki dan memaki. Politisi kehilangan orientasi dan tidak tahu apa yang harus dikerjakan, lalu ikut membuat gaduh menggangu eksekutif yang sibuk bekerja. Kelompok-kelompok masyarakat bangkit mendesakkan kepentingan primordialnya ke ruang publik, saling bersaing dan menghabisi. 

Orang dengan mudahnya merendahkan martabat pimpinan negara, melecehkan simbol-simbol negara, menganggap diri paling mampu tanpa bukti rekam jejak yang dirujuk, dan sebagainya. Negara kehilangan daya dan membiarkan massa seenaknya menghujat dan melecehkan. Anarkisme sejati bertumbuh subur.

Gelombang besar unjuk rasa kelompok Islam pada 4 November 2016 yang tercatat sebagai salah satu pengarahan massa terbesar pasca reformasi 1998 merupakan campur aduk para ulama, umat dan masyarakat awam, profesor, mahasiswa, Ormas, anggota DPR, dan mungkin PNS, juga elit politik yang disinyalir ikut bermain di latar depan maupun belakang. Emosi massa juga campur aduk antara murni memperjuangkan martabat agama, niat mendiskualifikasi salah satu paslon (tepatnya Basuki Tjahaja Purnama), mengganggu posisi dan kepemimpinan Presiden Jokowi, bahkan sampai kemungkinan motif ideologis yang berpotensi mengancam fondasi kehidupan berbangsa.  Ini salah satu puncak dari “struktur” keliaran massa yang mengatasi wibawa negara.

Konsolidasi politik selalu menghasilkan kekuatan dahsyat. Sumber-sumber energi potensil di level massa dan kekuatan politik di tingkat elit ditertibkan dan dikonsolidasi dalam satu kekuatan kontrol, yaitu Presiden. Ini modal yang sangat besar. Seperti tongkat ajaib di tangan pesulap, ia dapat membuat segala sesuatu di sekitarnya bercahaya dan penuh tawa, tetapi juga bisa menjadikannya hitam pekat dan penuh duka. Idealnya, modal politik besar itu disenergikan untuk membangun dan  menggerakkan bangsa melaju kencang meraih tujuan-tujuan ideal kehidupan bernegara atau tujuan nasional. Intinya, agar menjawab cita-cita proklamasi sebagai sekadar jembatan emas bagi tercapainya kehidupan yang adil, makmur, damai sentosa dan berkeadaban!

Dengan kelincahan dan kerja keras Presiden Jokowi nampaknya sigap dan tepat menjawab kebutuhan aktual: yaitu memperkuat negara. Tidak membiarkan keliaran terus berlangsung, sebab itu berarti pembiaran terhadap kebocoroan-kebocoran energi bangsa yang memperlemah deras arus kemajuan.  Riak dan dinamika massa bukan dimatikan, melainkan dikawal dan diarahkan ke saluran-saluran yang disiapkan di ruang publik.  Presiden Jokowi menyebutnya sebagai, “merawat kebhinekaan,” tetapi juga “menegakkan hukum.” Jadi, konsolidasi politik adalah dalam rangka penegakan hukum (di level negara) dan memelihara kebhinekaan (di level massa) sehingga keindahan dan keunikan partikular-privat muncul mekar bersemi menghiasi taman keragaman NKRI. 

Namun, kita telah belajar dari pengalaman sejarah. Di era Orba negara terlalu kuat dan menaklukan gerakan massa. Reformasi menghasilkan kebalikannya, yaitu massa menaklukan negara. Keduanya menggambarkan kegagalan membangun ruang publik yang politis.

Maka, kita perlu mengingatkan Presiden Jokowi agar hati-hati memanfaatkan hasil konsolidasi politik itu. Konsolidasi harus bermuara pada upaya mensinergikan seluruh kekuatan nasional untuk diarahkan ke muara cita-cita kemerdekaan. Soekarno, sang Proklamator menyebutnya sebagai “gotong royong,” bila kelima sila Pancasila disarikan menjadi hanya satu.  Artinya, ruang publik NKRI diwarnai olah keutuhan dan kesatuan dari berbagai keragaman yang berkreasi dalam satu kesatuan gerak menuju pencapaian tujuan nasional.

Penekanan titik orientasi di atas penting agar pengelolaan “kekuatan nasional” tidak terjatuh ke kutub ekstrim otoritarianisme ataupun anarkisme.  Apa maksudnya? Jangan sampai kekuatan yang terkonsolidasi lalu kebablasan hingga mengamputasi kreativitas, daya kritis, dan gerakan massa. Negara memang perlu kuat untuk mengawal dinamika tinggi di level massa dan mendorong laju pembangunan, tetapi massa juga perlu kuat agar dapat berkontribusi maksimal dan partisipasi efektif dalam semua tahapan pembangunan nasional. Demonstrasi sebagai salah satu bentuk pasrtisipasi politik penyaluran aspirasi jangan sampai dibekukan.

 Tetapi juga, gerakan-gerakan massa harus mengalur jalur resmi yang diprovidensi di ruang publik berkeadaban. Gerak massa yang bertentangan atau berpotensi mengancam eksistensi bernegara, mengancam kebhinekaan dan kehidupan bersama, menggerogoti ideologi dan dasar negara memang harus ditertibkan dan diarahkan kembali ke jalurnya.

Hanya dengan cara itu, konsolidasi politik Presiden Joko Widodo menemukan makna eksistensialnya, yaitu mentransformasi ruang-ruang privat partikuler demi membangun ruang publik berkedaban. Maka, bersemilah taman sari keragaman Indonesia!  

Salam Kompasiana!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun