Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menelisik Motif FPI dan Islam Garis Keras dibalik Kasus Ahok

3 November 2016   09:58 Diperbarui: 3 November 2016   10:18 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kerja cerdas dan keras Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk meredahkan ketegangan akibat ajakan demo besar-besaran FPI dan kelompok Muslim Garis Keras lainnya nampak memberi dampak. Seperti diketahui, Jokowi telah bertemu Jenderal Prabowo Subianto yang juga Ketua Umum Partai Gerindra, juga rivalnya di Pilpres 2014.  Jokowi juga bertemu pimpinan dan ulama dua ormas Muslim terbesar di Indonesia, yaitu Muhmmadiyah dan Nahdatul Ulama (NU), serta Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kepada media dan tokoh-tokoh agama telah dihimbau agar berperan aktif mendinginkan suasana. Pihak kepolisian dan TNI berkomitmen akan bekerja profesional menjaga dan mengawal kegiatan demonstrasi agar berjalan tertib dan damai. Pimpinan FPI juga memberi jaminan akan berlangsungnya demonstrasi damai. 

Suasana panas terasa mereda dan terkendali setelah para tokoh yang didekati Presiden bersepakat mengawal demonstrasi tidak anarkis. Presiden juga memberi penegasan tidak akan mengintervensi proses hukum yang sedang dilakukan atas sangkaan pelecehan agama oleh gubernur petahana, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok). Penegasan ini menjawab salah satu tuntutan demonstran.

Meskipun demikian, dugaan saya tidak akan menghentikan niat para pendemo yang menargetkan 500-an ribu partisipan dengan tujuan akhir berdemo di istana. Mobilisasi demonstran dari berbagai daerah sudah berlangsung sehingga sudah pasti akan berlangsung sesuai rencana sebelumnya. Betapapun tuntutan mereka sudah terjawab. Menteri Koordiantor bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto mempertanyakan relevansi pelaksaan demo terkait telah terjawabnya tuntutan mereka.  Pertanyaan kritis Jenderal Wiranto menarik, sebab nampaknya tujuan utama demonstrasi FPI bukan sekadar menaikkan tuntutan yang seharusnya sudah terjawab itu. Mereka akan tetap berdemonstrasi, termasuk  di masa depan.

Mengapa? Ada beberapa alasan.

Pertama; perbedaan titik pijak. Jokowi mewakili negara melihat demonstrasi FPI dkk sebagai bentuk artikulasi kepentingan kelompok masyarakat yang lazim di negara demokrasi. Karenanya itu merupakan hak politik warga negara yang dilindungi konstitusi. Sementara, FPI dkk melihat demonstrasi sebagai protes atas ketidakadilan negara. Dalam hal ini, presiden dan aparat dianggap lamban menangani kasus Ahok sehingga demonstrasi dimaksudkan “memaksa” negara menegakkan keadilan.  Demonstran sudah memiliki posisi dalam kasus ini sehingga yang dilakukannya adalah memaksa negara bergeser ke posisi mereka.

Kedua; perbedaan tujuan. Tujuan Jokowi mengakomodir pilihan jalur demontrasi oleh demosntran adalah memelihara iklim demokrasi yang diatur dalam konstitusi (UUD’45).  Yaitu kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat. Sementara, tujuan FPI dan teman-temannya adalah menangkap dan memenjarakan Ahok.  Poin ini jelas menjadi salah satu tuntutan demosntrasi 4 November 2016.  Perbedaan tujuan ini tidak mudah dipertemukan.  Satunya berdiri kokoh di atas dasar negara dan kepentingan NKRI, sementara lainnya di atas dasar politik kepentingan dan kekuasaan primordial.  

Ketiga; dari aspek hukum dan fungsi ketatanegaraan, penanganan kasus hukum ini berada di tangan aparat hukum. Artinya sebagai kepala eksekutif Jokowi tidak punya kewenangan mengurus kasus Ahok. Proses hukum, sebagaimana dituntut oleh para demonstran pun, telah dan sedang dalam proses penyidikan. Menurut Kapolri Jenderal Tito Karnavian di acara Mata Najwa yang disiarkan 2 November 2016, setidaknya 21 saksi dari berbagai unsur sudah dimintai keterangan, yaitu  dari Kepulauan Seribu, dari unsur Staf Ahok, unsur ahli meliputi ahli bahasa, ahli agama, ahli hukum pidana, dsb. Bahkan, Ketua FPI, Habib Rizieq pun sebagai pelapor segera dipanggil untuk memberi kesaksian atas permintaannya sendiri sebagai saksi ahli. Ahok sebagai terlapor direncanakan dipanggil 7 November 2016 untuk diperiksa. Jadi, tuntutan pendemo sudah dilakukan, bahkan sebelum mereka menuntutnya. Dalam proses penyidikan ini apabila bukti-bukti mencukupi maka kasusnya dinaikkan ke tahap penuntutan. Tetapi, bila bukti tidak cukup maka kasus dihentikan. Di tahap penuntutan pun, apabila Jaksa (JPU) dapat menghadirkan bukti-bukti valid dan kuat maka pengadilan akan memutuskan status tersangka. Tetapi, bila JPU tidak bisa membuktikan dakwaannya maka terdakwa akan dibebaskan. Jadi, prosedur dan tahapan hukum negara cukup panjang.

Sementara, dari sisi FPI, Ahok sudah terbukti bersalah. Prosedurnya sudah cukup di MUI, ketika  memberikan interpretasi bahwa Ahok “secara meyakinkan” telah menista agama Islam. Dengan kata lain, bagi FPI “fatwa MUI” merupakan vonis (keputusan) yang memiliki kekuatan hukum tetap. Aparat negara seharusnya segera tindaklanjuti dengan mengeksekusi putusan itu, yaitu menangkap dan memenjarakan Ahok. Kelambanan aparat menangkap Ahok ditengarai sebagai indikasi “intervensi” kekuasaan yang melindungi Ahok, dan juga bentuk ketidakadilan negara terhadap kasus yang diadukan.

Aspek praduga tak bersalah merupakan bahasa formal, bahkan azas penting dalam hukum negara.  Sementara di mata hukum agama (Islam versi FPI dkk), Ahok sudah jelas bersalah menista agama, seperti yang sudah “diputuskan” oleh MUI. Karenanya harus dihukum. Tidak ada alternatif lain.

Keempat; standar keadilan bagi Jokowi adalah proses yang sesuai hukum negara, dimana hak terlapor dan pelapor sama-sama dilindungi oleh undang-undang. Sementara keadilan bagi FPI adalah mengeksuksi keputusan MUI. Apa yang mereka anggap sebagai benar itu harus dianggap demikian pula oleh negara.  

Kelima; sulit mempercayai omongan bahwa rentetan demonstrasi ini tidak terkait Pilkada DKI 2017. Rekam jejak FPI, Amien Rais, Fadli Zon, Fahri Hamzah yang berpartisipasi dalam demonstrasi ini penuh dengan semburan emosi kebencian dan penolakan Ahok sebagai gubernur. Sejak pelantikan Ahok-Djarot tahun 2014, yang bermuara pada pelantikan gubernur tandingan FPI. Fakta itu terlalu kuat untuk diabaikan seolah-olah gerakan ini murni karena penistaan agama.  Berbeda dengan rekam jejak Ahok yang sejak menjadi bupati di Belitung Timur yang 90-an% warganya muslim,  hingga menjadi Wakil dan kemudian Gubernur DKI, tidak terdeteksi adanya kebencian atau pelecehan kepada agama Islam. Bahkan, tidak sedikit hal positif dan membangun yang dilakukannya bagi Islam, seperti membangun masjid, meng-umrohkan para penjaga masjid, dsb.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun