Maka, munculah dengki pada para pemimpin lainnya. Terutama mereka yang berseberangan. Mereka berpura-pura mengingkari semua capaian itu, mencoba membangun opini bahwa apa yang dicapai itu merupakan hasil dari Gubernur-gubernur sebelumnya. Bahwa Ahok (dan juga Jokowi) hanya menjual citra. Kritik demikian hanya menampar wajah sendiri. Lebih parah lagi, tanpa malu berbagai gerakan radikal dikonsolidasi untuk memberikan tekanan politik agar memaksa melengserkan Ahok-Djarot. Mereka merusak apa yang telah dihasilkan dengan kerja keras, kesabaran dan biaya dari pajak yang dibayar dari keringat dan kerja keras masyarakat.
Bukan hanya itu. Diam-diam mereka ingin “merebut kekuasaan,” agar menorehkan nama mereka dalam “buku sejarah DKI,” sambil menghapus nama Ahok-Djarot dan Joko Widodo. Ini mentalitas harap gampang.
Apa yang sudah ditanam oleh Joko-Hok, diteruskan, dikembangkan dan dirawat dengan penuh kesabaran serta cinta oleh Ahok-Djarot, kini seperti bunga indah yang nampak segera mekar. Atau, laksana lanskap luas yang terawat baik, kini terlihat berubah menjadi hamparan sawah dengan bulir-bulir padi yang padat memberat. Masa panen sudah dekat. Maka, banyaklah orang yang ingin merebut lahan itu agar merekalah yang memanennya. Lalu, mencatatkan nama sebagai “pahlawan-pahlawan pembanguan” yang sukses memperbaiki ibukota.
Semoga Paslon lainnya di Pilkada DKI 2017 memiliki visi yang sama untuk membangun ibukota agar makin merealisasikan semua impian dan harapan publik tentang masa depan Jakarta yang indah, nyaman, tertib, sejuk dan damai.
Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H