Maka, pesinggungan antara “ulama” dan “pemerintah,” hakikatnya adalah antara “yang partikular (privat)” dengan “yang publik.” Keduanya menggunakan acuan yang berbeda. Ulama menggunakan “teks suci agama” sementara pemerintah (seharusnya) menggunakan “teks suci negara.” Teks suci agama mengatur dan mengikat penganut dari agama yang bersangkutan. Sementara teks suci negara mengatur dan mengikat semua warga negara, yang didalamnya terdapat pula penganut berbagai agama, dogma, aliran berpikir filsafat, aliran keilmuan, dan sebagainya.
“Taat pada konstitusi, bukan konstituen,” adalah sebuah frase yang tegas menggambarkan tegaknya wibawa negara berhadapan dengan “yang privat.” Sikap kenegarawan itu pernah nampak dalam kasus penolakan Lurah Susan Jasmine Zulkifli di Lenteng Agung Jakarta Selatan tahun 2013, ketika itu dalam kepemimpinan Gubernur Joko Widodo – Basuki Tjahaja Purnama. Sekelompok masyarakat Lenteg Agung menolak penempatan lurah Susan karena alasan agamanya bukan Islam. Pemerintah DKI, dengan argumentasi di atas tetap menempatkan lurah Susan di Lenteng Agung. Bahasa pengelola negara atau pengelola ruang publik adalah bahasa konstitusi dan tidak bisa lain dari itu. Dengan kata lain, pemerintah memang seharusnya lebih taat pada teks suci negara daripada acuan-acuan partikular yang dimunculkan dari segmen komunitas di ruang privat.
Kasus Ahok di Pulau Seribu juga menunjukkan persinggungan kedua teks suci itu. Ahok menggunakan narasi konstitusi sementara para ulama menggunakan narasi teks suci agama. Dalam hal ini, seharusnya untuk mengevaluasi pidato Ahok tidak hanya menggunakan pertimbangan ahli tafsir kitab suci dalam hal ini diwakili MUI, melainkan juga ahli tafsir konstitusi yang mewakili negara.
Lain daripada itu, sebuah pertanyaan kritis patut diajukan. Benarkah ayat kitab suci agama menjadi acuan ketat melarang kepemimpinan di luar Muslim, sebagaimana terjadi pada Ahok, Kapolda Banten, atau Lurah Susan?
Kalau pertimbangannya benar atas dasar ayat kitab suci agama Islam, seperti kasus-kasus di atas, apakah itu berlaku universal? Kalau ya, mengapa ayat kitab suci itu tidak dibacakan atau diberlakukan bagi para pengungsi Timur Tengah yang membanjiri negara-negara kafir Eropa, Amerika dan Australia, yang para pimpinannya jelas kafir? Bukankah para pengungsi itu seolah-olah menyerahkan diri untuk dipimpin, bahkan mendapatkan perlindungan dari para kafir?
Padahal, dalam kasus ini mereka bukan diminta memilih, melainkan menyerahkan diri. Menyerahkan diri itu tindakan sadar, bahkan menggambarkan perasaan “lebih aman dan lebih nyaman” berada di tangan para kafir Untuk mencapai itu mereka bahkan melampaui berbagai resiko, tidak sedikit pula yang meninggal dalam perjalanan lantaran kelaparan, tertembak peluru, tenggelam, dan sebagainya. Tidakah itu menodai agama dan kitab suci Islam, dan mengapa para ulama ini diam saja?
Pun, mengapa ayat-ayat itu tidak diberlakukan oleh MUI di daerah-daerah dimana partai Islam sendiri mendukung pasangan calon (paslon) kafir di Pilkada? Misalnya Gubernur Papua, Lukas Enembe-Klemen Tinal dalam pilkada 2013 yang didukung oleh PKS dan Partai Demokrat. Bupati Kepulauan Sula pada Pilkada 2015, yaitu pasangan Hendra Thes (Bupati) dan Zulfahri Abudllah (Wakil Bupati) antara lain diusung PKS dan PKB. Juga, ketika Joko Widodo berpasangan dengan F.X. Rudi Hadi di pilkada Kota Solo 2010, PKS merupakan salah satu partai pengusung.
Logika Sesat Demokrasi
Nampaknya demokrasi salah dipahami. Karena demokrasi kerap dimengerti sekadar sebagai “kebebasan mengeluarkan pikiran, aspirasi, dan menyampaikan tuntutan kepada negara.” Itu jelas keliru, atau tidak sepenuhnya benar. Kebebasan tanpa arah bukanlah kebebasan dalam konteks “rasional dan beradab,” melainkan bentuk anarkhi dan keliaran. Hakikatnya, demokrasi sudah mengandaikan adanya tatanan yang mapan dan “sakral” pada negara, yang tidak bisa diutak-atik. Ekspresi kebebasan individu ataupun kelompok komunitas dan primordial dimungkinkan berbalapan di atas “rute dan rambu-rambu” yang sudah ada. Ekspresi yang kebablasan, seperti menyimpang, menabrak atau keluar dari rute yang sudah disediakan merupakan bentuk kejahatan terhadap negara.
Apa yang dimaksud “rute dan rambu-rambu” itu? Yaitu, Dasar Negara dan konstitusi (UUD). Keduanya merupakan sumber rujukan bagi semua produk hukum hingga kebijakan operasional dibawahnya. Rujukan berantai ini dikenal sebagai “hirarki hukum,” dimana produk turunan harus merujuk ketat yang di atasnya. Pun, berbagai dinamika perilaku dan tuntutan, kreatifitas berpikir, eksperasi warga dan sebagainya dimungkinkan (dibebaskan) sepanjang tidak bertentangan dengan “kedua sumber sakral” yang menjadi fondasi bangunan bernegara.
Akhirnya pemerintah dan rakyat Indonesia perlu diingatkan, bahwa dibalik kecenderungan menggencarnya agama meng-invasi ruang publik menggambarkan adanya bahaya serius yang mengintai. Ketidakhati-hatian sikap pengelola negara terhadap kecenderungan ini akan berpotensi membawa negara ini kembali jatuh ke semangat abad pertengahan, yang menyimpan luka dan memori kepedihan. Dan itu berarti ancamana nyata terhadap fondasi kehidupan bernegara.