Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mempertanyakan Nalar Agama di Ruang Publik: Kasus Kapolda Banten dan Ahok

13 Oktober 2016   18:49 Diperbarui: 14 Oktober 2016   00:18 5123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kontroversi tuduhan pelecehan agama oleh Ahok di Pulau Seribu terkait ayat pelarangan pemimpin non Muslim berlanjut di permohonan maaf Ahok kepada umat Muslim. Nampaknya, kalau menyaksikan perdebatan di acara Indonesia Lawyers Club (ILC) 11 Oktober 2016, juga pemberitaan di berbagai media, tuntutan kepada Ahok belum akan berakhir di situ. Meski selalu disebutkan tidak terkait Pilkada DKI 2017, ketepatan waktu sulit mengelabui nalar akan adanya kemungkinan kuat kaitan itu. Yaitu bagian dari upaya menjatuhkan Ahok sehingga bisa saja akan ada upaya lanjutan atau upaya lainnya.  Sebab, kenyataannya di sejumlah daerah justru partai-partai berlatar Islam mendukung kepala daerah non Muslim, tanpa diingatkan apalagi dilarang MUI maupun para ulama ahli tafsir kitab suci. 

Sementara masih hangat kontroversi kasus di atas kini muncul kasus lainnya yang tidak kalah panas. Sejumlah ulama Banten, termasuk MUI Banten menolak Kapolda baru, Kombes Listyo Sigit Prabowo dengan alasan kafir alias tidak beragama Islam. “Penolakan ini merupakan aksi yang sangat wajar kita lakukan karena pengganti Brigadir Jenderal Polisi Ahmad Dofiri memiliki perbedaan agama dan bukan seorang Muslim,” demikian Wakil Ketua MUI Kabupaten Tangerang, Jasmaryadi, seperti dikutib beritateratas.com (12/10/16). Apa konsekuensi logis dari cara berpikir demikian?  Haruskah penempatan pejabat negara mendengar tuntutan masyarakt lokal terutama para ulama?  Mengkhawatirkannya adalah ketika tuntutan ulama mengatasi kewibawaan negara. Dan, itu bisa mengarah kepada penaklukan yang privat, primordial, partikular atas yang publik. 

Akar perseteruan atau perebutan pengaruh antara agama dan negara dapat dilacak jauh ke belakang. Dalam sejarah peradaban barat, kita biasa merujuk pada  sebuah periode, yang di kemudian hari disebut sebagai abad pertengahan atau abad kegelapan. Periode dimana gereja (sebut saja agama) mendominasi negara, ‘fatwah’ (pimpinan) agama menjadi rujukan kebenaran. Gereja yang mengangkat dan memberhentikan raja (pimpinan negara). Bahkan, semua dinamika dan kreatifitas berpikir dan bertindak massa dikontrol-kendalikan oleh gereja. Gereja sebagai “wakil Allah” menempatkan tuhan di pusat edar kosmos peradaban, dimana semua dinamika hanya berpusingan mengitarinya. Tentu saja, “tuhan” yang dimaksud adalah sebagaimana yang diajarkan gereja. Dan, sebagai pemegang monopoli atas klaim kebenaran, “teks-teks agama” dan fatwa ulama berlaku sebagai hukum positif yang mutlak diikuti dan ditaati.

Mengapa disebut abad kegelapan? Karena pada periode yang berlangsung sekitar 1000 tahun itu (antara tahun 400-an sampai 1400-an), logika dan nalar sepenuhnya ditaklukkan oleh wibawa teks-teks gereja. Kebebasan berpikir sama sekali tidak diperkenankan. Sejarah mencatat banyaknya korban akibat dominasi gereja (tuhan) atas negara dan massa. Beberapa contoh diantaranya adalah Galileo Galilei dan Nicolaus Copernicus.  Singkatnya, sains dan berpikir rasional terkekang dibawah kontrol ketat agama.

Gelora penemuan ilmiah, penemuan teknologi, revolusi sains, penjelajahan lintas benua, dan sebagainya mendorong lahirnya antitesa terhadap kekuasaan agama. Kebenaran-kebenaran ilmiah yang dipegang teguh agama makin lama terbukti tidak valid. Kebenaran sains secara perlahan tetapi intens menggoyahkan pegangan gereja. Peradaban modern dengan berbagai varian pemikirannya menggeser “pusat tata surya” abad pertengahan dan menggantinya dengan “rasionalitas berpikir” dan kebebasan individu. 

Dalam semangat pembebasan dan kebebasan berpikir, kesetaraan dan egalitarianlah lahir negara-negara modern. Nalar publik menjadi fondasi utama, untuk mencegah masuknya “dogma-dogma partikular” kembali menguasai kehidupan bersama yang direpresentasi oleh negara. Ini yang disebut sebagai ruang publik, sebuah tamansari keragaman dan pluralitas.

Konsekuensinya, negara-negara yang muncul sebagai “hasil pemberontakan” atas kekuasaan mutlak agama melahirkan “teks sucinya sendiri” untuk menggantikan teks-teks agama.  Mengingat, bahwa dalam negara terdapat berbagai aliran berpikir, dogma, keyakinan agama, dan sebagainya, teks suci negara harus bisa mengakomodir atau memberi ruang bagi berbagai keragaman di atas. Garis demarkasi antara ‘ruang publik” yang mengelola kepentingan bersama, dengan “ruang privat” tempat berkembang dan bertumbuhnya kreatifitas individu dan keyakinan personal maupun kelompok, dogma dan aliran berpikir dibuat tegas. 

Tujuannya, selain menjaga supaya tidak saling mengintervensi antara ruang privat dan publik, juga terjamin equalitas horisontal di level privat-partikular. Dengan demikian, pengelolaan negara atau ruang publik selain menegaskan garis pembatas dengan ruang privat juga memastikan tidak berkembangnya determinasi dan dominasi satu faksi atas faksi lainnya.

Ketika NKRI dibentuk, perbedaan-perbedaan dan kekayaan keberagaman berpikir, keyakinan dan ideologi dipertemukan. Tegangan dan perdebatan-perdebatan sengit memang terjadi, namun rasionalitas dan keinginan untuk hidup bersama sebagai satu bangsa menjadi acuan. Maka, diskursus cerdas dan rasional dari para founding parents kita berujung pada kesepakatan bersama mendirikan negara merdeka. 

Sebuah pilar yang menjadi dasar bangunan negara adalah Pancasila, yang oleh Soekarno disebut sebagai saripati dari seluruh keyakinan agama, kebudayaan dan kearifan etnis seluruh Indonesia. Atau, puncak dari seluruh kebudayaan lokal di Nusantara. UUD’45 ditetapkan sebagai konstitusi negara, yang merupakan turunan yang lebih bersifat operasional dari dasar negara Pancasila. Itulah “teks suci” NKRI.

Ruang Publik dan Ruang Privat: Persinggungan dua Teks Suci

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun