Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kesalahan Ahok Adalah Membuka Kedok para Pembajak Agama

9 Oktober 2016   09:29 Diperbarui: 9 Oktober 2016   09:58 8602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembodohan atas nama agama telah lazim terjadi di berbagai zaman. Di zaman Yesus Kristus atau Nabi Isa, pembodohan dilakukan oleh para ahli agama (ahli Taurat), yang menggunakan hukum dan larangan agama secara sewenang-wenang demi merawat kekuasaan dan melindungi hak istimewa mereka. Nabi Isa berulang kali menghadapi dan dengan keras menelanjangi kebobrokan mereka. Mereka disebut sebagai para munafik.

Karl Marx di zamanya juga mengkritik sangat keras para pelaku pembodohan atas nama agama, yaitu para ulama.  Utamanya ulama Kristen di Jerman yang dianggap bersekongkol dengan para tuan tanah (land lords) untuk menindas kelas bawah atau kaum proletar. Mereka menggunakan ayat-ayat suci untuk “membius” orang miskin sehingga tidak menyadari kemiskinannya, bahkan menikmatinya karena akan memiliki masa depan di dunia akhirat.  Itulah sebabnya, oleh pengikut Marx seperti Lenin menyebut agama sebagai opium. Tentu saja, yang dikritik Marx bukanlah agama, juga bukan isi Kitab Suci, melainkan mereka yang menjalankannya. Khususnya para ulama yang melakukan pembodohan massal dengan menggunakan kewibawaan religius yang disandangnya.

Fenomena pembajakan agama ini sudah umum terjadi dalam berbagai modus. Di kantong-kantong Kristen para petualang kuasa biasa mengutip ayat-ayat suci (Alkitab) untuk menghipnotis massa agar diberi legitimasi vote. Mereka memanfaatkan “kepolosan religiusitas” masyarakat untuk menjebak dengan umpan madu ayat suci. Ujung-ujungnya hanyalah pepes kosong segudang janji yang digantung di kilatan langit. Modus lain adalah membagi-bagi kitab suci kepada anggota masyarakat. Di dalam buku suci itu disisipkan stiker atau atribut serta himbauan untuk memberi suara (vote) kepada pemberinya.

Para teroris juga termasuk pembajak agama. Mereka memanipulasi ayat-ayat suci untuk membenarkan aksi teror mereka. Mereka menciptakan ketaknyamanan umum, membunuh siapa pun yang tidak sepaham, membuat onar dan rusuh dengan tujuan meraih kekuasaan politik dan ekonomi. Mereka memaksakan sebuah ideologi kepada dunia sebagai “yang paling suci dan paling benar.” Atas nama surga mereka membantai apa saja yang dianggapnya berbeda dan sebagai penentang.

Modus pembodohan lainnya berlangsung lewat iklan-iklan komersil. Kata-kata berkonotasi agama diobral di dalamnya, yang sesungguhnya tidak terkait dengan konten produk tersebut. Berbeda halnya dengan iklan sejenis yang terkait “produk halal” tentu dibutuhkan sebagai pengaman agar tidak menjebloskan umat dalam kesesatan. Iklan-iklan berkonotasi agama itu hanya mau memanipulasi agama demi melariskan produk jualannya. 

Fenomena di ataslah yang dipertegas oleh Ahok sebagai “pembodohan,” atau masyarakat yang dibodoh-bodohin oleh para pembajak agama. Sama seperti di zaman Nabi Isa, juga Marx, pelaku pembodohan bukanlah ayat-ayat suci, bukan agama, melainkan para pemburu kuasa atau pemburu keuntungan itu.

Namanya juga pembajak mereka hanya menumpang lalu memanfaatkannya. Agama dan berbagai atributnya digunakan untuk kepentingan meraih simpati massa dengan tujuan akhir memperoleh dukungan politik. Dukungan itu sendiri menjadi modal tawar-menawar untuk menduduki posisi-posisi istimewa di masyarakat. Kita lazim mengenalinya sebagai modal untuk bergaining politik maupun ekonomi.

Para pembajak selama ini banyak menuai untung dan menikmati kenyamanan berkat bajakannya. Mereka disegani dan dihormati di mana-mana lantaran dianggap memiliki massa pendukung yang besar. Dan, dukungan massa itu diperoleh berkat “kewibawaan religius” yang berhasil dibangunnya sebagai citra. Dengan kata lain mereka mengenakan topeng agama seolang-olah sangat religius. Sebab, hanya dengan cara demikianlah mereka bisa memperoleh dan mempertahankan pendukung mereka, yang berarti mempertahankan posisi kuasa mereka.

Maka, tidaklah mengherankan ketika topeng mereka dihantam-hancurkan oleh Ahok, dibuka dan ditelanjangi, terlihatlah mata melotot mengubar amarah di hadapan sorotan ribuan mata yang ditipunya selama ini. Mereka bukannya malu. Malahan diliputi aura dendam membara ingin segera membalas dengan berbagai cara.

Memang Ahok tidak berbicara langsung tentang pembajakan agama itu. Sambutan di Pulau Seribu lebih bersifat motivasi dan edukasi. Selama pidato yang khas Ahok yaitu penuh semangat, yang berdurasi 1:48:32  menit itu banyak kali diselingi tepuk tangan warga. Bahkan sampai melewati “momen yang dituduh pelecehan itu” hingga selesai, tetap berlangsung penuh keriangan dan semangat warga. Di babak tanya jawab pun tidak ada kesan dari penanggap adanya nuansa pelecehan seperti dituduhkan kemudian.

Momen dimaksud terjadi pada menit ke 23:40 sampai 25:35, yang kemudian dipaksa-kaitkan dengan substansi pembodohan agama. Narasi disekitar momen itu seperti sbb:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun