Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kesalahan Ahok Adalah Membuka Kedok para Pembajak Agama

9 Oktober 2016   09:29 Diperbarui: 9 Oktober 2016   09:58 8602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Saya ingin cerita ini supaya bapak ibu semangat. Jadi nggak usah pikiran, ‘ah...nanti kalau nggak kepilih pasti Ahok programnya bubar,’ nggak, saya sampai oktober 2017.  Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu nggak bisa pilih saya, ya kan. Dibohongin pakai Surat Al Maidah 51, macem-macem itu. Itu hak bapak ibu, jadi bapak ibu perasaan nggak bisa pilih nih, ‘karena saya takut masuk neraka’, dibodohin gitu ya. Nggak apa-apa karena ini panggilan pribadi bapak ibu. Program ini jalan saja.”

Konteksnya terkait dengan program budidaya ikan. Masyarakat diminta berpartisipasi didalamnya supaya pendapatan meningkat sehingga bisa naik haji dan sejenisnya. Supaya masyarakat jangan sampai ragu, Ahok beri jaminan kalaupun  Ahok tidak terpilih lagi pun programnya tetap jalan. Juga, jangan sampai mereka kaitkan program ini dengan “keharusan memilih Ahok.” Ahok memotivasi dan mengedukasi mereka supaya memilih dengan bebas.  

Ketika menyampaikan konten di atas, masyarakat mendengar dengan riang. Bahkan, memberi respons positif pertanda memahami konten dan konteksnya. Baru beberapa hari pidato berlangsung itu barulah muncul tuduhan pelecehan Ayat Alquran.  Terhadap tuduhan itu, Ahok memberikan penegasan, misalnya: “Saya tidak mengatakan menghina Alquran. Saya tidak mengatakan Alquran bodoh. Saya katakan kepada masyarakat di pulau Seribu kalau kalian dibodohi oleh orang-orang rasis, pengecut, menggunakan ayat-ayat suci itu untuk tidak pilih saya, ya silahkan nggak usah pilih (Sumber).

Jadi, jelas yang dikritik Ahok para pembajak agama. Makanya terlihat, yang marah adalah para pembajak itu, beserta dengan mereka yang berkepentingan terhadap Pilkada DKI 2017. Masyarakat Pulau Seribu yang menjadi audiens merasakan aura positif dan tersemangati untuk membangun dan memperbaiki kehidupan ekonomi mereka. Dalam sesi dialog mereka meminta terus dukungan Ahok.  Makanya, apabila dengan tenang dan bening menyaksikan pidato lengkap Ahok di youtube jelas terlihat sama sekali tidak ada tendensi pelecehan. Sebaliknya edukasi dan motivasi.

Sebagai layaknya, pencuri kelas kakap ketangkap basah, para pembajak agama kalut lalu melampiaskan nafsu amarah secara membabi buta. Dengan profesionalitas kejahatan terlatih, mereka secara licik berusaha mengalihkan masalah ke “pelecehan agama atau ayat-ayat suci.” Lari dari esensinya yaitu “pelecehan kejahatan pembodohan” yang bukan saja patut dilecehkan. Justru perlu dibasmi tuntas. Sebab, bukankah instrumentasi agama bagi kepentingan kuasa dan “hal duniawi” lainnya merupakan kejahatan terhadap surga?

Para pembajak pemburu kuasa ini sangat menguasai medan perang.  Mereka tahu, di ranah agama tumbuh berbagai semak alang kering yang mudah dipicu. Kekeringan dan keliaran yang sengaja dipelihara sebagai modal mengendalikan tegangan. Sedikit saja tertiup angin gesekan segera menimbulkan luapan api yang membakar-hanguskan apa saja. Dan, peran Ahok sebagai pembuka kedok  hendak digiring ke posisi sebagai pemantik api. Sebuah siasat yang memang sangat licik. Dengan cara itu, mereka berharap posisi mereka tetap aman, sementara Ahok diharapkan berhadapan frontal dengan penghakiman massa.

Yang tidak diperhitungkan adalah makin baiknya tingkat kecerdasan masyarakat. Berkat pendidikan yang makin baik, informasi yang makin mudah diakses, mobilitas yang intens, maka kualitas pengetahuan masyarakat terus berkembang. Modalitas itu memudahkan mereka membedakan antara sekadar “pembajak agama” dan orang-orang religius yang sebenarnya. Antara pemimpin yang benar-benar menjalankan substansi agama dengan pemimpin palsu yang hanya memanfaatkan agama.

Prinsipnya sekarang, baiklah kita bernegara secara cerdas, juga beragama secara benar. Titik temu antara “bernegara” dan “beragama” ada pada sikap kejujuran, bekerja keras, saling menolong, bersikap adil tanpa diskriminasi, dan semangat untuk hidup bersama sebagai satu bangsa. Tidak ada ajaran agama yang mengajarkan kebalikan dari nilai-nilai di atas. Hidup lurus tanpa topeng, tanpa memperdayai ajaran-ajaran suci demi kepentingan sempit. Sebaliknya kekayaan substansi yang diajarkan agama kita masing-masing dikontribusikan demi membangun masyarakat dan bangsa Indonesia. Dengan itu kita pasti akan bertumbuh menjadi negara besar yang beradab, cinta damai dan masyarakatnya hidup makmur, sejahtera dan sentosa.

Salam Kompasiana!

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun