Kegagalan meragakan substansi oleh para penganut agama-agama modern di Indonesia adalah karena kandungannya, bahkan atributnya sebagai “benda asing.” Meski kita bertingkah seolah-olah fasih, seolah-olah sangat religius, sebetulnya kita hanya bermain-main dengan kulitnya. Di dalam diri kita sudah mengalir darah “agama dan budaya lokal” sehingga sulit menyerap yang dari luar.
Artinya kita sendiri sudah punya budaya dan tradisi yang sangat kaya dengan substansi keharmonisan, perdamaian, dan cinta kasih yang didalamnya menghargai kemanusiaan, keberagaman dan keseimbangan hidup dengan alam. Pun, yang lebih diutamakanm dalam ajaran agama-agama pribumi adalah kearifan, kebijaksanaan, toleransi dan sejenisnya. Nuansa-nuansa ini gagal kita pahami lewat agama-agama pendatang.
Saran saya, saatnya pemerintah akui agama-agama lokal. Biarkan masyarakat Indonesia bebas memilih agamanya. Pemerintah tidak berhak membuat definisi agama, lalu menetapkan “agama-agama negara” sementara di luar itu didiskriminasi. Padahal tuan rumah. Agama pribumi.
Saya yakin, ikatan moral-substantif agama-agama lokal jauh lebih kuat dibanding agama-agama import. Sebabnya, karena agama lokal merupakan “isi” dari budaya kita sendiri sehingga menjadi satu kesatuan integratif dengan diri dan roh individunya. Berbeda dengan agama modern, karena datang dari luar dengan kandungan budaya asing, betapa pun dipraktekkan secara intens lewat ritual-ritual keagamaan, dipaksakan oleh negara sehingga juga diikat dalam protokol kehidupan politik-kenegaraan, tetapi tidak pernah bisa menyatu dengan kepribadian masyarakat. Yang tercipta adalah manusia hipokrit yang hanya pandai meniru simbol, yang karena sifatnya bukan substansi menjadi mudah dimanipulasi. Tercipta kepribadian yang terbelah: secara formal-intelek beragama (modern), namun praktek kehidupan menggambarkan ciri budaya lokal.
Tidak percaya? Perhatianlah para penjahat ex-pejabat yang memenuhi penjara-penjara seluruh Indonesia adalah orang-orang yang sangat religius. Dalam pengertian, mereka disumpah dengan mengatasnamakan Kitab Suci dan Tuhan-nya agama-agama modern itu. Mereka juga fasih memainkan “atribut-atribut” agamanya. Kerab menjadi penyumbang setia bagi pembangunan komunitas agama, dan sejenisnya.
Jadi, meski sudah disumpah atas nama tuhan dan agama, toh mereka tanpa beban bisa melanggarnya. Berulang-ulang pula! Tetapi, apakah mereka berani kalau digunakan sumpah adat? Misalnya sumpah pocong?
Pengakuan agama-agama lokal Nusantara ini penting, selain untuk membangun kembali “wajah kemanusiaan” yang rusak, juga menjadi dasar utama membangun karakter bangsa. Menurut saya, fondasi “proyek revolusi mental” terdapat pada agama-agama lokal, nilai-nilai adat dan budayanya. Daya ikatnya lebih kuat. Wibawanya lebih kental. Artinya, kontribusi dari agama-agama lokal ini lebih berprospek dibanding agama-agama modern yang sudah terkontaminasi, baik secara politik, ekonomi maupun budaya. Biarkan agama pribumi menjadi tuan di negerinya sendiri!
Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H