Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Agama Lokal Nusantara Lebih Prospektif daripada “Agama-agama Modern”

3 Oktober 2016   18:37 Diperbarui: 5 Oktober 2016   18:45 1052
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kegagalan meragakan substansi oleh para penganut agama-agama modern di Indonesia adalah karena kandungannya, bahkan atributnya sebagai “benda asing.” Meski kita bertingkah seolah-olah fasih, seolah-olah sangat religius, sebetulnya kita hanya bermain-main dengan kulitnya. Di dalam diri kita sudah mengalir darah “agama dan budaya lokal” sehingga sulit menyerap yang dari luar. 

Artinya kita sendiri sudah punya budaya dan tradisi yang sangat kaya dengan substansi keharmonisan, perdamaian, dan cinta kasih yang didalamnya menghargai kemanusiaan, keberagaman dan keseimbangan hidup dengan alam. Pun, yang lebih diutamakanm dalam ajaran agama-agama pribumi adalah kearifan, kebijaksanaan, toleransi dan sejenisnya. Nuansa-nuansa ini gagal kita pahami lewat agama-agama pendatang.

Penganut Pengkayat Kepercayaan Sapta Darma Foto: tempo.co
Penganut Pengkayat Kepercayaan Sapta Darma Foto: tempo.co
Berbagai krisis yang kita hadapi membuktikan kegagalan kita memasuki subtasni agama-agama modern. Mereka tetap asing bagi kita, baik diakui ataupun tidak. Kita hadapi krisis karakter, krisis sipiritual, krisis kemanusiaan,  krisis lingkungan, dan sebagainya, yang kemudian menjadi beban bagi kehidupan bersama sebagai negara. Di mana kontribusi agama-agama ini?

Saran saya, saatnya pemerintah akui agama-agama lokal. Biarkan masyarakat Indonesia bebas memilih agamanya. Pemerintah tidak berhak membuat definisi agama, lalu menetapkan “agama-agama negara” sementara di luar itu didiskriminasi. Padahal tuan rumah. Agama pribumi. 

Saya yakin, ikatan moral-substantif agama-agama lokal jauh lebih kuat dibanding agama-agama import. Sebabnya, karena agama lokal merupakan “isi” dari budaya kita sendiri sehingga menjadi satu kesatuan integratif dengan diri dan roh individunya. Berbeda dengan agama modern, karena datang dari luar dengan kandungan budaya asing, betapa pun dipraktekkan secara intens lewat ritual-ritual keagamaan, dipaksakan oleh negara sehingga juga diikat dalam protokol kehidupan politik-kenegaraan, tetapi tidak pernah bisa menyatu dengan kepribadian masyarakat. Yang tercipta adalah manusia hipokrit yang hanya pandai meniru simbol, yang karena sifatnya bukan substansi menjadi mudah dimanipulasi. Tercipta kepribadian yang terbelah: secara formal-intelek beragama (modern), namun praktek kehidupan menggambarkan ciri budaya lokal.

Tidak percaya? Perhatianlah para penjahat ex-pejabat yang memenuhi penjara-penjara seluruh Indonesia adalah orang-orang yang sangat religius. Dalam pengertian, mereka disumpah dengan mengatasnamakan Kitab Suci dan Tuhan-nya agama-agama modern itu. Mereka juga fasih memainkan “atribut-atribut” agamanya. Kerab menjadi penyumbang setia bagi pembangunan komunitas agama, dan sejenisnya.

Jadi, meski sudah disumpah atas nama tuhan dan agama, toh mereka tanpa beban bisa melanggarnya. Berulang-ulang pula! Tetapi, apakah mereka berani kalau  digunakan sumpah adat? Misalnya sumpah pocong?

Pengakuan agama-agama lokal Nusantara ini penting, selain untuk membangun kembali “wajah kemanusiaan” yang rusak, juga menjadi dasar utama membangun karakter bangsa. Menurut saya, fondasi “proyek revolusi mental” terdapat pada agama-agama lokal, nilai-nilai adat dan budayanya. Daya ikatnya lebih kuat. Wibawanya lebih kental. Artinya, kontribusi dari agama-agama lokal ini lebih berprospek dibanding agama-agama modern yang sudah terkontaminasi, baik secara politik, ekonomi maupun budaya. Biarkan agama pribumi menjadi tuan di negerinya sendiri!

Salam Kompasiana!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun