Sekembalinya dari pertemuan Dialoge on Religion and Culture di Asisi Italia, Din Samsudin, Ketua Dewan Pertimbangan MUI yang juga mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, mengatakan, “wawasan keagamaan berwajah kemanusiaan harus ditampilkan bersama. Yang harus dilawan adalah kekerasan fisik, kekerasan verbal, kekerasan modal dan kekerasan negara” (Kompas 23/9/16). Apa yang diungkapkan Din Samsudin adalah gambaran wajah agama dalam kekinian.
Terutama, agama-agama modern yang di Indonesia statusnya adalah agama import alias tamu. Sebuah ironi lain. Agama yang mendaku diri representasi surga, tetapi menampilkan wajah seram menakutkan, bahkan kerap berdarah-darah. Padahal “surga” selalu terasosiasi dengan kehidupan yang penuh kedamaian kekal, keharmonisan, rahmatan lil alamin, shalom, dan sejenisnya. Dengan kata lain, himbauan Din untuk “membangun wajah kemanusiaan” sebagai proyek bersama penganut agama-agama memperkuat ironi tersebut.
Itulah ironi pertama yang kutahu. Masih banyak ironi lainnya.
Meski sebagai tamu, agama-agama import ini menempati posisi istimewa karena diakui negara. Sementara agama-agama lokal, agama asli nusantara, agama pribumi mendapatkan definisi baru; sebagai “hanya budaya” lalu diseret ke dapur, ke pekarangan belakang kehidupan bernegara. Kerap hanya dijadikan kambing hitam.
Bukankah agama adalah produk budaya? Tetapi seperti Golkar yang di rezim Orde Baru bukan partai politik, demikian pula agama modern di Indonesia bukanlah budaya. Sebuah definsi “remang-remang” yang dikreasi hanya untuk membenarkan posisi istimewa agama-agama pendatang. Pada saat yang sama menyangkali eksistensi anak kandung, yaitu agama pribumi yang kemudian dipinggirkan dan didiskriminasi.
Para pejabat negara dan elit berlomba-lomba memamerkan identitas kemoderenan beragama. Mereka fasih mengutip ayat-ayat suci, mengganti sarung dan kebaya dengan dasi, jas, jubah, dan lainnya. Merasa amat religius begitu mengenakan dekorasi-dekorasi asing itu. Lalu, ketika dilantik menjadi pejabat negara pun menggunakan ritual sumpah atas nama tuhan-nya agama-agama modern. Namun, seperti kita ketahui, kebanyakan berakhir di kerangkeng besi, tempat yang seharusnya hanya dihuni para pelaku kejahatan yang tidak kenal agama.
Agama-agama pendatang ini justru menimbulkan berbagai masalah kemanusiaan. Saling bertempur dan menghalangi hanya untuk membangun rumah-rumah pemujaan. Konflik Poso, Maluku, dan juga dalam skala kecil di sejumlah daerah, merupakan bukti tak terbantahkan. Tidak saja antara agama. Di internalnya sendiri konflik mudah mencuat ke permukaan dan menimbulkan keresahan umum. Perbedaan mazhab, denominasi, dan perbedaan interpretasi sudah cukup untuk memicu konflik besar. Pertarungan Syiah dan Sunni di Madura misalnya. Saling klaim sebagai yang paling benar, yang paling surgawi, dan lainya “yang bukan kita” atau out group diposisikan sebagai sesat. Paling parahnya, in group sekaligus diidentikkan sebagai dipihak Tuhan atau surga dan out group di pihak musuh Tuhan. Perbedaan dengan in group berarti pertentangan dengan Tuhan!!??
Kampanye-kampanye politik pun banyak kali menampilkan simbol-simbol agama, baik dalam bentuk tulisan, ragaan, maupun verbal (kutipan ayat-ayat suci) yang dengan terang-terangan merobek nurani kemanusiaan. Menuntut perlakuan istimewa dan pada saat yang sama mendiskriminasi kelompok manusia lain. Benarkah demikian wajah tuhan yang direpresentasikannya?
Wajah agama dalam tampilan-tampilan seperti di atas begitu menakutkan. Bahkan, mengerikan. Inikah wajah surga? Tuhan macam apa yang diperkenalkan oleh agama-agama ini?