Waktu antri di kantor pajak (KPP Pratama Salatiga) 29 September 2016, saya iseng bercerita dengan pak Pram dari Margosari. Pak Pram mengikutkan satu bidang tanah dan bangunan dalam Tax Amnesty (TA) yang dibelinya 2012. “Lha, kita ini termasuk pengemplang pajak ya, pak?”, tiba-tiba pak Pram nyeletuk setelah sedikit jedah. Mengajukan pertanyaan seperti itu membuat saya dan pak Pram sama-sama tertawa. Tetapi, mengganggu juga. Tarnyata kasus saya dan pak Pram sama, yaitu karena faktor ketidaktahuan. Kami pikir kan sudah bayar pajak pembelian, lalu potongan untuk setiap pemasukan dari NPWP. Karenanya, tidak teliti memasukannya dalam pengisian laporan SPT.
Jadi, prinsipnya aset yang diikutkan dalam TA adalah yang belum dilaporkan dalam SPT. Kasarnya, harta yang diumpetin, baik sengaja maupun tidak. Saya dan pak Pram jelas tidak sengaja. Banyak orang tidak sengaja dan tidak paham. Tetapi, yang penting menyadarinya lalu mengikuti program pengampunan yang sudah disediakan pemerintah.
Syarat utama adalah sudah punya NPWP dan SPT. Tanpa kedua syarat ini tentu Anda tidak bisa mengikuti TA. Artinya, Anda memang sudah melaporkan penghasilan tahunan, dan juga memiliki NPWP. Apabila belum, langsung mengurusnya juga tidak lama. Tergantung antrian. Di Salatiga, saya tanyakan ke petugas katanya kalau gak antri paling lama 60 menit SPT maupun NPWP sudah beres. SPT lalu di-fotocopy satu lembar untuk dimasukkan bersama dokumen lainnya. Kalau ada pinjaman di lembaga keuangan, harus lampirkan foco Surat Perjanjian Kredit/pinjaman.
Saya segera diarahkan ke ruang pengurusan TA. Begitu masuk langsung antri di meja “Pengarah Pelayanan.” Setelah antri sekitar lima menit, saya pun berkesampatan dilayani. Menuliskan nama, No.NPWP, dan no telp serta keperluannya, apakah OP (Obyek Pajak individu) atau TA untuk perusahaan (Badan). Lalu, petugas pengarah layanan akan memastikan urusan, apakah masih taraf konsultasi, penyerahan dokumen, penelitian atau pengambilan Tanda Terima.
Help Desk/Konsultasi. Karena saya belum paham, saya butuh konsultasi. Saya diarahkan ke help desk. Di sana saya ditanya aset yang akan diikutkan dalam TA, bentuk (kode aset) dan nilainya. Juga, apakah punya pinjaman (hutang)? Kalau punya hutang, berapa nilainya? Sebenarnya kalau semua data itu sudah ada, atau setidaknya saya tahu persis data dan diinformasikan, bisa langsung dibantu pengisiannya di form. Sejumlah dokumen memang harus diisi, tetapi sebenarnya yang terpenting adalah data aset untuk TA itu. Data utamanya hanya no sertifikat (untuk tanah dan bangunan) dan no BPKB (untuk kendaraan) untuk yang mengurus aset bangunan dan kendaraan. Yang saya sertakan hanya tanah dan bangunan. Makanya, seharusnya kalau saya bawa SSPD-PBHTB (Surat Setoran Pajak Daerah-Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) sudah sangat cukup.
Karena saya tidak ingat detil, dan tidak membawa dokumen di atas, maka saya harus kembali ke rumah untuk mengisinya. Rumah saya juga berjarak hanya sekitar 1,5 Km dari kantor pajak. Tetapi melalui konsultasi setidaknya saya sudah paham aset apa yang akan saya ikutkan dalam program TA serta bagaimana mengisi formnya. Saya diberikan semua dokumen yang dibutuhkan untuk diisi. Oh ya, bagi yang hendak mengikuti TA tahap berikutnya, jangan lupa membawa flashdisk untuk meng-copy semua dokumen itu.
Saya pun kembali ke rumah dan mengisi dokumen dengan mengacu dokumen legal yang ada. Makanya, bagi Anda yang berencana mengikuti TA tahap berikut, sebaiknya membawa dokumen seperti saya sebutkan diatas, supaya Anda tidak perlu pulang rumah seperti saya. Di help desk pun Anda sudah bisa dibantu hingga langsung beres. Sebagian peserta TA membawa laptop sehingga mereka langsung mengerjakannya di teras kantor Pajak, dimana juga disediakan meja dan kursi untuk kepentingan itu.
Dasar perhitungan nilai aset adalah per Desember 2015. Sekali lagi, untuk aset yang belum dilaporkan dalam SPT. Misalnya saya beli rumah melalui pengembang (perumahan) tahun 2013 senilai Rp.450.000.000. Maka, yang dibutuhkan adalah perkiraan nilai jualnya (tanah dan bangunan) per Desember 2015. Katakanlah Rp.550.000.000. Dari harga beli 450.000.000, saya pinjam dari bank 200.000.000 yang kemudian saya cicil per bulannya. Utang itu juga diperhitungkan dalam TA sehingga benar-benar meringankan. Dari nilai pinjaman itu, 100.000.000 diperhitungkan untuk keringanan TA saya.
Perhitungannya sbb:
Nilai aset (per Desember 2015) = Rp. 550.000.000
Hutang (per Desember) = Rp. 100.000.000 (maksimal bisa 75% dari nilai aset)
Pajak (yang harus saya bayar) adalah 450.000.000 x 2% = Rp.9.000.000
Setelah data diisi, bisa langsung dicetak kode billing. Kode billing inilah yang dipakai untuk membayar di Bank, bisa lewat teller maupun via ATM.
Ada dua form yang harus dicetak untuk saya tandatangani, yaitu (1) Surat Pernyataan Harta untuk Pengampunan Pajak, dan (2) Surat Pernyataan Tidak Mengalihkan Aset. Kedua form ini ditandatangani di atas materai 6000. Makanya, jangan lupa juga bawa materai 6000 sebanyak dua lembar.
Tim Peneliti. Setelah data diisi lengkap, dan dua form ditandatangani, dibawah ke desk pengarah layanan, lalu akan didistribusi ke desk peneliti dokumen.
Dokumen yang dimasukkan adalah:
- Daftar Pengisian Harta dan Utang
- Bukti bayar dari bank atau bukti transfer atm
- Foco SPT
- Surat Pengakuan Pemilikian Harta
- Surat Pernyataan Tidak Mengalihkan Harta Tambahan
- Surat Perjanjian Kredit Bank (kalau ada pinjaman bank)
Pada hari Kamis 29 September sekitar 8 desk penuh dokumen untuk diteliti, karena antrinya juga lumayan. Mungkin lantaran tanggal 30 September merupakan hari terakhir pelayanan TA Tahap I, maka kebanyakan peserta yang datang adalah untuk mengambil tanda terima, atau setidaknya memasukkan dokumen yang hari sebelumnya dimasukkan tetapi belum lengkap. Saya termasuk kategori ini. Jumlah peserta yang berkonsultasi masih ada tetapi jumlahnya sedikit, terlihat dari help desk yang tinggal 1. Bahkan setelah pukul 10.00 sudah diarahkan ke lantai 2.
Menunggu hasil penelitian dokumen tidak seperti mengikuti asesmen kompetensi yang terasa begitu mendebarkan, mengkwatirkan, penuh keraguan. Mengetahui bahwa dokumen kita sedang diteliti secara manusiawi memang menggetarkan hati, namun keramahan petugas membuat kita lebih santai dan optimis. Paling-paling ada kesalahan teknis, atau dokumen yang belum ditandatangani, atau kurang lengkap. Bila demikian, kita akan dipanggil untuk diinformasikan serta menyelesaikannya. Tetapi kalau sudah lengkap, petugas langsung upload.
Bila data di-upload, lalu kita tinggal menunggu panggilan dari meja Pengarah Layanan untuk menyerahkan Tanda Terima Surat Pernyataan Harta. Selesailah. Dan, saya pun merasa jadi warga negara yang baik dengan menyelesaikan salah satu kewajiban. Terimakasih kepada pemerintah yang telah memberi pengampunan.
Bagi Anda yang belum mendaftarkan aset dan belum mengikuti TA, berikut contoh perhitungan, berdasarkan kasus saya, untuk melihat perbedaannya.
Tahap Pertama (Juli-September 2016): 450.000.000 x 2% = Rp.9.000.000
Tahap Kedua (Oktober-Desember 16): 450.000.000 x 3% = Rp.13.500.000
Tahun 2017: 450.000.000 x 5% = Rp.22.500.000.
Lihat perbedaannya? Jumat 30 September saya selesaikan hutang saya pada negara dengan membayar 9 juta. Bila terlambat tiga hari saja ke depan sehingga Senin 3 Oktober baru mengurusnya, berarti saya sudah harus membayar lebih mahal 4,5 juta. Bila menunggu hingga Januari 2017 sudah membengkak lagi menjadi Rp.22,5 juta, artinya menambah 13,5 juta dari yang seharusnya bila saya bayarkan pada Tahap Pertama TA. Woooow! Kata Syahrini, “sesuatu banget,” bukan? Makanya, saya putuskan tetap mengurusnya pada Tahap Pertama. Bagi temans yang belum sempat, saya sarankan uruslah pada Tahap Kedua. Daripada menunda lagi, perbedaan hanya 3 bulan (Oktober 2016 ke Januari 2017) Anda harus membayar jauh lebih banyak. Bahkan, konon makin ke depan denda pajak akan terus merangkak hingga bisa mencapai 200%? Makanya, kenapa harus ambil resiko menunda?
Demikian pengalaman saya mengikuti Tax Amnesty pada hari terakhir Tahap Pertama. Maka, ketika pada pukul 20.03 tanggal 30 September Preseiden Joko Widodo mengumumkan capaian Tax Amnesty tahap I dari total deklarasi dan repatriasi mencapai Rp.3.540 Triliun, sedangkan dana tebusan mencapai Rp.100 Triliun, saya begitu berbangga karena kontribusi saya termasuk di dalamnya. Apakah Anda akan menjadi kontributor berikutnya?
Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H