Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Angela Merkel, Duterte dan Ahok: Sebuah Teladan Kepemimpinan!

27 September 2016   18:23 Diperbarui: 27 September 2016   22:34 1912
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Filipina, Rodrigo Duterte (AFP via Kompas.com).

Kata orang (terutama para politisi), politik itu seni mengola kemungkinan, the art of the possible. Itulah sebabnya, dirumuskan dalam berbagai frase, seperti “politik itu dinamis,” atau “politik itu cair.” Saking cair dan dinamisnya sehingga melahirkan para politisi yang tak punya prinsip, loncat sana loncat sini, licin seperti belut mandi oli, plin-plan, tak berkarakter dan doyan menghindari tanggungjawab. Miskin integritas!  

Benarkah demikian? Kalau benar, maka politik bukanlah kepemimpinan. Dengan kata lain, politisi bukanlah pemimpin. Sebab, salah satu prasyarat utama kepemimpinan adalah kemampuan memberi kepastian. Itulah sebabnya pemimpin selalu berpijak pada nilai-nilai utama dan prinsip-prinsip yang tak tergoyahkan. Seperti bangunan yang didirikan di atas batu karang; teguh, kokoh meski bertubi-tubi dihantam badai dan puting beliung. Atas dasar prinsip para pemimpin melandaskan keputusan, tindakan-tindakan dan pertimbangan moralnya. 

Disebut prinsip itu bukanlah bersifat personal-subyektif. Juga ekslusif pada sekelompok orang. Prinsip selalu merupakan nilai-nilai yang telah dijadikan pegangan bersama, atau memenuhi syarat-syarat universalitas-kemanusiaan sedemikian sehingga dipastikan tidak mendiskriminasi, tidak menabrak nilai-nilai kesetaraan dan kemanusiaan.

Juga, mengandung aspek keadilan universal dan memancarkan cahaya adab kemanusiaan, dan sejenisnya. Dengan dasar prinsip-prinsip itu seorang pemimpin (yang baik atau pemimpin sejati) tidak akan tergoyahkan oleh kepentingan apa pun. Uang (korupsi dan suap), kuasa, kepentingan jangka pendek, kenikmatan sesaat, segemerlap dan se-sexi apa pun tidak akan menggoyahkannya.

Itulah yang dilakukan oleh para pemimpin sejati. Mereka membuat keputusan dengan pertimbangan matang. Didasarkan atas nilai-nilai utama atau prinisp yang jadi pegangan bersama. Lalu, mereka bertanggungjawab penuh atas keputusannya. Apa pun resikonya. Angela Markel, Rodrigo Duterte dan Basuki Tjahja Purnama atau Ahok termasuk diantara para pemimpin sejati itu.

Angela Merker, Kanselir Jerman, adalah tokoh sangat penting di Eropa. Bahkan, majalah Forbes menobatkannya sebagai wanita paling berpengaruh di dunia (Power Women). Paling sedikit tujuh kali dalam 10 tahun terakhir namanya bertengger di peringkat pertama. Merkel juga disebut sebagai “lokomotif” Uni Eropa yang memainkan peran menentukan.

Namun, di dalam negeri ia menghadapi tekanan internal. Akibat kebijakannya agar Jerman menampung 1 juta migran Timur Tengah, partai Uni Demokratik Kristen (CDU) yang dipimpinnya mengalami kekalahan beruntun di sejumlah negara bagian. Berbagai teror bom yang melanda dunia, khusunya Eropa, kita masih ingat misalnya di Paris dan Nice Perancis, mengakibatkan kebijakannya itu berdampak buruk bagi pemerintahannya. Lebih-lebih ketika dalam bulan Juli 2016 saja terjadi empat kali teror beruntun di negerinya sendiri dan pelakunya keturunan imigran. Partai-partai oposisi memanfaatkan berbagai tragedi teror tersebut sebagai bukti kuat untuk menyudutkan si “wanita kuat sedunia” ini.

German Chancellor Angela Merkel/Reuters
German Chancellor Angela Merkel/Reuters
Atas kekalahan partainya,  Merkel menegaskan bertanggungjawab penuh. Namun, tak nampak sedikitpun keinginannya untuk merubah kebijakannya terkait imigran. Dia bahkan berjanji akan membahas keprihatinan para pemilih soal migran itu dan hendak meyakinkan mereka. “Namun, jika warga kita tak menginginkan para pencari suaka Muslim semata karena agamanya, hal itu bertentangan dengan prinsip dasar Uni Demokrat Kristen dan prinsip dasar Jerman,” demikian Merkel berargumentasi (Kompas, 21/9/16: hal.9).

Jelas di sini Merkel tidak kompromi dengan rakyat pemilih, maupun tekanan oposisi. Meski disajikan bukti teror beruntun yang ‘memojokkan kaum migran,’ serta ketidaknyamanan publik, bahkan korban dan kerugian langsung yang dialami rakyat,  Merkel berdiri teguh diatas dua prinsip dasar; yaitu konstitusi partai dan konstitusi Jerman.  

Demikian pula Rodrigo Duterte, presiden Filipina, yang baru dilantik bulan Juni 2016. Meski pemerintahannya baru seumur jagung, kehadirannya di panggung politik Filipina telah menggoncang nyali dunia, ketika baru dalam waktu tiga bulan pemerintahannya ia telah mengeksusi mati hampir 3000 pelaku kejahatan narkoba, mulai dari rakyat biasa hingga pejabat. Dunia dan Obama mengkritik keras, dan menuduhnya sebagai pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM) berat.

Bukannya takut, Duterte balik mengancam PBB dan Obama. Di forum Sidang PBB, menteri Luar Negeri Filipina, Perfecto Yasay menyatakan Filipina tidak akan mundur. “Kami mendesak semua pihak agar membiarkan kami menghadapi tantangan  dalam negeri untuk mencapai tujuan nasional kami, tanpa campur tangan yang tidak semestinya,” demikian Yasay (Kompas 26/9/16, hal.9).  Selanjutnya, Yasay menjelaskan, “Filipina menghadapi persoalan serius terkait narkoba dan korupsi. Narkoba tidak hanya menghancurkan keluarga-keluarga di Filipina, tetapi juga menghancurkan masa depan rakyat Filipina.”

Presiden Filipina, Rodrigo Duterte (AFP via Kompas.com).
Presiden Filipina, Rodrigo Duterte (AFP via Kompas.com).
Bahkan, ketika berkunjung ke Indonesia pertengahan September 2016, terhadap ancamana hukuman mati warganya Mary Jane Velonso yang ditahan di Lapas Worogunan Yogyakarta karena terlibat peredaran narkoba, ia mempersilahkan pemerintah Indonesia mengeksekusinya sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.

Duterte membawa titipan pesan keluarga dan para aktivis di negaranya agar meminta pengampunan kepada Presiden Joko Widodo bagi Mary, namun tidak dilakukannya. Sebuah bukti, betapa Duterte bekerja dengan berpatokan pada prinsip-prinsip yang kuat. Kejahatan adalah kejahatan. Tidak ada kompromi. Dan, saya menghayalkan kalau saja dalam menghadapi pelaku korupsi dan narkoba di Indonesia pemerintah juga bersikap setegas tuan Duterte.

Bagaimana dengan Gubernur DKI, Basuki Tjahja Purnama alias Ahok? Gubernur yang tak kalah menggentarkan perpolitikan nasional ini menghadapi semacam dilema terkait “proyek penggusuran” di DKI. Tahun 2015 saja sekitar 113 lokasi digusur, dan dalam tahun 2016 ini direncanakan 325 lokasi.  Jumlah lokasi yang digusur itu disesuaikan dengan jumlah rusunawa (rumah susun sederhana sewa) yang dibangunnya.

Apa tujuan penggusuran itu? Supaya program normalisasi sungai, penanganan banjir serta pembangunan tanggul di pesisir Jakarta dapat berjalan. Disamping itu, masyarakat yang direlokasi ke rusnuwa mendapatkan tempat tinggal yang lebih layak, pelayanan kesehatan dan pendidikan yang lebih terjamin, disamping pelayanan fasilitas publik lainnya.

Ilustrasi Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama. © Kiagus Aulianshah /Beritagar
Ilustrasi Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama. © Kiagus Aulianshah /Beritagar
Ini tentu keputusan yang penuh resiko. Secara politik, pilkada tinggal beberapa bulan lagi. Rasionalitas politik di Indonesia, biasanya menjelang pilkada sang kandidat, apalagi petahana terdorong menciptakan “program-program cari muka” agar diingat dan dipilih masyarakat dalam Pilkada. Justru sebaliknya, Ahok berulang kali menegaskan, kalau lantaran proyek relokasi sehingga ada anggota masyarakat yang kecewa dan tidak menyukainya silahkan jangan memilih dia dalam pilkada.

Ahok tidak takut kehilangan peluang berkuasa. Ia lebih fokus pada tujuan jangka panjang. Pada kepentingan memperbaiki ibukota dan mensejahterakan masyarakat yang sebelumnya tinggal di pemukiman kumuh bantaran sungai. Apa yang dilakukannya merupakan amanat konstitusi, yaitu antara lain menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial.

Itulah sikap pemimpin sejati. Mereka tidak cair dan dinamis mengejar kepentingan, mengalir mengikuti mood dan dorongan nafsu kuasa dan godaan menumpuk kapital. Melainkan berdiri teguh di atas prinsip-prinsip dasar, pertimbangan-pertimbangan bijak, dan nilai-nilai agung. Mereka sepintas terlihat arogan, pongah, koppig (keras kepala), seolah mau menang sendiri dan sejenisnya. Mereka tetap tidak akan bergeser. Sebab, apa dilakukan adalah apa yang memang seharusnya dilakukan!

Maka, wahai para politisi negeri, pastikan Anda juga pemimpin! Kalau tidak, politik hanyalah posisi menipulatif untuk mengejar kuasa dan keuntungan pribadi, tanpa prinsip dan tanpa standar moral. Kalau demikian, Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya politisi, baik di partai politik maupun di lembaga-lembaga legistlatif, Anda tidak pantas menempati posisi kepemimpinan di negeri ini.

Biarkan para pemimpin sejati “naik takhta” untuk bekerja melayani rakyat dan membangun negeri di atas prinsip-prinsip kuat empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila dan UUD’45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Hanya atas nama itulah, seorang pemimpin sejati di negeri ini tidak akan mundur!

Salam Kompasiana!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun