Maka, secara garis besar dari sisi dukungan, saya perkirakan Ahok-Djarot memiliki modal lebih dibanding kedua paslon lainnya. Apalagi mereka bukanlah pendukung pasif, melainkan telah terlatih bekerja sebagai relawan yang ikut memobilisasi dukungan bagi Ahok-Djarot.
Penguasaan Materi dan Program
Tidak hanya potensi dukungan pemilih seperti diperlihatkan di atas. Potensi lain yang dimiliki Ahok-Djarot adalah pengalaman dan “penguasaan medan.” Laksana lapangan balap, ketiga paslon berlomba di sirkuit yang setiap hari digunakan Ahok-Djarot.
Paslon Anies-Uno memiliki wawasan global yang tak diragukan. Juga keahlian dan keterampilan terkait bidang mereka, yaitu pendidikan dan enterpreneurship. Demikian pula, pasangan Agus-Sylvi mengandalkan pengalaman dan penguasaan manajemen birokrasi yang dimiliki Sylvi. Agus tentu terkait strategi keamanan, administrasi publik dan hal-hal teoretik lainnya. Namun, kedua paslon ini tidak menguasai seluk-beluk birokrasi pemerintahan sampai mendetail. Bahkan, juga bagaimana menghadapi DPRD yang kerap menunjukkan intrik-intrik yang terkesan mengganggu.
Berbeda dengan Ahok-Djarot yang sudah makan asam garam kehidupan birokrasi. Dengan pengalaman puluhan tahun sejak menjabat bupati (di daerah masing-masing), lalu beberapa tahun sebagai Wagub dan Gubenrnur, belum lagi Ahok yang sudah pernah menjadi anggot DPRD maupun DPR-RI, paslon ini memiliki keunggulan yang tak tersaingi.
Belum lagi, bukti-bukti hasil kerja mereka yang mudah ditunjukkan, baik dalam bentuk program fisik maupun non fisik, akan menjadi “bahan kampanye” yang mudah meyakinkan masyarakat. Artinya, Ahok-Djarot akan berkampanye dengan bukti-bukti kerja, serta peta pengembangan dan penyempurnaan dari yang sudah dan sedang berjalan, sementara paslon lain masih dengan janji dan rencana. Secerdas dan secanggih apa pun sebuah rencana dan janji, tidaklah lebih meyakinkan dari hasil kerja yang sudah terlihat.
Faktor Penentu Lain
Kenyataan bahwa kedua paslon lain, yaitu Anies-Uno dan Agus-Sylvi juga termasuk nasionalis, dan meski didukung campuran parpol Nasionalis-Islam namun leader-nya partai nasionalis, yaitu Demokrat dan Gerindra, didukung faktor ketokohan SBY dan Prabowo, maka persaingan diperkirakan berlangsung sportif dan edukatif. Juga, harus diakui kedua paslon lain diuntungkan oleh pemilih Muslim fanatik pendukung PKS, PPP, PAN dan PKB. Namun, kampanye-kampanye yang “terlalu Islami” tidak akan diumbar secara berlebihan sehingga persaingan sehat diharapkan lebih terkondisikan.
Maka, faktor lain yang benar-benar akan menentukan adalah blunder dalam komunikasi politik dan tema-tema kampanye. Kesalahan sedikit saja akan menjadi titik masuk untuk diserang oleh pihak lawan, media massa, maupun para pendukung. Massa pemilih saat ini sudah sangat kritis, sehingga komunikasi yang tidak cerdas akan berpotensi menjatuhkan “pamor” dari paslon. Ambil contoh, kampanye negatif, sara, dan kampanye hitam.
Penutup
Meski pun secara potensil Ahok-Djarot memiliki keunggulan, kompetisi memenangkan pilkada DKI tidak akan mudah. Sudah bisa dipastikan dalam putaran kedua, dengan mengandaikan Ahok-Djarot lolos, paslon ini akan menghadapi gabungan pendukung dari dua paslon lain. Di sini, kemampuan meramu program-progran inovatif dan strategi kampanye yang cerdas akan sangat menentukan.