Peringatan! Kisah ini hanya fiktif. Sebuah teater makna yang teranyam dari serat-serat ayat bijak warga negeri kompasiani. Negeri yang terkenal demokratis, dan konon di sana semua orang adalah guru sekaligus murid. Bila ada kesamaan nama tokoh dan tempat, itu pasti kebetulan belaka.
Aji masih tenggelam dalam sikap meditatif. Masuk dalam kesenyapan. Terkadang senyum sendiri. Larut dalam pentas imajinasi. Menikmati kelebat ide yang berakrobat di pikirannya. Riuh. Bising. Namun nikmat.
Motif Aji adalah membebaskan suara-suara pikiran. Sementara, Felix nampak didera kutukan paradigma, diberati dosa-dosa pengikat. Ia mungkin menyadari “bertindak jahat,” namun tetap harus melakukannya: menangkap kelindan ide dan suara-suara di taman surga pikiran, memakunya di etalasi kata, menyusunya berbaris-baris di rak kalimat, dan digiring ke lanskap tekstual untuk disajikan, entah untuk diri sendiri atau menjadi lahapan para “petualang teks” yang dituntun Pebrianov.
Felix menjadi orang tegaan. Ia tega memerangkap suara-suara liar di habitat taman pikiran. Tega karena ia menyadari tindakan. Namun, tak mampu bertahan menjadi penikmat tunggal di pentas imajinasi. Ia tergoda memproyeksikan keindahan realitas pikiran ke dunia obyektif. Ia hendak membumikan surga ide-idenya. Di sini, kata (term) menjadi mediator atau forma. Mungkin juga gambar/lukisan.
Bagaimana pun, Felix bertindak melampaui Socrates yang terlalu etis membiarkan realitas (ide/pikiran) bermain-main di habitat, tanpa niat memakunya di pangkalan kata. “Kata membekukan dan membunuh realitas,” demikian Socrates. Misalnya, gejolak emosi rindu, rangkulan hangat, lirikan dan curi pandang, campur aduk geliat-geliat nafsu, dalam totalitas keutuhannya merupakan sebuah realitas penuh warna dan dinamika. Namun, kekayaan realitas itu segera berubah mati-kaku begitu diperangkap dalam sebuah term bernama “C I N T A!” Cinta, sebagai kata adalah reduksi realitas. Tetapi, mungkin Socrates tidak sadar telah memerangkapnya juga, yaitu lewat ujaran (akh tuan Felix, akankah Anda menyebutnya sebagai anarakisme verbal?) sebagaimana diajarkannya kepada para murid. Tak sedikit pun tergoda ia tegak berdiri di batas demarkasi antara ujaran dan tekstualisasi.
Aji, yang berdarah muda, terbakar oleh intuisi heroik, tindakan mesianik membebaskan suara-suara yang dianggapnya terpenjara di pikiran. Seakan term atau kata menjadi mediator bagi suara-suara yang rindu berkelana ke keluar pikiran. Bagaikan bidadari surga yang menanti wadah untuk mengekspose kecantikan dan keindahan: “substansi yang merindukan eksistensi,” demikian Arsitoteles menyebutnya. Dan, Aji didera intensi menjadi pahlawan pembebas.
Sementara, Felix yang telah matang di tempa pengalaman, menikmati nyanyian dan tarian liar suara-suara pikiran. Lama terpukau nikmat keindahan dan kemerdekaan, ia mungkin pernah tiba di titik bimbang: haruskah terus menyepi di surga pikiran, membisu dalam kontemplasi total yang terkunci di horizon subyektifitasnya, atau memproyeksikan keindahan taman surga pikiran ke dunia padat, dunia kasat mata, dunia antar subyek. Tak tahan menikmati sendiri, ia merangkai kata untuk menangkap makna. Maka, ia memutuskan masuk dalam anarksime tekstual. Sebuah ketegaan yang disadari, namun tak dapat dihindari. Ia seperti rela menerima dan menjalani kutukan.
Kegamangan Aji merupakan ketegaan Felix. Dua posisi yang bisa dipahami. Aji gamang dalam proses penemuan yang masih berlangsung, sementara Felix telah melampaui titik dimana Aji kini berada. Di seberang kegamangan bisa ada ketegaan. Bagaimana pun, “manusia adalah makluk pemilih,” demikian Kierkergaard. Maka, Felix telah memilih, sementara Aji masih dalam timbangan. Atau, tepatmya, Felix bertindak dalam kesadaran, sementara Aji masih dalam keraguan.
Para fenomonolog (yang kemudian dijadikan induk semang posmodernisme) dirasuki semangat prometheusian (semacam dewa penolong) untuk mengevakuasi realitas dari penjara kata dan definisi. “Bila ingin memahami keindahan alam, pergilah amati alam dan cerapi dengan indra sensorik lalu pahamilah,” demikian kira-kira mereka berkilah. Alam, adalah puisi yang memiliki keindahan estetik, janganlah direduksi dalam kata dan narasi yang kaku berbingkai (enfarming). Term “manusia” misalnya, telah dimiskinkan dalam bingkai keilmuan (kategori), antaralain sebagai makluk sosial (zoon politicon), makluk hukum, makluk ekonomi, makluk spiritual, biologi, rational aminale, dsb. Sebuah reduksi total. Jadi, sampah-sampah kategori inilah yang mengaburkan kejernihan substantif dari manusia.
Apa yang digusarkan Husserl dan teman-temannya seperti di atas cukup mudah dipahami. Tetapi, keadaan menjadi berbeda ketika menghadapi keindahan pikiran. Siapa yang bisa diundang ke dalam pikiran subyek untuk memahamai geliat-gejolak dan tarian-tarian ide di kepala, atau katakanlah untuk mendengar kebisingan dan kekayaan suara-suara pikiran? Apakah mereka sedang membutuhkan pembebasan, atau sikap tega untuk memenjarakan (lagi), yang pasti mereka butuh ruang pentas baru. Sebuah pentas di spasi inter dan antar subyek. Maka sikap tega merupakan niscaya.
Bukankah ketegaanlah yang memungkinkan Newton menangkap pantulan-pantulan liar di pentas pikiran dan memakunya di formula mekanika kuantum yang memungkinkan kita memahami eksistensi atom, partikel super kecil itu? Atau, Einsten terpesona oleh keindahan tatanan dan kerumitan gerak bintang gemintang yang menari-nari di kosmos imajinasi, lalu menangkap dan membingkainya dalam rumus relativitas sehingga memudahkan kita memahami alam semesta yang maha luas dan dahsyat ini? Ketegaanlah yang memungkinkan terungkapnya realitas-realitas baru yang sebelumnya tersembunyi. Kata membantu menyingkap realitas!
Perbedaan antara “seni–puitika” dengan “sosio-humaniora” atau katakanlah sains adalah pada pijakan ontologis (klaim metafisiknya). Dari sudut sastra, misalnya puisi, banyak bertolak dari “realitas apriori,” yang hidup dalam kepala subyek. Ia nir pengalaman. Laksana bidadai perawan. Meski Aji menolak sebutan originalitas atau virginalitas ide. Ia tak dapat diukur dan bersifat metafisik. Dengan demikian, mungkin selalu dalam penantian untuk diungkap. Inilah yang oleh Aji disebut sebagai tindakan pembebasan.
Sementara itu, realitas (kebenaran) yang mau diungkap “sosio-humaniora” adalah kolaborasi antara yang apriori dan aposteriori. Ini khas Kantian. Jadi, paradigmanya bukan positivistik. Suara-suara dalam pikiran, yang diungkap dengan intusi (bukan metode, dalam ungkapan Felix), merupakan pantulan dari persepsi, pengalaman, pengetahuan yang terbingkai atau terkategori, yaitu sebagai sosial, hukum, politik, dan sebagainya. Intuisi Felix dalam mengungkap realitas pikiran pun bukanlah intuisi tanpa bobot kategoris. Intuisi sebagai gema-organik dari tumpukan padat pengalaman-pengalaman subyektif. Sebuah intuisi berbobot dan profesional. Karenanya, bersifat subyektif sekaligus obyektif. Di sini intuisi Felix berbeda dengan intuisi seorang penjual bakso mengamati kerumunan ibu-ibu kompleks perumahan yang sedang berkumpul gosip sambil menggendong dan bermain dengan anak-anak mereka. Sama-sama menggunakan insting. Tetapi berbeda dalam bobot, spasi dan orientasi. Atau, seperti pertimbangan seorang ahli dalam perkara racun sianida, meski bersifat subyektif namun intuisi-keprofesionalannya diandaikan memiliki bobot rujukan untuk menyingkap selaput misteri. Itu tentu berbeda dengan intuisi peramal nasib (fortune teller) yang bermetodekan terawang-menerawan.
Pertanyaan esensial adalah, apakah suara-suara dalam pikiran merupakan entitas di luar aku? Pebrianov menyebutnya sebagai “anak kandung kepala ku.” Tetapi, apakah itu adalah aku, bagian dari aku, atau sesuatu yang berjarak dengan aku? Kalau demikian, suara-suara itu apanya aku?
Orang-orang Kantian (Immanuel Kant) bisa jadi akan mengatakan bahwa suara-suara dalam pikiran adalah hasil persetubuhan antara realitas aposterori (pencerapan indrawi) dengan ideal-ideal subyektif yang tersimpan di arsip imajinasi subyek. Das sein dan das sollen bertumpuk, lalu memantul. Seperti teriakan Narcisus dan sahutan sang bidadari Gema, hakikat das sein adalah pantulan das sollen. Yang apriori dan aposterori bercumbu saling memagut lalu melahirkan dan beranakpinakkan ide-ide, suara-suara pikiran yang terus bergema, berkeriapan, datang dan pergi. Itulah sebabnya, suara-suara pikiran atau ide-ide akan terus bertambah, berlipat-lipat, memantul-mantul, berkilat-kilat seperti lecutan listrik berbalapan di lintasan neuron (sel saraf).
Kalau demikian, kita bisa tiba di penghujung simpang. Anak-anak sungai ide yang terbelah bisa bertemu juga dalam muara makna.
Pertama; bukankah realitas eksistensial adalah suara Narcisus, sehingga dalam kasus suara memantul gema (echo) tidak lain bahwa Narcisus mendengar suara sendiri? Kedua; pun obyek cinta Narcisus di permukaan kolam tidak lain bayangan Narcisus juga? Maka, yang dirindukan dan dicintai Narcisus adalah diri sendiri.
Demikianlah, mungkin, subyek “aku” yang sedang menikmati obyek “suara-suara dalam pikiran,” tidak lain adalah Narsisus yang sedang mengagumi keindahan dirinya sendiri di bening kolam. Sengat rindu (atau derita) untuk membebaskan “suara-suara dalam pikiran” pada hakikatnya adalah gejolak intuitif untuk pengungkapan diri subyek, si aku. Aristoteles menyebutnya dengan “mengaktualkan yang potentia” (actus-potentia). Jadi, mentransformasi ide-ide ke dalam narasi atau teks merupakan bagian utuh dari mengaktualkan potensi dari subyek aku. Dengan kata lain, membebaskan atau mengeluarkan bagian dari si aku yang masih tersembunyi. Maka, tidaklah lain kecuali tahapan dan proses menjadi diri; yaitu aku yang mengada. Sebuah proses menjadi yang hanya berakhir bersama kehidupan subyek!
Dengan sendirinya, yang hakiki adalah aku. Pilihan tindak, entah pembebasan, atau pemenjaraan realitas pikiran yang metafisik ke realitas kasat mata lewat kata, kalimat, narasi teks, ujaran, atau gambar, tidak lain manifestasi pengungkapan realitas subyek itu sendiri. Akulah subyek yang berpikir, sekaligus obyek pikiran yang sedang dipikirkan. Kata tidak lain tubuh bagi pikiran untuk dikenali. Substansi yang menemukan wadah untuk bereksistensi. Dalam kaitan ini, bisa dikatakan, hakikat aku adalah pikiran yang membumi lewat kata (teks, narasi).
Jadi, entah dipahami sebagai pembebasan ataupun pemenjaraan, yang pasti adalah tindakan terhadap subyek aku itu sendiri, yaitu pembebasan atau pemenjaraan diri si aku: subyek yang sedang sibuk mencumbui diri di kolam. Hingga mati.
Salam Kompasiana!
Catatan: diskusi yang cukup intens beberapa waktu lalu antara Kompasianer S.Aji (1, 2) Felix Tani (1, 2) , Pebrianov (1) dan Severus Triyanto (1) terkait topik ini sangat seksi dan menggoda. Oret-oretan ini merupakan hasil godaan itu. Tujuannya hanya ingin berbagi perspektif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H