Lalu, siapa yang diuntungkan? Dengan membolehkan para “pesakitan hukuman percobaan” mengikuti Pilkada, pihak-pihak yang diuntungkan adalah:
Pertama; sudah jelas mereka yang telah dan akan ditetapkan sebagai pesakitan ketika penjaringan calon dan konstetasi dilakukan. Peluang ini akan dimanfaatkan untuk “membersihkan diri” dengan berbagai cara, sehingga memberi alasan mencalonkan diri dan menciptakan peluang terbesar untuk terpilih menjadi kepala daerah. Dengan kekuasaan di tangannya, ia punya kesempatan dan kuasa lebih besar untuk membersihkan diri dengan cara-cara manipulatif.
Kedua; mereka yang rekam jejaknya tidak bersih. Masih berakrobat merampok sana-sini, narkoba sini sana, dan kejahatan lainnya, hanya belum tercium aparat hukum dan KPK. Pasal ini merupakan kabar baik bagi mereka, yang dirayakan dengan memperolok-olok negara karena berhasil dipecundangi oleh mereka dan konco-konco. Dengan akumulasi modal yang besar dari hasil kejahatan, mereka membangun pabrik salon pencitraan canggih untuk memoles dan membersihkan diri agar bisa meraih jabatan publik. Jabatan publik adalah target ideal bagi mereka, sebab selain bisa bersembunyi aman di balik kursi kekuasaan, juga meneruskan kejahatannya dengan memanfaatkan infrasturktur jabatan yang melekat padanya.
Ketiga; keuntungan bagi mereka yang baru mau belajar berbuat jahat. Yaitu, mereka yang langsung atau pun tidak, dikaderkan oleh kelompok pertama dan kedua di atas, maupun yang belajar mandiri menjadi penjahat. Para pemula ini akan makin bersemangat “menuntaskan” pembelajarannya dan segera mempraketkannya dengan bergairah. Sebab, para senior telah menciptakan berbagai terobosan yang memberi prospek dan peluang. Sasaran tertinggi adalah mengumpulkan modal untuk selanjutnya meraih kekuasaan. Ini pilihan yang wajib sebagai cara untuk mengamankan “posisi dan bisnis” jangka panjang mereka sebagai “komuntas penjahat negara.”
Harus ada strategi terintegrasi untuk menghentikan “persengkokolan jahat” menguasai negara. Bagaimana pun, kita masih banyak berharap pada DPR sebagai lembaga terhormat. Tentu dengan dukungan penuh berbagai elemen perangkat hukum maupun “perangkat” masyarakat. Lembaga terhormat perlu diisi oleh orang-orang terhormat. Status terhormat itu nampak dari sikap, tindak, kearifan dan keberpihakan pada kepentingan negara lewat pikiran dan keputusan-keputusan politiknya. Tidak serta merta seorang menjadi terhormat lantaran bekerja di lembaga terhormat. Sifat dan perilaku yang jahat justru mengotori kehormatan lembaga. Karena itu, setiap anggota DPR harus mematutkan dirinya dihormati lewat kinerjanya supaya ia pantas duduk di lembaga terhormat.
Tanpa itu, kita membiarkan negara ini terus dipimpin para penjahat. Masa depan macam apa yang bisa kita harapkan?
Salam kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H