Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Catatan Kecil dari Motaain, Perbatasan Timor Leste, tentang Persepsi Positif Kinerja Jokowi-JK

24 Agustus 2016   00:28 Diperbarui: 24 Agustus 2016   17:09 2997
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jajak pendapat harian Kompas yang dirilis 22 Agustus 2016 menyimpulkan bahwa antusiaisme masyarakat terhadap pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) menguat, seiring meningkatnya tingkat kepuasan masyarakat sembilan bulan terakhir.  Saya mencoba “memotret” persepsi kepuasan masyarakat itu dari daerah perbatasan.

Tanggal 15 Agustus saya dari Dili, ibukota negara tetangga, Timor Leste atau biasa juga disebut Timor Lorosae.  Term Leste mupun Lorosae itu memiliki makna yang sama, yaitu “timur.”  Jadi ya, artinya Timor Timur, seperti namanya  dulu waktu masih sebagai salah satu provinsi  dari RI.  Nama lengkapnya adalah Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) atau bisa juga disingkat TLS.

Karena akan menghadiri acara pernikahan keluarga di Kupang saya harus lewat jalan darat. Hingga  saat ini belum ada penerbangan Dili - Kupang. Penerbangan dari Indonesia ke Dili hanya bisa lewat Denpasar. 

Perjalanan dari Dili ke perbatasan Batugede (wilayah terluar TLS ke perbatasan dengan Indonesia) sekitar tiga jam. Jalannya mulus, baru dibangun tiga tahun terakhir karena ketika 2013 saya ke Dili lewat jalan darat di sana sini masih terlihat banyak pekerjaan sedang dilakukan.  Cukup menyerahkan paspor ke kantor imigrasi untuk diberi cap, bereslah.  Tidak rumit. Berbeda dengan waktu masuk, harus lewat X-ray, lalu ada pemeriksaan dan melapor di beberapa pos selain Imigrasi dan beacukai.

Keluar kantor beacukai TLS sudah nampak di kejauhan gedung baru pos perbatasan Indonesia yang  nyaris rampung. Sejumlah gedung berdiri kokoh dan megah. Kombinasi arsitektur tradisional dan modern terlihat padu.   Atapnya yang bulat mirip kubah merupakan bentuk khas rumah adat Belu, yang disebut matabesi. Di depannya, sejak pintu keluar dari arah TLS berbagai ornamen di kiri kanan jalan terlihat semarak khas menggambarkan suasana persiapan perayaan HUT Kemkerdekaan RI ke 71.  

Tiga tahun lalu saya masih melewati perbatasan antar negara ini. Ketika itu kondisi kantor imigrasi maupun bea cukai sangat jauh dari kepatutan  rasa bangga. Janganlah dibandingkan dengan kantor imigasri dan bea cukai TLS yang berjarak tak lebih dari 200 meter itu.  Jarak yang amat dekat hanya dibatasi sebuah jembatan pendek itu memudahkan kita membandingkan infrastruktur kedua negara. Di sini sentimen nasionalisme ikut tergores. Kondisi yang tidak berbeda juga terlihat di perbatasan Wini ke Oeccuse (Oekusi), daerah enklave TLS di wilayah kabupaten Kefamenanu (Timor Tengah Utara).

Jembatan pembatas Indonesia-TLS (Foto DOKPRI)
Jembatan pembatas Indonesia-TLS (Foto DOKPRI)
Sampai di pos perbatasan Motaain, di wilayah Indonesia saya masih dilayani Imigrasi dan bea cukai di Pos Lintas Batas Antar negara (PLBN) yang lama.  Mirip warung makan dengan loket sederhana seperti di tempat beli karcis bus terminal. Terik matahari yang amat panas, serta antri, lebih tepat berdiri berdesakan di luar gedung terasa jauh dari rasa nyaman, apalagi bangga? Tanpa X-ray kita harus habiskan waktu antri lagi membongkar isi bawaan untuk diperiksa petugas. Saya tidak ingin berlama-lama di situ. Lebih suka secepatnya pergi menjauh.

PLBN baru yang indah megah dan memberi harapan dibangun di belakang kantor lama. Gedung-gedung perkantoran mewah dibangun  diatas impian besar Presiden Joko Widodo untuk menjadikan setiap pos perbatasan sebagai etalasi negara RI. Sayangnya masih dalam taraf penyelesaian sekitar 85-90% jadi belum digunakan.  PLBN Motaain  yang dibangun dengan anggaran sekitar 82 Milyar Rupiah itu meliputi sejumlah bangunan dan pos berupa Gerbang Tasbara dan Pos Jaga, Karantina Tumbuan dan Hewan, Pemeirksaan Imigrasi, Bea Cukai, dan Lambang Negara Indonesia, Wisma Indonesia, Mess Karyawan, dan fasilitas pendukung lainnya. Dengan memandang keindahannya saja sudah cukup menghibur dan menetralisir rasa dongkol mengantri di panas terik kantor lama.

Driver saya bernama Pe’u. Saya memanggilnya om Pe’u. Om Pe’u dengan penuh gairah menceritakan perubahan besar di daerah perbatasan dua tahun terakhir.  Mulai dari kantor pos perbatasan baru yang pekerjaannya dikebut, perbaikan dan pengaspalan jalan dari Atambua, ibukota kabupaten Belu ke Motaain daerah perbatasan, pembangunan 600 unit rumah untuk penduduk perbatasan,  hingga pengalamannya berjabat tangan langsung dengan presiden Jokowi.  

Kondisi jalan beraspal dan mulus (Foto DOKPRI)
Kondisi jalan beraspal dan mulus (Foto DOKPRI)
Pembangunan jalan, perumahan dan lainnya merupakan bagian utuh dari strategi pembangunan Pos Perbatasan (PLBN), yang dikenal sebagai Pengembangan Infrastruktur Pemukiman (PIP). Cakupan PIP berupa perbaikan jalan lingkungan, pembangunan instalasi air bersih, tempat pengolahan limbah komunitas, pengelolaan sampah, termasuk didalamnya pembangunan perumahan bagi penduduk perbatasan itu. Anggaran PIP di wilayah perbatasan Motaain itu sendiri sekitar 90 Milyar.

Karena antara tahun 2013-2014 saya juga beberapa kali melewati daerah perbatasan itu setidaknya saya paham apa yang diceritakan om Pe’u. Sebelumnya jalan Atambua-Motaain masih berbatu dengan dominasi kerikil halus yang amat rawan kecelakaan, terutama di bagian tanjakan atau menurun yang terjal. Jarak yang hanya 30-an Km pun  biasa ditempuh dalam waktu paling cepat satu jam. Kini, setelah jalan diperlebar dan diaspal paling lambat 30 menit. Itu perubahan pertama yang nyata. Kedua, seperti sudah saya ceritakan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun