Jajak pendapat harian Kompas yang dirilis 22 Agustus 2016 menyimpulkan bahwa antusiaisme masyarakat terhadap pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) menguat, seiring meningkatnya tingkat kepuasan masyarakat sembilan bulan terakhir. Saya mencoba “memotret” persepsi kepuasan masyarakat itu dari daerah perbatasan.
Tanggal 15 Agustus saya dari Dili, ibukota negara tetangga, Timor Leste atau biasa juga disebut Timor Lorosae. Term Leste mupun Lorosae itu memiliki makna yang sama, yaitu “timur.” Jadi ya, artinya Timor Timur, seperti namanya dulu waktu masih sebagai salah satu provinsi dari RI. Nama lengkapnya adalah Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) atau bisa juga disingkat TLS.
Karena akan menghadiri acara pernikahan keluarga di Kupang saya harus lewat jalan darat. Hingga saat ini belum ada penerbangan Dili - Kupang. Penerbangan dari Indonesia ke Dili hanya bisa lewat Denpasar.
Perjalanan dari Dili ke perbatasan Batugede (wilayah terluar TLS ke perbatasan dengan Indonesia) sekitar tiga jam. Jalannya mulus, baru dibangun tiga tahun terakhir karena ketika 2013 saya ke Dili lewat jalan darat di sana sini masih terlihat banyak pekerjaan sedang dilakukan. Cukup menyerahkan paspor ke kantor imigrasi untuk diberi cap, bereslah. Tidak rumit. Berbeda dengan waktu masuk, harus lewat X-ray, lalu ada pemeriksaan dan melapor di beberapa pos selain Imigrasi dan beacukai.
Keluar kantor beacukai TLS sudah nampak di kejauhan gedung baru pos perbatasan Indonesia yang nyaris rampung. Sejumlah gedung berdiri kokoh dan megah. Kombinasi arsitektur tradisional dan modern terlihat padu. Atapnya yang bulat mirip kubah merupakan bentuk khas rumah adat Belu, yang disebut matabesi. Di depannya, sejak pintu keluar dari arah TLS berbagai ornamen di kiri kanan jalan terlihat semarak khas menggambarkan suasana persiapan perayaan HUT Kemkerdekaan RI ke 71.
Tiga tahun lalu saya masih melewati perbatasan antar negara ini. Ketika itu kondisi kantor imigrasi maupun bea cukai sangat jauh dari kepatutan rasa bangga. Janganlah dibandingkan dengan kantor imigasri dan bea cukai TLS yang berjarak tak lebih dari 200 meter itu. Jarak yang amat dekat hanya dibatasi sebuah jembatan pendek itu memudahkan kita membandingkan infrastruktur kedua negara. Di sini sentimen nasionalisme ikut tergores. Kondisi yang tidak berbeda juga terlihat di perbatasan Wini ke Oeccuse (Oekusi), daerah enklave TLS di wilayah kabupaten Kefamenanu (Timor Tengah Utara).
PLBN baru yang indah megah dan memberi harapan dibangun di belakang kantor lama. Gedung-gedung perkantoran mewah dibangun diatas impian besar Presiden Joko Widodo untuk menjadikan setiap pos perbatasan sebagai etalasi negara RI. Sayangnya masih dalam taraf penyelesaian sekitar 85-90% jadi belum digunakan. PLBN Motaain yang dibangun dengan anggaran sekitar 82 Milyar Rupiah itu meliputi sejumlah bangunan dan pos berupa Gerbang Tasbara dan Pos Jaga, Karantina Tumbuan dan Hewan, Pemeirksaan Imigrasi, Bea Cukai, dan Lambang Negara Indonesia, Wisma Indonesia, Mess Karyawan, dan fasilitas pendukung lainnya. Dengan memandang keindahannya saja sudah cukup menghibur dan menetralisir rasa dongkol mengantri di panas terik kantor lama.
Driver saya bernama Pe’u. Saya memanggilnya om Pe’u. Om Pe’u dengan penuh gairah menceritakan perubahan besar di daerah perbatasan dua tahun terakhir. Mulai dari kantor pos perbatasan baru yang pekerjaannya dikebut, perbaikan dan pengaspalan jalan dari Atambua, ibukota kabupaten Belu ke Motaain daerah perbatasan, pembangunan 600 unit rumah untuk penduduk perbatasan, hingga pengalamannya berjabat tangan langsung dengan presiden Jokowi.
Karena antara tahun 2013-2014 saya juga beberapa kali melewati daerah perbatasan itu setidaknya saya paham apa yang diceritakan om Pe’u. Sebelumnya jalan Atambua-Motaain masih berbatu dengan dominasi kerikil halus yang amat rawan kecelakaan, terutama di bagian tanjakan atau menurun yang terjal. Jarak yang hanya 30-an Km pun biasa ditempuh dalam waktu paling cepat satu jam. Kini, setelah jalan diperlebar dan diaspal paling lambat 30 menit. Itu perubahan pertama yang nyata. Kedua, seperti sudah saya ceritakan.