Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Teror Nice: Bukti Tuhan sebagai Pembunuh Kebebasan Manusia?

17 Juli 2016   09:34 Diperbarui: 18 Juli 2016   07:05 749
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warna-warni kembang api menghiasi menara Eiffel dalam penampilan yang disebut

14 Juli!  Bagi Perancis, tanggal ini menjadi ironi. Eforia perayaan kebebasan yang dihasilkan melalui perjuangan berdarah dua abad lalu, seakan dibungkam total oleh teror mematikan yang dalam sekejab melontarkan senjata pemungkas primitifnya: pembunuhan masal! Bagi rakyat Perancis,  suasana 14 Juli 1789 amat kontras  dengan 14 Juli 2016.  Satunya eforia kegembiraan, lainnya tragedi yang mengusung duka dan perkabungan.

14 Juli 1789 revolusi Perancis mencapai puncaknya. Massa rakyat menyerbu penjara Bastille dan meruntuhkannya. Kemenangan rakyat tertindas atas keangkuhan kekuasaan penindas. Bastille merupakan simbol kepongahan kekuasaan raja Louis XIV yang sangat otoriter dengan sistem pemerintahan morakhi absolutnya. Semboyan yang melandasi prinsip kekuasaannya adalah l’etat c’est moi (negara adalah saya). Dengan semboyan itu, raja adalah undang-undang dan hukum, bahkan melampauinya. Bastille menjadi simbol pemasungan kebebasan, dimana semua orang yang diidentifikasi sebagai penentang raja, atau yang tidak disukainya dijebloskan ke dalamnya tanpa sebab-sebab yang pantas.

Semboyan mengerikan raja Louis l’etat c’est moi digantikan dengan semboyan rakyat bernafaskan nilai dasar kemanusiaan universal, yang dirumuskan dengan indah dan filosofis, lalu dikumandangkan oleh filsuf J.J.Rousseau, yaitu liberte (kebebasan), egalite (kesetaraan) dan fraternite (persaudaraan). Maka, tanggal 14 Juli itu merupakan perayaan besar secara nasional. Sebuah kemenangan atas kediktatoran yang serba mengekang. Sebuah kegelapan peradaban tergantikan oleh terbitnya  matahari kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan.  Demikianlah, setiap tahun hari yang  syarat pesan peradaban itu dirayakan dengan meriah,  gegap-gempita.  Perayaan selalu ditutup dengan pesta kembang api, yang membuat langit malam di seluruh kota menjadi terang benderang. Simblolisme kerlap kerlip cahaya peradaban?

Warna-warni kembang api menghiasi menara Eiffel dalam penampilan yang disebut
Warna-warni kembang api menghiasi menara Eiffel dalam penampilan yang disebut
Lebih dari dua abad  sejak hari bersejarah itu, ritual perayaan “roh kebebasan” berubah rupa dari kegembiraan menjadi bencana kemanusiaan. Sekitar 84 orang meregang nyawa digilas truk tronton teroris, dan lebih dari 1000 tubuh manusia berserakan dalam keadaan terluka fisik dan cidera.  Ironisnya, tepat ketika mereka sementara merayakan hari kebebasan dan damai itu.

Adalah Mohamed Lahouaiej Bouhlel, seorang lelaki keturunan Tunisia beranak tiga disinyalir sebagai pelaku teror yang mnyebabkan tragedi Nice, 14 Juli 2016 itu.  Dengan menyetir truk tronton berkapasitas sekitar 20 ton, ia meluncur dengan kecepatan tinggi di malam perayaan Bastille Day, menerobos ke tengah kerumunan khalayak yang sedang larut dalam kegembiraan dan keasyikan menyaksikan pesta kembang  api. Kartu identitasnya ditemukan dalam truk, dengan sejumlah senjata dan bahan peledak.

Kartu identitas milik Mohamed Lahouaiej Bouhlel yang ditemukan di dalam truk yang digunakan untuk mengumbar teror di Nice, Prancis, Kamis (14/7) malam. Foto: Daily Mirror
Kartu identitas milik Mohamed Lahouaiej Bouhlel yang ditemukan di dalam truk yang digunakan untuk mengumbar teror di Nice, Prancis, Kamis (14/7) malam. Foto: Daily Mirror
Apa yang salah dengan perayaan itu, sehingga harus diteror?  Apa yang salah dengan fondasi ontologis atau roh perayaan tahunan nasional itu, yakni kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan, sehingga perlu dibungkam?  Adakah itu bertentangan dengan ajaran nilai tertentu? Bertentangan dengan ajaran agama tertentu? Menabrak nilai-nilai kemanusiaan tertentu?

Apapun motif pembunuhan itu, apapun alasannya, pastilah terkait dengan sebuah prinsip. Sebuah kebenaran partikular yang dijadikan pegangan. Atau, prinsip komunal yang hendak dipaksakan menjadi pegangan universal. Mungkin saja, itu adalah tuhan.

Sejak keruntuhan Bastilles, kemenangan revolusi rakyat, Perancis seolah-olah menjadi pemuja kebebasan.  Selain J.J.Rousseau melalui motto perjuangan revolusi itu, filsuf Perancis lainnya yang mengajarkan kebebasan individu sebagai esensi manusia adalah Jean-Paul Sartre.  Bagi Sartre, kebebasan manusia bersifat mutlak karena hanya manusia yang bereksistensi. Berkesistensi maksudnya manusia hadir dengan kesadarannya sehingga ia berkemampuan untuk memilih dan menentukan esensi dirinya. Hanya manusia berada untuk dirinya (l’etre-pour soi). Untuk itulah kebebasan menjadi prasyarat kemungkinan agar manusia menguasai diri sepenuhnya, dan bertanggungjawab atas dirinya  lewat pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan yang dibuatnya.  “Human rality is free and completely free,”  demikian Sartre.

Pemandangan malam kota pantai Nice yang indah dan damai/id.wikipedia.org
Pemandangan malam kota pantai Nice yang indah dan damai/id.wikipedia.org
Sebagai akibat dari “pemujaan kebebasan” tersebut, Sartre menaruh curiga kepada Tuhan. Bagi Sartre, keberadaan tuhan akan merampas kebebasan manusia. Sebab, tuhan seolah telah menentukan nasib manusia, tuhan menjadi penyebab segala sesuatu, seolah-olah tuhan-lah yang mengerjakan segala-galanya, dan juga tuhan menjadi tujuan (orientasi) segala sikap dan tindak manusia.  Sebagai maha pencipta, tuhan seolah  telah menentukan esensi manusia dan batas-batasnya. Maka, keberadaan tuhan meniadakan kebebasan manusia. Tuhan menjadi alasan ketidakbebasan manusia.

Sekiranya Sartre masih hidup, dan menyaksikan atau merasakan tragedi Nice di malam perayaan Bastille Day 2016 itu, dia makin yakin akan “hipotesis tuhannya” itu.  Belum genap setahun sebelumnya bom bunuh diri serentak di enam titik di jantung ibu kota Perancis, tempat kelahiran Sartre yang mengakibatkan kematian setidaknya 130 orang.  Bahkan, sepanjang sejarah, dan terutama 20 tahun terakhir ini ketika teror atas nama Tuhan atau atas nama agama merangsek masuk ke wilayah Eropa dan Amerika, lalu merobek kemanusiaan dengan menciptakan pembunuhan massal, rasanya kita pun makin mudah memahami renungan filosofis sang filsuf ateis itu. Ironisnya lagi, semarak teror masuk ke wilayah-wilayah itu justru dimungkinkan oleh bekerjanya spirit liberte, egalite, dan fraternite yang  menjadi jargon peradaban dunia.

Mohamed Bouhlel dan ISIS.

Seperti dikutip Tempo.Co pernyataan resmi ISIS melalui medianya Amaq, Mohamed Lahouaiej Bouhlel merupakan prajurit ISIS. Karenanya ISIS menyatakan bertanggungjawab atas teror    berdarah di kota Nice itu. “Dia menjalankan operasi itu dengan sasaran orang-orang dari berbagai negara yang menentang ISIS,” demikian ISIS dalam pernyataannya yang dikutip Guardian, Sabtu 16 Juli 2016 (Tempo.co). Dan, sebagaimana kita ketahui, ISIS memiliki cita-cita mendirikan negara Islam. Maka, nilai-nilai perjuangan mereka memiliki dasar-dasar yang mereka anggap sebagai “Islami.”

Dalam pandangan partikular ke-Islam-an ISIS, sebuah negara khilafah seperti yang dicita-citakannya, mencakup seluruh dunia. Sebuah negara Islam atau mayoritas Islam bukanlah jaminan masuk dalam kategori ISIS. Itulah sebabnya, Suriah, Turki maupun Irak menjadi sasaran jangka pendek mereka, sebelum menyebar ke pelosok dunia lainnya. Ini antara lain terbukti, seperti dikutib dari status account  twitter ISIS pasca tragedi Nice, “Oh Perancis, kalian dan seluruh Eropa tidak akan pernah aman hingga kami menguasai tiap inci tanah bagi kekalifahan,” (liputan6.com).

Poster yang diduga dibuat oleh ISIS untuk merayakan serangan di Nice, Prancis (Mirror)
Poster yang diduga dibuat oleh ISIS untuk merayakan serangan di Nice, Prancis (Mirror)
Menurut id.wikipedia.org., ISIS atau NIIS adalah kelompok Salafi yang mengikuti pemikiran Islam ekstrem. Pemikiran ini mendukung kekerasan agama dan menganggap Muslim yang tidak sepakat dengan penafsiran ISIS merupakan kafir atau murtad (lihat di sini).  

Persis pada cara pandang seperti itulah, didukung berbagai bukti metode kerja ISIS yang menebar teror bunuh diri dengan sasaran pusat keramaian, menghukum para sandera dengan cara dibakar hidup-hidup, dipenggal kepala, dan berbagai cara sadisme lainnya, kita menjadi pesimis terhadap sebuah “wajah tuhan” yang maha kasih, maha damai, rahmatan lil alamin, shalom, dan kesan serba-indah-damai-harmoni lainnya .  Monopoli atas kebenaran,  dan memaksakannya kepada dunia merupakan sebuah perampasan kebebasan autentik.  Di sini kekhawatiran Jean-Paul Sartre  (tentang tuhan sebagai negasi kebebasan manusia) mendapatkan dukungan empirik secara meyakinkan.  

Di Perancis,  227 tahun lalu pertamakali digemakan pekikan kebebasan liberte, yang kemudian menggelora ke seantero dunia, lalu menginspirasi dan menjadi alat perjuangan politik di banyak negara.  Liberte kemudian menjadi ikon politik berkeadaban. 

Tetapi, di Perancis pula, tahun 2016, dunia menjadi saksi, betapa semangat kebebasan itu dicoba dihancurkan dengan teror berdarah, tepat di hari kelahirannya. Dan, sesungguhnya cara demikian lebih kejam dan jahat daripada sistem pemerintahan monarkhi absolut ala raja Louis IV sekalipun.

Benarkah Tuhan meniadakan kebebasan manusia? Benarkah tuhan telah menyerahkan “peta esensi” setiap orang kepada sekelompok orang, memberi otoritas absolut kepada mereka, untuk menghakimi dan menghukum dengan berbagai cara?  Inikah gambaran wajah tuhan?  Suasana surga?  Jean-Paul Sartre mungkin akan tertawa terpingkal-pingkal penuh olok-olok, atau mungkin mual dan muntah-muntah lantaran jijik melihat "tuhan" menyiksa dan mengancam kemanusiaan.  Bagaimana dengan Anda?

Salam kompasiana!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun