Revisi UU Pilkada yang baru saja disahkan oleh DPR melalui Sidang Paripurna 2 Juni 2016 patut disyukuri. Ditengah miskinya prestasi DPR, sukses ini merupakan prestasi besar. Seperti Anak Berkebutuhan Khusus yang baru saja bisa mengucapkan sebuah kalimat pendek dengan jelas, misalnya “saya istimewa,” meski sudah berusia 15 tahun, itu prestasi amat memuaskan.
Namun, setidaknya terdapat dua pasal dari UU Pilkada hasil revisi itu yang menyulut kontroversi. Pertama; Pasal 41 yang menetapkan bahwa KTP dukungan yang diverifikasi adalah yang terdaftar di Daftar Pemilihan Tetap (DPT) pada pemilu sebelumnya. Ketentuan tersebut dianggap mengeliminasi hak dukungan pemilih pemula yang tentu saja tidak (belum) terdaftar di DPT. Kedua; Pasal 48, yang terkait dengan Calon Perseorangan, terutama menyangkut verifikasi suara dukungan. Pasal ini mengatur dua tahapan verifikasi (seperti sebelumnya), yaitu administratif dan faktual. Verifikasi administrasi yang dilakukan KPU tingkat provinsi/kabupaten/kota dibantu oleh Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) dengan waktu 14 hari. Sementara, verifikasi faktual berlangsung “hanya” 3 hari dengan metode sensus, yaitu menemui langsung setiap pendukung calon yang telah menyerahkan KTP dukungan-nya. Apabila pendukung calon tak ditemui, maka pasangan calon diberi kesempatan untuk menghadirkan mereka di Kantor PPS. Dan, bila pendukung tidak bisa dihadirkan oleh pasangan calon ke Kantor PPS, maka dukungan calon dinyatakan tidak memenuhi syarat.
Terhadap Pasal 48 sebagian pendukung pasangan Ahok-Heru menganggapnya “sengaja” dibuat untuk menjegal calon perseorangan. DPR serta sejumlah politisi, juga KPU menyangkal tuduhan ini. Sebaliknya, berusaha meyakinkan bahwa yang dilakukan itu justru untuk mempermudah calon perseorangan, serta memastikan tidak adanya dukungan fiktif.
Bagaimana dengan Teman Ahok (TA)? Meski awalnya mengeluh karena Pasal ini memberatkan pekerjaan mereka, juga tentu merepotkan para pendukung, TA tidak terlena dalam sikap merengek dan galau berlebihan. Bagaikan pendekar kawakan, mereka segera bangkit dan meramu jurus pemungkas yang terkontrol.
Langkah Brilian Teman Ahok
Tidak seperti kebanyakan politisi yang sering saling menyerang, memobilisasi demonstrasi (yang kerap menjadi anarkis dan destruktif), atau memanfaatkan situasi untuk memposisikan diri sebagai pihak terzolimi dengan harapan menarik simpati massa, TA bertindak lebih matang, brilian dan bagai politisi kawakan. Sikap mereka lebih patut diapresiasi dan diteladani, daripada para politisi yang sudah bertahun-tahun hidup bernafkahkan “kerja politik” namun lebih kerap menunjukkan sikap kekanakan dan kepikunan.
Pertama; TA akan bertemu KPU untuk koordinasi rencana verifikasi. Ini langkah proaktif, dimana mereka berinisiatif berkomunikasi dengan pihak KPU agar memastikan proses verifikasi berjalan sesuai aturan tetapi sekaligus juga efektif dan efisien dari segi waktu, dana, maupun tenaga. Langkah ini tentu saja membantu dan memudahkan KPUD melakukan tugasnya, juga membantu pekerjaan TA dan para pendukung Ahok-Heru. Triple Win solution-lah.
Kedua, mengajukan judicial review atas kedua Pasal tersebut. Seperti dilansir News.detik.com, Jubir TA Amalia Ayuningtyas mengatakan, "Kalau di kita sudah akan mengagendakan bertemu dengan KPU minggu depan. Kita juga ada beberapa teman-teman kelompok independen yang lain yang merasa akan memberatkan. Kita akan usahakan mau judicial review terkait Pasal 41 dan 48 UU Pilkada," ujarnya di markas Teman Ahok, Graha Pejaten, Jakarta Selatan, Kamis (9/6/2016).
Tingginya partisipasi dukungan pada Ahok dan gerakan “Cuti sehari” ini terlihat dari beredarnya poster, undangan, meme yang bernada ajakan, seperti “Gerakan Cuti demi Ahok,” “Yuk Sama-sama Repot, Sama-sama Cuti demi Ahok,” dan meme #GueSiapRepotDemiAhok". Seperti dikutip dari jpnn.com, Ahok menjelaskan, "Sekarang lagi kumpulkan gerakan mau cuti hari biasa untuk datang ke PPS untuk mendaftar. Jadi sebelum diperiksa mereka mau daftar dulu nih," ujar Ahok di Balaikota DKI, Kamis (8/6).
Pertanyaannya justru diarahkan ke KPUD. Apakah tim dari KPUD siap melakukan verfikasi, baik ke rumah-rumah maupun di PPS-PPS (Panitia Pemungutan Suara) di Keluarahan, untuk 1 juta penduduk, hanya dalam waktu 14 hari? Apakah tim ini bersedia bekerja di luar jam kerja? Sebab, mustahil bekerja dengan “hanya” 8-10 jam sehari akan mampu menyelesaikian verifikasi atas sejuta pendukung itu. Pertanyaan-pertanyaan di atas sama sekali bukan didorong oleh intensi keraguan atas kinerja KPU(D), melainkan sekadar ingin memastikan proses verifikasi yang dituntut UU tersebut dapat terlaksana efektif dengan tanpa mengorbankan modalitas politik massa yang sedang mekar-mekarnya.