Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Selamatkan Kehidupan dari Ancaman Kepunahan

23 Mei 2016   21:20 Diperbarui: 23 Mei 2016   21:30 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karbon dioksida bukan penyebab utama pemanasan global, menurut Dr Evans. (foto: Express)

Kisah klasik The Silent Spring (1962) karya Rachel Carson mungkin bisa jadi titik tolak untuk memahami betapa kerusakan alam telah mencapai titik kritis sedemikian sehingga berpotensi pada punahnya habitat dan kehidupan di atas planet ini. Lihat saja, beberapa kali sudah terjadi gejala ikan terapung mati dalam skala besar di Ancol Jakarta, di Sionggotan Sulut, di Kalimantan, dan paling terakhir April 2016 Amamapare Timika.  Punahnya banyak spesies, hilang dengan cepatnya keragaman hayati global maupun Indonesia,  dan kerusakan hutan yang tak terkendali merupakan sejumlah kecil contoh betapa planet ini sedang terancam  menuju kepunahan. Bila saja nyonya Carson masih hidup, mungkin dia dengan sedih bercampur marah harus membuat edisi mutakhir berjudul: The Silent (Lonely) Planet?!

Terkesan didramatisasi? Tidak juga! Krisis lingkungan dan dampaknya telah menjadi isu lokal maupun global, dari kota-kota metropolitan di Eropa  dan Amerika hingga kampung-kampung terisolir di Papua dan Kalimantan, bahkan juga menghantam benua Antartika yang “belum  berpenghuni.” Naiknya permukaan laut yang berpotensi mengakibatkan tenggelamnya banyak pulau, terutama di wilayah Pasifik, juga Indonesia, bencana kekeringan yang meluas, gagal panen, wabah virus dan penyakit seperti HIV Aids, Ebola, polusi dan limbah pestisida, dan sebagainya. Beberapa tahun lalu, kalau bicara banjir angan kita langsung terbang ke Jakarta. Kini, banjir tidak saja menjadi wabah musim hujan di ibukota negara, melainkan juga kota-kota kecil dan pinggiran, hingga berbagai pedalaman di hampir semua pelosok negeri.

Ribuan jenis ikan mengapung mati di kawasan pinggiran Pantai Festival, Ancol, Jakarta, 21 Februari 2012. Ikan yang mati ini diduga teracuni tumpahan minyak di laut. (Rizal Adi Saputra (@chalriz) | Twitter twitter.com)
Ribuan jenis ikan mengapung mati di kawasan pinggiran Pantai Festival, Ancol, Jakarta, 21 Februari 2012. Ikan yang mati ini diduga teracuni tumpahan minyak di laut. (Rizal Adi Saputra (@chalriz) | Twitter twitter.com)
Bila daftar bentuk ancaman kehidupan di atas diteruskan, maka kita pasti mendapatkan sebuah daftar yang sangat panjang. Lebih dari itu, bila kita menyadari dampak dari semua ancaman itu, betapa sangat menyeramkannya! Bagaimana memahami berbagai masalah ini secara filosofis (hakiki)? Apa akar masalah yang paling esensial sebagai penyebab rusaknya habitat yang berakibat pada ancaman kepunahan kehidupan di atas planet bumi ini? Adakah jalan keluar bagi kita untuk menyelamatkan habitat kehidupan? Bagaimana gambaran masyarakat masa depan yang ideal, yaitu “masyarakat berkelanjutan”?

Karbon dioksida bukan penyebab utama pemanasan global, menurut Dr Evans. (foto: Express)
Karbon dioksida bukan penyebab utama pemanasan global, menurut Dr Evans. (foto: Express)
Pertanyaan-pertanyaan di atas dijawab dengan kritis dalam buku karya DR.A.Sonny Keraf, Filsafat Lingkungan Hidup: Alam sebagai Sebuah Sistem Kehidupan Bersamja Fritjof Capra, (2014). Sebagai dosen dan pakar etika lingkungan, penyandang doktor bidang filsafat, juga penulis produktif dalam topik-topik ekologi (perspektif etika dan filsafat), Dr.A.Sonny Keraf memang kompeten memberikan kajian kritis atas masalah-masalah tersebut. Terutama, dengan kerangka kajian filsafat, khususnya paradigma holisme-ekologis dari Fritjof Capra.

Cover dan data buku (semuelslusi.blogspot.com)
Cover dan data buku (semuelslusi.blogspot.com)
Sebagai layaknya buku ber-genre ilmiah, buku ini terbahas dengan sistematika yang apik dan basis teori yang kokoh.  Diawali dari bagian Pengantar yang membahas situsi krisis kehidupan (lingkungan) yang disebabkan oleh kesalahan paradigmatik, yaitu dominasi paradigma Cartesian dan Newtonian. Tetapi juga menegaskan prasyarat mengatasi masalah yaitu perubahan paradigm (paradigm shift) dengan mengacu kerangka pikir Thomas Kuhn.

Bab 1 meletakkan dasar pemahaman atas konsep-konsep pokok yang dibahas, yaitu pengertian filsafat, lingkungan hidup, filsafat lingkungan hidup dan prinsip perubahan paradigma dari Thomas Kuhn. Dilanjutkan dengan Bab 2 membahas akar masalah terkait “krisis kehidupan dan penyebabnya,” yaitu paradigma Mesin Raksasa. Lalu,  permasalahan dijawab di Bab 3 lewat pembahasan Paradigma Ekologis atau holistik sebagai “paradigma penyelamat kehidupan. ”Bagian ini sebenarnya sebagai titik klimaks, karena menjadi tujuan utama atau roh dari buku ini. Namun, pembahasan berlanjut dengan Bab 4 tentang “makna kehidupan dalam perbandingan kedua paradigma,” tetapi penekanan lebih pada paradigma ekologis yang diusungnya. Dilanjutkan dengan penerapan dari paradigma holisitik, yaitu kampanye melek teknologi menuju terciptanya Masyarakat  Berkelanjutan di Bab 5. 

Bioregionalisme sebagai kondisi menyatunya ekonomi dan ekologi yang secara diamteris berbenturan dibahas di Bab 6. Pembahasan berakhir di Bab 7 yang mengkaji praktek Rekayasa Kehidupan (genetika, kloning, dan sejenisnya) sebagai tindakan “melawan hukum alam” dan bertentangan dengan paradigma ekologis, serta dilema etik moral yang diakibatkannya.

Meski banyak teori digunakan sebagai pembanding atau pendukung tesis utama buku, pemikiran Capra merupakan urat nadi atau roh terlihat amat kuat. Saya kira ini menjadi kekuatan sekaligus kelemahannya. Banyaknya teori filsafat, sains, lingkungan, memuat berbagai proposisi maupun hipotesis-hipotesis yang akan merangsang minat ilmiah untuk melakukan pengujian lanjutan. Tetapi akhirya juga terkesan kita “hanya” membaca gagasan-gagasan Capra melalui penulis. Alangkah baiknya kalau ada bagian-bagian yang dilengkapi penulis sehingga dapat membuat “filsafat Capra” dikoherensikan dengan kondisi faktual Indonesia. Betul, sebagai sebuah refleksi filosofis tidak harus memijaki data, namun tidak berarti bekerja di ruang hampa.

Presiden Joko Widodo, bersama jajaran menteri kala mengunjungi titik kebakaran lahan gambut di Kalimantan Tengah (23 Oktober 2015). Sumber: Polhukam
Presiden Joko Widodo, bersama jajaran menteri kala mengunjungi titik kebakaran lahan gambut di Kalimantan Tengah (23 Oktober 2015). Sumber: Polhukam
Bagi peminat masalah lingkungan hidup, ekologi, biologi lingkungan, filsafat (dan etika) lingkungan, teologi lingkungan, system thinking, livelihood,dan berbagai hal terkait lingkungan atau masa depan kehidupan karya ini patut disambut riang. Juga bagi para aktivis lingkungan akan menemukan pijakan kerangka pikir (paradigmatic /filosofis/ teroretik) dan kerangka kerja yang sesuai untuk mendukung disain strategi aplikasi, kampanye kesadaran lingkungan, maupun program edukasi masyarakat. Tetapi bagi yang sudah lama berkecimpung secara teoretis nampaknya  tidak perlu berharap banyak menemukan ide-ide baru yang original. Apalagi bagi penikmat gagasan-gagasan “sains-mistik” Fritjof Capra dan telah mengoleksi (membaca) semua buku Capra yang dirujuk, kesan agak membosankan tidak terhindarkan. 

Serambi Indonesia/BEDU SAINI
Serambi Indonesia/BEDU SAINI
Sejumlah kesulitan terbayang dengan menyadari, bahwa roh pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi lewat kurikulum-kurikulum pendidikan masih sangat mekanistik, sebagai ciri budaya modern yang diusung revolusi pendidikan, mengingat asal muasalnya dari Barat. Di dunia pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, mata kuliah yang terkait “reformasi paradigma ekologis” ini, kalaupun sudah terakomodir, masih diletakkan di “pinggiran kurikulum” sehingga kurang diminati. Beberapa diantaranya Filsafat Timur, System Thinking, Etika Lingkungan, Filsafat Lingkungan, Bio/ekoteologi, dan sejenisnya. Kenyataan ini menyebabkan perlunya menurunkan level perjuangan dari ketinggian “refleksi filosofis” ke “gerakan-gerakan praktis” di akar rumput, dari kajian ontologi ke epistemilogi dan aksiologi! Sambil memikirkan sebuah disain sistem pendidikan yang memiliki “semangat ekologis” yang terintegrasi, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Tentu saja, dengan mengandaikan adanya komitmen kuat dan political will dari pemerintah.

Mengetahui bahwa penulis adalah seorang akademisi senior, sekaligus Menteri Lingkungan Hidup di era pemerintahan Presiden Gus Dur, saya sebenarnya berharap agak lebih dari buku ini. Sederhananya, bila Anda bertanya, “bagaimana dengan Indonesia?”, maka Anda harus siap untuk kecewa. Saya pun demikian! Bukan karena tidak terbahas, melainkan amat minimalis.

Setidaknya dua hal yang menurut saya akan membuat buku ini lebih komplit, dan dakwah intelektualnya lebih merasuk. Pertama: nilai-nilai tradisi di berbagai pelosok negeri ini sesungguhnya sangat “ramah lingkungan.” Teoretisasi pendekatan sistem ekologis Capra tentu saja memenuhi standar akademik untuk dirujuk. Namun kekayaan tradisi dan kearifan lokal yang tersedia di berbagai lingkungan budaya di Indonesia,  yang mampu bertahan ditengah ganasnya badai abrasi budaya modern yang bernafaskan paradigm Newton-Cartesian dan ditunggangi pula oleh sifat ekspansif kapitalisme (ironisnya: termasuk lewat pendidikan formal), modal sosial yang sudah “ada di sana” itu sesungguhnya akan memberi dukungan empirik dan providensi data induktif bagi “verifikasi” teori.  

Secara natural masyarakat kita sudah membangun kultur ramah lingkungan seperti yang diidealkan oleh Capra.  Ini sekaligus menjadi modal sosial (social capital) yang kuat bagi kampanye, dan desain strategi aplikatif untuk paradigma “baru” tersebut. Saya yakin, termasuk di Flores (Lembata) tempat lahir penulis buku ini pun kearifan-kearifan lokal (traditional knowledge) berbasis kehidupan berkelanjutan tersedia secara melimpah. Mungkin saja penulis menganggap tidak perlu karena tema ini (kearifan lokal) telah dibahas di buku lainnya, yaitu “Etika Lingkungan” (2002),  namun bila dikaitkan dengan paradigma Capra akan menunjukkan sebuah koherensi yang kuat antara “grand teori” dan “tradisi lokal.” Lagi pula, tidak bisa diandaikan begitu saja seolah-olah semua pembaca harus terlebih dahulu membaca karya penulis sebelumnya sebagai prasyarat membaca karya ini.

Salah satu kondisi tanah dan pepohonan di sekitar Sungai Shiyang.
Salah satu kondisi tanah dan pepohonan di sekitar Sungai Shiyang.
Kedua; Usulan strategi bagi penerapan paradigma sistemis-organis atau holistik dan berbagai turunan aplikatifnya layak diharapkan. Sebagai orang yang pernah menduduki pos tertinggi dalam pengambilan keputusan di kementrian Lingkungan Hidup, tentu penulis berkesempatan menguji model ideal (paradigma) ini, setidaknya dalam skala mikro (di kementriannya).  Berbagai sukses, tantangan, masalah, juga potensi dan peluang-peluang yang didasarkan atas hasil evaluasi penerapan kebijakan pasti akan bermanfaat. Bagian ini diharapkan memberikan gambaran, seberapa potensil “paradigma Capra” ini bisa diadopsi dalam kebijakan nasional kita. Jadi, semacam evaluasi kebijakan demi disain strategi dan disain kebijakan baru yang lebih efektif. 

Dengan demikian dapat juga dijadikan acuan oleh civil society, maupun pengambil keputusan (decision maker) di Indonesia yang memiliki kepedulian terhadap masa depan kehidupan di planet biru yang sungguh indah namun sedang terancam ini. Bahkan, juga dibutuhkan usulan kerangka pikir kritis bagaimana dunia pendidikan dapat dilibatkan secara substanstif lewat disain sistem dan strategi pendidikan sebagai upaya menciptakan “kebudayaan masyarakat berkelanjutan” pengganti “masyarakat modern mekanistik kapitalistik.”

Bagaimana pun, visi buku ini sangat mulia sehingga perlu didukung. Mengingat, krisis habitat (lingkungan) sebagai akibat ulah manusia yang terkesan kian tak terkendali, berimbas pada ancaman punahnya kehidupan di atas bumi kita, maka kampanye masif berkaitan dengan kesadaran lingkungan, atau melek lingkungan (eco-literacy) menjadi kebutuhan yang tidak bisa lagi ditunda. Buku ini merupakan salah satu bagian dari upaya mulia itu!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun